Etnis.id - Sebelum salat Idul Fitri. Masyarakat Batak Angkola biasanya melakukan kebiasaan mangan fajar, yang berarti makan pagi sebelum melaksanakan salat. Bagi mereka, kebiasaan ini adalah gambaran tentang nilai-nilai sistem kekerabatan patrilineal atau mengenai keturunan garis pria yang disimbolkan dengan marga bagi orang Batak.

Berhubung Bapakku adalah seorang yang bermarga Gultom, maka kami sekeluarga, apabila pulang ke kampung halaman, ke Pasar Simangambat Saipar Dolok Hole, wajib tinggal dan menginap di bagas parsadaan atau di rumah persatuan keluarga besar marga Gultom.

Singkat cerita, lebaran tahun 2019 bulan Juni lalu, kami sekeluarga berlebaran di kampung atau huta Pasar Simangambat dua minggu sebelum menjelang perayaan hari raya Idul Fitri. Kami sekeluarga Gultom yang berangkat dari Batam, terdiri dari empat orang yaitu Bapak, Mamak, aku dan Adek perempuanku. Semuanya menginap di rumah Uak atau abang dari Bapakku.

Menjelang Idul Fitri, kami sudah berada di rumah parsadaan. Beduk magrib terdengar pada pukul setengah tujuh malam, maka berbuka puasa pun tiba. Kami salat Magrib bersama dahulu di Kampung Pasar Simangambat. Setelahnya, suara takbiran berkumandang dari toa masjid. Sebentar lagi Idul Fitri.

Keesokan harinya, takbiran dari pemuda pun masih berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah kami. Semua orang yang berada di bagas parsadaan bersiap-siap untuk mandi, kemudian mengenakan pakaian terbaiknya untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah di masjid yang tidak jauh dari rumah Uak.

Setelah melaksanakan salat Subuh, pada pukul jam lima lewat belas menit, kami sekeluarga besar mulai berkumpul di ruang tamu bersiap-siap untuk mangan fajar. Dari pihak anak boru atau anak perempuan, mempersiapkan lage atau tikar serta perlengkapan makan beserta lauk pauknya.

Usai mempersiapkan daging kerbau yang telah dimasak menggunakan bumbu racikan khas Batak Angkola. Oleh Uak perempuanku, tentu hal ini sangat menarik untuk dinikmati. Ia membuat sup tulang dan rendang yang berasal dari daging kerbau yang baru dipotong tadi malam. Kemudian disajikan di hadapan keluarga besar Gultom di bagas parsadaan.

Mangan fajar bersama keluarga/Etnis/Rivaldi Ihsan

Ada pun tata cara mangan fajar sebagai berikut; posisi duduk melingkar dari yang paling tua kakak beradik bapak duduk berurutan, kemudian diikuti oleh anak-anaknya sama juga duduk berurutan, begitu juga pihak perempuan. Semua bersila dan membentuk lingkaran. Di tengah-tengah, ada pelbagai macam hidangan makan yang siap disantap.

Selanjutnya, kami semua menyantap hidangan kurang lebih selama tiga puluh menit. Setelahnya, piring dan sisa-sisa hidangan segera dirapikan, sebab kami akan memasuki acara inti dari mangan fajar yaitu makkobar atau mambain hata yang berarti memberi sepatah dua kata yang berisi nasehat yang bisa berupa permintaan maaf atas kekeliruan perbuatan selama berinteraksi satu tahun belakangan ini sebagai keluarga besar Gultom.

Adapun tata cara untuk makkobar, sebelum berbicara, biasanya pembicara membuka dengan mengucapkan salam dan berdoa. Lalu pembicara menyampaikan nasehat untuk dirinya sendiri, keluarganya bisa juga intropeksi diri untuk menjadi yang lebih baik lagi dalam menjalankan kehidupan selanjutnya.

Untuk aturan pelaksanaan makkobar, dimulai dari pihak keluarga yang paling kecil hingga yang paling besar, dan si bungsu dari pihak keluarga besar Bapak. Pertama, anak perempuan yang belum menikah kemudian disusul anak laki-laki yang masih lajang, apabila sudah beristri, maka istrinya ikut makkobar.

Setelah itu baru kakak-beradik bapak dimulai dari si bungsu, kemudian baru diakhiri oleh si sulung. Apabila masih ada Opung atau Kakek-Nenek, maka makkobar berakhir pada mereka berdua. Namun apabila tidak ada, makkobar berakhir pada putra tertua dalam satu keluarga besar itu.

Bagi masyarakat Batak Angkola, makkobar bertujuan untuk mempererat keutuhan tali silaturahmi, menjalin komunikasi kembali sesama keluarga besar walau berbeda daerah tanah rantaunya. Selain itu, saling bermaaf-maafan di antara yang muda, dewasa dan tidak lupa kepada orang tua yang masih hidup dalam suatu keluarga besar itu.

Tak heran pada saat situasi makkobar, para pesertanya meneteskan air mata dengan tangisan terdengar tertahan-tahan. Baik yang remaja, dewasa ataupun orang tua sekali pun, baik si bungsu ataupun si sulung. Momen itu adalah perenungan atas kesalahan dosa-dosa yang diperbuat seperti tidak menaati perintah ajaran Islam dan menjauhi larangannya atau selama berinteraksi sesama saudara-saudara ada menyakiti hati, baik dari segi perkataan ataupun perbuatan dalam lingkup keluarga besar.

Editor: Almaliki