Etnis.id - Ndalem Padmasusastra yang dinahkodai Fafa Utami di Kota Bengawan, resmi dibuka. Tak sekadar nongkrong dan bersantap kuliner tradisional, aneka kegiatan bakal dihelat.

Minggu (1/12), komunitas sejarah budaya Solo Societeit diminta membabar biografi sastrawan Ki Padmasusastra dan kawruh yang tersekam dalam omah Jawa. Dalam acara santai itu, tak lupa saya menyibak Serat Tatacara anggitan Padmasusastra tahun 1911.

Teringat percakapan tokoh yang terpacak dalam naskah lawas itu: “Pesanlah kepada Kyai Selakerti. Minta saja yang sederhana. Kalau batu hitam, mahal. Harganya sampai berkali lipat dari harga batu yang keropos. Perkiraan harga kijing 25 rupiah, itu sudah dapat batu hitam, pekerjaanya bagus.”

Serat Tatacara memotret fenomena sosial di sekitar Surakarta. Tak ayal, banyak fakta sejarah yang tersaji dalam naskah tersebut. Cerita lama di atas, memantulkan pekerjaan selakerti membuat kijing berbahan batu.

Keterampilan mengukir batu untuk nisan, merupakan peluang memperoleh bayaran mahal. Kultur ngijing dalam masyarakat Jawa, menjadi salah satu pemicu bertahannya selakerti.

Berarti, profesi selakerti tidak mandeg menciptakan pondasi rumah dan penata batu candi. Juga fakta bubuhan “embel-embel” kyai di depan nama selakerti, menegaskan posisinya yang tinggi dalam kelas sosial. Atau, ia dianggap orang linuwih dari segi keilmuan.

Ditelisik lewat kamus Bausastra Jawa (1939), istilah selakêrti atau jlagra merupakan sebutan untuk tukang natah watu (orang yang mengukir batu). Penjelasan ini menegaskan suatu keahlian tukang dalam membuat hiasan atau gambar di tubuh batu laiknya membikin relief era Hindu-Buddha.

Menujuk catatan sezaman, tempo dulu, pekerja tukang batu gampang dijumpai di desa. Seperti pengisahan Serat Centhini yang disusun para pujangga Keraton Kasunanan tahun 1814-1823, dengan cara berkeliling di sekujur pulau Jawa. Bersama ahli kriya dan seniman lainnya, selakerti hidup berkumpul dalam ekosistem pedesaan.

Berikut ini cuplikan ceritanya: Ramai suara orang-orang desa tengah bekerja. Semua pekerjaan ada. Pande (tukang besi), kemasan (tukang emas), kundhi (tukang pembuat barang dari tanah liat), nyingi (tukang cetak logam), dan sayang (tukang buat tembaga) sedang melebur menyiram/ menjadikan intan berwarna.

Undhagi (tukang kayu) dan mranggi (tukang buat rangka keris). Blandhong (tukang menebang kayu), selakerti (tukang batu), gerji (penjahit), kemalo (pengecat kurung keris), pembuat payung dan jala jaring, pengayam tikar, pembuat topeng, penatah wayang, panegar (tukang mengajari kuda), serta dhalang.

Separuh abad sebelum periode Centhini, kelompok selakerti dinyatakan menyertai perpindahan ibukota kerajaan Mataram Islam bareng rombongan lainnya. Kenyataan ini menunjukkan, tukang batu masuk dalam jaringan abdi dalem kerajaan. Selain memang dibutuhkan kemahirannya mengolah batu. Detik itu, 17 Februari 1745, istana di Kartasura bergeser ke Desa Sala lantaran luluh lantah dibakar musuh.

Termaktub dalam Babad Giyanti, peserta arak-arakan mencapai 50.000 orang. Perjalanan dari Kartasura sampai ke lokasi milik Ki Gedhe Sala itu memakan waktu 7 jam.

Pawarti Surakarta (1939) memaparkan, rombongan boyong kedaton diisi pula abdi dalem prajurit kalang, gowong, undhagi dan selakerti yang membawa bangsal pengrawit. Bangunan ini dipakai raja Paku Buwana tampil di depan rakyatnya atau peristiwa khusus.

Dirunut jauh ke belakang, terdapat folklor lokal dibekukan dalam majalah Kajawèn edisi Mei 1932: Di kuburan Pragola (yang kini kampung Makam Bergola, Tipes, Surakarta), diceritakan ada tokoh bernama Kyai Selakerti dimakamkan di situ.

Ia dikenal sebagai prajurit yang awas atau mengetahui sesuatu yang tersamar, bergabung dengan Tumenggung Pragola dari Pati waktu pecah perang Mataram Islam awal. Lelaki tersebut tersasar dalam pusaran peperangan, hingga meninggal dunia dan dikebumikan di pemakaman Pragola.

Merujuk kajian sejarawan De Graff (1985), Temunggung Pragola angkat senjata melawan Sutawijaya sebagai pendiri Kesultanan Mataram bergelar Panembahan Senopati, diketahui sekira tahun 1587.

Sekeping fakta di muka menyiratkan keberadaan Kyai Selakerti bukan hanya tangguh menggarap batu, namun juga cakap berolah spiritual dan membangun jaringan bersama “pemberontak”.

Kyai Selakerti nyemplung dalam gejolak konflik juga menjembarkan penafsiran historis bahwa dalam saban peperangan, diperlukan orang yang mumpuni membangun benteng pertahanan dari batu sekalipun bentuknya sederhana.

Sementara itu, keterlibatan selakerti atau jlagra dalam dunia percandian era klasik diberitakan dalam Pusaka Jawi edisi Desember 1922. Dijelaskan, Candi Borobudur merupakan penanda (tetenger) kelantipan atau kemajuan bangsa Jawa periode Hindu-Buddha.

Orang membuat arca atau candi diniatkan tak hanya memperjelas dedongengan, tetapi mengandung maksud supaya wujud arca itu dapat mencuri perhatian orang yang melihatnya.

Buahnya, gampang menerima makna pengetahuan yang angkat. Jlagra membikin Candi Borobudur dengan penuh ketekunan dan bersuka ria. Buktinya, dari kemampuan ukirannya.

Profesi tukang batu tak seketika lenyap dengan hancurnya kekuasaan Mataram Kuno yang memuja candi. Justru berkat pelayanan dan kiprahnya dalam pembangunan dinasti Mataram Islam, abdi dalem jlagra diberi sepetak tanah oleh raja untuk bermukim.

Sebagai upaya penghormatan, penduduk setempat membubuhi identitas ruang sosial ini dengan nama Kampung Jlagra. Selain arsip atau berita lama, toponim ini sejatinya penjaga ingatan tentang keberadaan dan kepiawaian tukang batu di masa silam.

Dari kilas balik ini, kita disadarkan bahwa profesi tukang batu terbilang salah satu pekerjaan tertua di Nusantara. Pengetahuan estetika dan ketrampilan menatah batu sudah dimiliki leluhur, tanpa kudu berguru ke Barat. Maka, pantas ia dicatat dalam ingatan kolektif dan dituliskan sebagai sumber kebanggaan.

Editor: Almaliki