Etnis.id - Di kalangan orang Makassar dan Bugis, bosara dikenal sebagai nampan untuk menyimpan kue-kue saat pernikahan. Lantas bagaimana dengan masa depannya?
Sewaktu kecil, jika ada hajatan pernikahan, yang paling pertama saya lirik bukanlah mempelai. Tetapi keluarga saya memasak dan membuat kue apa. Pengalaman itu akhirnya membuat saya selalu bahagia dengan pernikahan orang Bugis atau Makassar.
Di luar rumah, sudah diletakkan beberapa bosara di atas meja oshin. Saya senang membuka dan melihat apa isinya. Sayangnya, di Makassar, anak kecil dilarang makan dulu sebelum tetamu mencicip kue yang disajikan. Tamu adalah raja.
Ingin sekali rasanya membahas kue Bugis yang saya sukai. Tetapi nanti pembahasannya jadi melebar ke mana-mana. Akhirnya, lebih baik membahas nampannya saja. Bosara.
Bosara adalah wadah berbentuk besi yang ditegakkan dengan satu kaki. Bosara punya penutup yang disebut pattongko. Tanpa itu, ia takkan menjadi bosara. Ia satu kesatuan utuh yang tak bisa dilepaskan.
Di atas bosara, diletakkan sebuah piring kaca yang nantinya akan diisi penganan seperti barongko, bannang-bannang, katirisala, cucuru bayao, bolu peca’, biji nangka, dan lain-lainnya--makanan yang saya sebutkan itu bikin selera makan saya bertambah sekarang.
Pada zaman dahulu, orang-orang kerajaan Bugis atau Makassar, jika menjamu tamu, akan memakai bosara sebagai tempat menyimpan penganan. Biasanya, tamu juga disambut oleh tari-tarian yang disebut sebagai tari bosara.
Bosara beralih fungsi. Pengantar undangan pernikahan di Makassar, berdandan dengan baju bodo dan jas tutup, biasanya membawa bosara sebagai penutup undangan yang nantinya akan diserahkan calon tetamu yang diundang pemilik hajat.
Orang-orang di Makassar, merasa tak elok memberi undangan kepada seseorang yang lebih tua dengan cara memberi langsung tanpa bosara. Orangtua saya menilai, itu tidak sopan. Sama seperti bagaimana tamu, jika disuguhkan teh, sebaiknya memakai cangkir dan nampan.
Zaman berganti. Pemuda dan pemudi zaman kiwari lebih memilih untuk memakai undangan elektronik. Perlahan-lahan, hal konvensional ditinggalkan waktu. Semua ingin efektif dan menekan biaya.
Bayangkan saja, pemilik hajat harus membayar para pengantar undangan yang siap melaju di jalanan baik dekat dan jauh dengan ala kadarnya. Bagaimana kalau pengantar undangannya memasang tarif dan keluarga tak ada yang bisa membantu?
Setahu saya, pengantar undangan bukan cuma seorang saja. Pengalaman keluarga, mereka bisa memanggil sampai enam orang dan membagi wilayah pengantaran undangan. Jika jadi, akan disewa pula baju bodo dan jas tutup. Makan biaya berapa?
Akhirnya, orang-orang jadi berpikir praktis dan memangkas pengeluaran dengan mengandalkan teknologi. Pelan-pelan, kita takkan pernah lagi melihat seseorang mengetuk rumah, berbaju adat, memegang bosara dan tersenyum kepada kita.
"Tabe ye' ada undanganta dari si fulan," atau "Salamnya si fulan, ye'."
Saat Adat Pernikahan Tertinggalkan Waktu
Sebenarnya ini bisa menjadi perdebatan yang sangat panjang. Tentang bagaimana menginterpretasikan kesakralan adat, pemali, agama, dan zaman yang berubah. Saya pernah curi dengar seseorang di warung kopi yang membahas masalah itu.
Ia hanya ingin mengikuti jalan agama yang sederhana. Tidak neko-neko. Tentu saja ini tidak salah. Saya menulis ini tidak untuk mencari benar dan salah, melainkan hanya untuk membaca zaman bahwa sampai kapan bosara akan bertahan?
Katanya, janganlah pesan-pesan adat saat pernikahannya ada yang ditambah-tambahkan. Biarkan berjalan sesuai anjuran agama. Hal-hal yang timpang dan merepotkan seharusnya ditinggalkan.
Satu per satu boleh dicabut dan dihilangkan. Menariknya, bagaimana jika budaya Bugis-Makassar akhirnya hilang dari fase pernikahan? Kita tidak akan pernah lagi melihat bosara.
Kita lebih memilih untuk menggelar resepsi di hotel atau bisa saja, jika tak ada dana yang memadai, hanya menikah di masjid atau rumah ibadah sesuai kepercayaan. Setelah itu, semua tamu-tamu pulang. Tak ada prosesi pernikahan lagi.
Pelan-pelan, orang-orang mengikuti yang praktis dan tidak makan banyak biaya. Tuntutan hidup makin tinggi. Kita berpikir tentang sebaiknya uang disimpan untuk mencicil rumah atau hal-hal yang primer saat sudah menikah.
Jika benar begitu, kita hanya harus bersiap untuk tak lagi melihat pengantar undangan yang ramah saat duduk, membuka bosara, memberi undangan, mattongko bosara. Kita hanya harus bersiap saat tak ada lagi prosesi pernikahan di rumah. Tak ada meja oshin serta bosara berisi kue di pekarangan dan di ruang tamu.
Akhirnya kita hanya akan berhadapan dengan ingin memakai adat atau melepaskannya karena hal-hal yang lain, yang mungkin saja lebih penting dari pesan leluhur di Sulawesi Selatan?