Etnis.id - Sering kita dijumpai di Pulau Bali yakni adanya kain kotak-kotak bewarna hitam dan putih. Orang Bali menyebutnya kain poleng. Kain ini bisa ditemukan di jalan-jalan, pohon besar, patung, gapura, hingga tempat sembahyang umat Hindu.

Penggunaan kata "poleng’’, dalam bahasa Bali, memiliki makna bercorak kotak-kotak seperti papan catur.  Lewat pengaturan yang seimbang dan teratur, dua warna tersebut kemudian menghasilkan motif yang disebut sebagai motif poleng.

Kain poleng memiliki arti penting dan sakral dalam kehidupan masyarakat di Bali. Seperti yin dan yang pada budaya Tionghoa, kain poleng dimaknai sebagai simbol Rwa Bhineda, yang artinya representasi dua sifat yang berbeda atau bertolak belakang, digambarkan lewat warna hitam dan putih. Konsep ini melambangkan keseimbangan alam seperti adanya atas dan bawah, kanan dan kiri, pagi dan malam, benar dan salah, baik dan buruk dan masih banyak lagi.

Makna pada kain poleng tidak hanya terdapat pada motifnya saja, tetapi pada sosok yang mengenakannya dalam upacara atau ritual tertentu. Kain poleng juga lekat dengan kehidupan religius umat Hindu di Bali. Ia biasanya disematkan atau dililitkan pada benda-benda tertentu seperti pohon, patung, dwarapala dan tempat sembahyang seperti pelinggih.

Penyematan kain poleng terhadap objek-objek tertentu ini penuh arti. Masyarakat Bali percaya bahwa pohon besar atau patung yang telah dibungkus kain poleng, menjadi stana atau tempat bersemayam sosok-sosok yang dapat “menghitam-putihkan” kehidupan di dunia.

Pohon besar yang dililit dengan kain poleng di Dauh Puri Kangin, Denpasar Barat/Etnis/Maya Arina

Masyarakat juga menganggap bahwa pohon-pohon yang batangnya dililiti kain poleng, merupakan pohon yang angker atau dalam bahasa setempat disebut tenget. Akhirnya, kain poleng menjadi penanda bahwa pada area atau objek tertentu, ada roh para butha atau penunggu. Kesakralan beberapa area dengan objek-objek tersebut, akan dijaga oleh masyarakat setempat dengan secara rutin memberikan sesaji setelah umat selesai bersembahyang di pura.

Sementara lilitan kain poleng pada pepohonan besar, memiliki dampak yang baik, karena itu tandanya, pohon-pohon besar itu tidak akan ditebang. Hal ini juga yang membuat pohon-pohon besar tetap tumbuh dan lestari di lingkungan Pulau Dewata.

Terkadang kain poleng juga diletakkan pada area pekarangan rumah. Itu artinya, kain poleng dianggap sebagai pelindung atau penunggu karang yang bertujuan dapat melindungi energi negatif serta pelbagai hal yang buruk menimpa keluarga. Apabila hal-hal buruk datang, maka penunggu karang akan melindungi dan menangkal energi itu dan mengirimkannya kembali kepada sosok yang mengirimnya.

Selain pada objek yang sakral, kain poleng juga dapat ditemui pada benda-benda yang biasa. Kain poleng juga bisa digunakan untuk hal-hal yang umum--tidak bersifat religi dan sakral. Hal ini bisa dijumpai saat kain poleng digunakan sebagai umbul-umbul, payung, penutup meja, hingga dekorasi untuk menghias benda-benda hotel misalnya.

Penggunaan kain poleng pada benda-benda yang tak sakral biasanya dikolaborasikan atau ditambahkan dengan motif dan corak baru, sehingga dikenal sebagai poleng anyar.

Tempat sembahyang masyarakat di wilayah Kesiman, Kertalangu, Denpasar Timur /Etnis/Maya Arina

Dalam kesenian tradisional Bali, kain poleng digunakan pada berbagai seni tari, seni drama dan pewayangan. Contohnya, pada pakaian atau kostum para penari Tari Kecak, kain poleng dipakai pada bagian kamen. Selain dalam seni, kain poleng biasanya dikenakan oleh para pecalang atau petugas keamanan di desa adat ketika sedang bertugas.

Kain poleng atau saput poleng ini sudah dianggap sebagai seragam untuk para pecalang. Hal ini juga dituliskan dalam Lontar Purwadigama yang menjelaskan bahwa sebaiknya seorang pecalang paling tidak menggunakan udeng khusus (ikat kepala khas Bali) yang berbeda dengan udeng yang dipakai pejabat kerajaan (patih). Menggunakan kamen atau kain dengan ujung yang menusuk ke tanah, mekampuh poleng atau mengenakan kain poleng dan lain-lain.

Dengan menggunakan kain poleng, para pecalang diingatkan untuk bercermin dari makna filosofis yang dimiliki oleh kain poleng, sehingga dapat sigap (celang) dan selalu waspada saat menjaga keamanan dalam lingkungan desa adat, sehingga dapat tercipta situasi yang harmonis serta tertib.

Kain poleng pada dwarapala pintu gerbang Pura Agung Jagatnatha/Etnis/Maya Arina

Ragam Jenis Kain Poleng

Kain poleng tidak bewarna kotak-kotak hitam putih saja. Ada ragam jenis yang termasuk bagian dari kain poleng. Pertama, Kain Poleng Rwa Bhineda yaitu motif yang paling populer dan mudah ditemui dengan warna hitam dan putih.

Kain jenis ini mengimplementasikan konsep Rwa Bhineda yang menekankan bahwa terdapat dua hal berlainan yang tidak dapat dipisahkan. Kain jenis ini biasanya dikenakan oleh para pecalang, agar diharapkan dapat membedakan antara tindakan benar dan salah hingga perbuatan yang baik dan buruk.

Kedua, Kain Poleng Sudhamala yang memiliki warna campuran antara hitam dan putih yaitu warna abu-abu. Sehingga dalam motif ini, terdapat tiga warna yang menyusun motifnya yaitu warna hitam, putih dan abu-abu.

Warna abu-abu ini dimaknai sebagai sifat perantara dan penyeimbang antara hitam dan putih. Selain keseimbangan, Poleng Sudharmala ini juga dianggap menggambarkan kecerdasan. Alasannya, pengguna kain ini dinilai cerdas karena dapat berbicara, berpikir dan berperilaku sesuai dengan ajaran Dharma dan membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk.

Penggunaan kain poleng pada dwarapala dan payung/Etnis/Maya Arina

Ketiga, Kain Poleng Tridatu yang memiliki tiga warna penyusun yaitu hitam, putih dan merah. Ketiga warna ini dianggap menyimbolkan ajaran Triguna, yaitu ajaran tentang tiga sifat yang memengaruhi manusia. Warna putih dianggap sebagai perlambang sifat ketenangan dan kebijaksanaan. Warna hitam diartikan sebagai simbol dari sifat terhambat dan kemalasan. Sedangkan warna merah dianggap sebagai sikap berenergi dan dinamis.

Ketiga warna ini juga dimaknai sebagai Dewa Tri Murti yang dilambangkan dengan warna merah sebagai simbol penciptaan atau Dewa Brahmana, warna hitam menyimbolkan pemeliharaan atau Dewa Wisnu, dan warna merah melambangkan peleburan atau Dewa Siwa.

Ketiga jenis kain poleng dapat diperoleh dalam bentuk kain katun hingga kain sutra. Tak lupa, secara umum, ketiga jenis kain ini tetap memiliki satu fungsi yang sama yaitu menggambarkan kehidupan dan memberikan pesan kepada manusia untuk menjaga keseimbangan sesuai dengan fiilosofi yang dimilikinya. Bila manusia bisa mengaplikasikan filosofi yang terdapat pada kain poleng, niscaya kedamaian dan keharmonisan akan mudah dirasakan dalam hidup.

Editor: Almaliki