Etnis.id - “Nak, ajja tapoloi olona tau laingnge!” Sekilas percakapan keluarga suku Bugis antara orang tua dengan anaknya yang terekam dalam memori saya. Tak dapat dimungkiri, hal demikian pernah saya rasakan.

Pernyataan itu terlontar sebelum sang anak bergegas menuju ke kota besar, Makassar (dulunya Ujung Pandang), untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Itulah pesan sekaligus bekal yang harus disantap sang anak, jika pada kemudian hari memperoleh sesuatu yang telah jauh hari diusahakannya untuk tidak salah langkah.

Kebudayaan Bugis—utamanya Bugis Bone—sampai saat ini masih dipegang teguh oleh beberapa generasi muda (jika tak ingin disebut semuanya), termasuk pesan di atas yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, berarti “jangan mengambil hak orang lain”.

Kendati demikian, setiap kebudayaan atau suku, tentu memiliki pesan masing-masing kepada generasinya. Namun hampir dapat dipastikan, bahwa tidak ada kebudayaan atau suku yang mengindahkan sebuah tindakan pengambilalihan hak-hak orang lain.

Jika ada, maka tindakan demikianlah merupakan tindakan yang menggugurkan atau melunturkan nilai-nilai budaya, sekaligus kemelut besar dalam upaya melestarikan kearifan budaya lokal. Lunturnya nilai dan prinsip budaya dalam diri generasi muda, merupakan tanda kelahiran sebuah bencana besar, yakni hilangnya harga diri manusia, utamanya bagi manusia Bugis.

Manusia tanpa budaya ibaratkan seseorang yang hilang dari rombongan perjalanan di tengah hamparan yang tak lekas menemui ujung. Sejauh masa menajam ke depan, tanda-tanda kemunduran prinsip budaya yang jauh hari diperjuangkan para pendahulu, kian meredup di tangan generasi muda.

Betapa tidak, kehidupan mewah dan instan seperti saat ini yang didorong keharusan zaman sehingga kehidupan mewujud perlombaan, membuat orang-orang bergegas menuju garis akhir (kekayaan materi).

Fenomena ini mengingatkan kita pada film fiksi In Time (2011) yang disutradarai oleh Andrew Niccol. Manusia bertarung dengan waktu. Segala sesuatunya dibeli dengan waktu dan tak mempedulikan satu sama lain. Orang kaya yang memiliki banyak waktu akan hidup lebih lama, sementara orang miskin sebaliknya.

Tak ayal, dalam kehidupan seperti yang tergambar di atas, maka akan melahirkan manusia-manusia yang saling melukai bahkan membunuh demi kekayaan materi baik sadar maupun tidak. Perampasan tanah, penggusuran dan pelanggaran HAM menjadi keniscayaan. Alhasil, adagium lama “ajja tapoloi olona tau laingnge (jangan potong bagiannya orang lain)” hanya meninggalkan identitas yang kehilangan makna.

Peristiwalah yang membentuk kita, kiranya begitulah yang dibahasakan Alwy Rachman yang dipetik dari seorang filsuf Perancis, Alain Badiou, termasuk peristiwa budaya. Perjalanan yang ditempuh secara turun temurun melalui internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai budaya dalam diri manusia, akan menciptakan sebuah peristiwa sejarah, sebuah peristiwa lahirnya manusia yang berbudaya—selain daripada manusia diciptakan sebagai manifestasi Tuhan di bumi sekaligus pemimpin.

Dalam kerangka kebudayaan khususnya budaya Bugis, watak manusia Bugis adalah untuk mapparentah (memimpin), namun “memimpin” bukan semata-mata
persoalan jabatan dalam pemerintahan formal, melainkan kepemimpinan diri, keluarga dan memimpin serta mengorganisir orang-orang yang sebenarnya tidak membutuhkan seorang pemimpin.

Dul Abdul Rahman dalam esainya “Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita”, mengisahkan tentang La Mellong, seorang pemuda yang berani dan cerdas yang berasal dari Kampung Laliddong, daerah yang berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Bone sekitar abad XVII.

Mendengar cerita tentang La Mellong, Raja Bone segera memerintahkan kepada pasukannya untuk membawa pemuda tersebut ke istananya dengan niatan untuk menjadikannya Kajao (penasihat kerajaan). Saat setelah La Mellong tiba di istana, sang Raja memutuskan untuk menguji kecerdasaan La Mellong sebelum dijadikan Kajao.

Singkat cerita, Raja memerintahkan kepada La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu singkat dan membawa benda pusaka miliknya. Sejenak berpikir, La Mellong kemudian mengiyakan permintaan sang Raja dan menjalankannya.

La Mellong kembali ke rumahnya di Kampung Laliddong dan mengambil tangga rangkiang tua miliknya. Rangkiang adalah lumbung padi untuk menyimpan hasil panen yang biasanya berada di langit-langit rumah orang Bugis. Ia menyeret tangga tersebut menuju istana Kerajaan Bone dan setiap orang yang bertanya tentang apa yang ia bawa, La Mellong meminta orang tersebut ikut bersamanya menuju istana.

Terdapat 70 orang yang bertanya tentang apa yang La Mellong bawa termasuk pengawal istana. Sesampainya di hadapan Raja, ia kemudian bersimpuh dan menyerahkan apa yang diminta oleh raja sebelumnya, 70 orang buta dan benda pusaka milik La Mellong.

Raja tampak kaget dengan apa yang dilakukan oleh La Mellong. Yang ia minta adalah 70 orang buta dan benda pusaka, namun dari 70 orang tersebut, mereka bukanlah orang buta dan ia tidak melihat benda pusaka milik La Mellong.

Melihat kekagetan sang Raja, La Mellong menjelaskan semuanya. Benda pusaka miliknya adalah tangga rangkiang tua, sementara 70 orang buta tersebut adalah mereka yang mempertanyakan apa yang La Mellong seret dari rumahnya sampai ke istana.

La Mellong menjelaskan bahwa, "seandainya mereka tidak buta, tentu mereka tidak mempertanyakan apa yang saya bawa, karena semuanya sudah tahu bahwa yang saya bawa  adalah tangga rangkiang tua."

Banyak dari kita yang matanya mampu melihat, tapi mata hatinya buta. Spontan, sang Raja mengerti dan memuji La Mellong. Namun, ia meminta La Mellong untuk menjelaskan perihal benda pusaka yang asing itu.

La Mellong lalu mengambil tangga rangkiangnya dan menjelaskan kepada Raja, mengapa ia menjadikan itu sebagai benda pusakanya. Tangga rangkiang tua bagi La Mellong memiliki tiga keistimewaan.

Pertama, saat menemukan dua orang berselisih, maka ia akan memberikan tangga tersebut, agar mereka dapat bertemu dan saling mengenal. Karena penyebab perselisihan adalah mereka tidak saling mengenal.

Kedua, tangga tersebut dapat membantu orang yang lapar di tengah hutan. Jika orang itu tidak bisa memanjat pohon, maka ia akan memberikan tangga tersebut untuk memetik buah sendiri, tanpa ia harus memberikan buah, karena mereka akan kelaparan lagi jika buah yang ia berikan telah habis.

Ketiga, ia akan memberikan tangga tersebut kepada seorang pejabat kerajaan jika berjumpa, agar mereka berhati-hati naik atau turun tangga, karena jika orang terlalu serakah melompat, maka ia tentu akan terpeleset dan terjatuh. Setelah menjelaskan semuanya, Raja pun mengakui kecerdasan La Mellong dan mengangkatnya menjadi Kajao Laliddong (penasihat kerajaan).

Kedua peristiwa di atas, baik pappaseng tau matua (pesan orang tua) dan kisah La Mellong, merupakan prinsip dan nilai kehidupan yang relevan dengan konteks kehidupan apapun dan oleh siapapun.

Meski dua peristiwa tersebut berasal dari kebudayaan Bugis, namun bukan berarti bersifat sektoral dan hanya berlaku bagi manusia Bugis. Sejatinya, spirit kebudayaan Bugis bukan hanya untuk kemakmuran manusia Bugis, melainkan seluruh umat manusia, bukan hanya untuk Bone, Makassar ataupun daerah lainnya, melainkan juga untuk Indonesia.

Kita ketahui, pada Desember, setidaknya memiliki dua hari penting, namun bukan berarti mengerdilkan hari penting lainnya, yakni Hari Anti Korupsi dan Hari Hak Asasi Manusia yang diperingati setiap tanggal 9 dan 10 Desember.

Dan kita tentunya mengetahui perihal polemik korupsi dan pelanggaran HAM yang memadati corak kebangsaan kita dewasa ini. Kasus itu masih sangat tumpul pada wilayah penyelesaiaannya dan cenderung berada pada pakem pembiaran.

Baik pelaku, penegak hukum, bahkan pemimpin kita, tentu bukanlah orang yang buta intelektual, namun mengapa fenomena tersebut masih menggerogoti dan bahkan sangat merugikan negeri ini?

Mungkinkah benar yang dikatakan La Mellong, bahwa banyak orang yang tidak buta dalam hal penglihatan, namun mayoritas buta mata hatinya? Di tengah pusaran kehidupan modern, tentu untuk mewujudkan hal demikian, terbilang rumit. Namun, tak mustahil adanya.

Letak kerumitannya berada pada hilangnya misteri atau kehidupan mistik yang biasanya terkandung dalam sebuah budaya dari konstruksi kehidupan
manusia kontemporer. Hal demikian dapat dilirik dari film animasi tentang drakula atau monster lainnya yang telah beralih-ruang menjadi film bertema humor.

Betapa tidak, film-film tersebut dinikmati oleh anak-anak tidak dengan perasaan takut. Wajah Dracula misalnya yang menyeramkan sekaligus misterius dan lingkungan istana yang dipenuhi nuansa ketakutan.

Semua mitos tentang ketakutan manusia terhadap hal-hal yang mistik, termasuk ketakutannya pada alam, sirna seketika dan digantikan dengan kekuatan perhitungan dan kegunaan. Manusia modern menjadi sangat mempercayai kalkulasi, yang membuat semua pertimbangan matematis-rasional menjadi diktator bagi terusirnya rasa takut.

Tetapi apakah semua itu justru membuat kita semua terbebas dari rasa takut? Tentu saja tidak! Sebab, jika benar bahwa membunuh mitos hanya akan melahirkan mitos baru, maka membunuh ketakutan mistik atau sesuatu yang metafisika, justru akan melahirkan ketakutan rasional yang mungkin tidak kalah mengerikan. Kiranya begitulah yang disampaikan oleh Ahyar Anwar dalam esainya, “Aku Berpikir, Maka Aku Merusak”.

Namun pada hakikatnya, citra kebudayaan yang mengandung unsur metafisika bukan pulalah ihwal yang harus dijadikan ketakutan, melainkan yang justru harus kita takuti adalah ketika kita takut untuk mempelajari dan memahaminya, sehingga kita kehilangan diri yang berbudaya.

Budaya adalah motif dan tanpa itu, kita akan kehilangan tekstur dan estetika dalam diri. Maka patutlah kiranya dua peristiwa di atas dijadikan sebagai ruang introspeksi sekaligus wisata empati serta menjadikan budaya sebagai bangunan pola pemikiran, karena hakikat budaya adalah gerbang utama pola kehidupan manusia yang bernilai kemanusiaan.

Editor: Almaliki