Etnis.id - Pakaian adalah kode-kode bermakna dalam konteks sosio-antropologis, identitas, ideologi hingga teknologi dan politik. Pada fungsi pertamanya, pakaian digunakan untuk melindungi tubuh dari perubahan cuaca dan serangan hewan lainnya.
Pada masa kolonial, sejarah pakaian adalah penanda kolonisasi tubuh pribumi, (dan berikutnya) 'totokisasi' masyarakat Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, pakaian menjadi penanda identitas agama, antropologis maupun strata sosial. Pada zaman Hindu Budha, orang-orang menggunakan kain panjang tanpa jahitan untuk menutupi tubuh para wanita ataupun pinggang para pria. Kain tanpa potongan dianggap suci dan sakral bagi masyarakat Jawa.
Ketika Islam datang, pakaian disempurnakan sesuai norma-norma keislaman. Kain panjang yang tadinya dililitkan di sekitar pinggang, kemudian diangkat lebih tinggi untuk menutupi dada. Hal ini tampak di kota-kota pelabuhan Jawa pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian, menjadi penanda bagi orang miskin, budak, anak-anak dan golongan non-muslim (Taylor, 2005: 131). Sementara bagi golongan muslim, kain panjang itu ditautkan menjadi sarung, yang kemudian menjadi elemen penting sebagai penanda identitas dalam konteks religiusitas.
Sarung sudah menjadi simbol umat Islam yang sudah menjadi seragam wajib dalam urusan ibadah. Jika kita merujuk pada sejarah, sarung berasal dari Yaman dengan sebutan futah. Atau banyak sebutan lain untuk sarung, seperti izaar, wazaar, atau ma'awis.
Dan pada abad ke-14 sarung sudah masuk ke Indonesia. Sarung juga tidak hanya tersebar di Arab dan Indonesia, tapi sudah ke pelbagai negara. Jadilah sarung, setelah sekian lama masuk Indonesia, menjadi simbol kebudayaan dan agama (Ahmad Wayang, 2014).
Sarung multifungsi. Sarung dengan corak dan bentuk beragam, yang kedua tepi dijahit bertemu. Goenawan Mohamad (1984) melukiskan sarung sebagai sebuah teknologi tepat buat segala manfaat. Dipergunakan buat selimut penahan dingin, mengerudungkannya untuk berlindung dari terik, dan jadi topeng. Dan dalam keadaan tak jadi busana, sarung bisa jadi pembungkus (dan sekaligus penenteng) buku, misalnya, bila kita pindah rumah.
Sarung memang bukan barang mewah, tapi juga bukan barang murahan. Dengannya, sarung sebagai pakaian dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh yang
dapat menghubungkannya dengan dunia luar, namun sekaligus memisahkan, karena sebenarnya ia bukan bagian dari tubuh.
Mari kita ingat-ingat, seberapa sering kita berdiri di depan lemari dan memilih-milih pakaian yang pantas digunakan untuk suatu keperluan ini atau untuk kesempatan itu. Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, kita menaruh harapan besar bahwa pakaian dapat menggambarkan dengan tepat identitas kita.
Melalui pakaian, kita mendefinisikan dan mendeskripsikan diri sendiri. Namun, lebih lanjut dikatakan, sarung justru tidak pernah bisa menjadi elegan dan sekaligus casual seperti desain Calvin Klein, tapi surut jadi benda yang sangat privat: hanya untuk di kamar tidur, di kamar mandi, atau buat sembahyang pagi.
Satu-satunya kesempatan ketika sarung go public ialah bila orang pergi ke masjid, di hari Jumat atau hari raya. Selebihnya: ia hanya ornamen pesta perkawinan yang agak merepotkan.
Sarung jadi lambang sesuatu yang pribumi tapi menyusut, sesuatu yang "rakyat" tapi terdesak, sesuatu yang cocok dengan lingkungan tapi terancam oleh modernisasi. Sarung adalah penyusun identitas “kaum sarungan” yang "udik".
Sarung menjadi representasi situasi dan kondisi sosial masyarakat, termasuk hubungan antara si kaya dan si miskin. Lebih jauh Goenawan Mohaman menuliskan bahwa Hadisubeno, seorang tokoh Partai Indonesia pada 1970, pernah memperingatkan kita pada kaum sarungan.
Yang dimaksud Hadisubeno adalah perihal ketegangan yang terjadi di masyarakat Jawa. Ketegangan yang terasa, tapi jarang diucapkan; antara kaum ningrat dan priayi yang abangan, dan kaum santri di lain pihak.
Pada waktu itu, kaum santri yang berpakaian sarung bukanlah orang-orang yang didengar dalam percaturan kebudayaan dan disebut udik. Istilah ini perlu digarisbawahi dalam konteks Indonesia. Karena di negara ini, sarung tidak hanya menjadi simbol kebudayaan dan agama, tapi juga menjadi bagian dari politik.
Ia bisa menjadi pakaian politik dan pada saat yang sama kita bisa membacanya sebagai politik pakaian. Dalam pembukaan Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo datang dengan memakai sarung berwarna merah.
Sarung selama ini memang identik dengan warga NU yang biasa dijuluki 'kaum sarungan'. Presiden memakai sarung itu untuk menghormati NU. Yang menarik, pilihan warna sarung Jokowi berwarna merah.
Semua mafhum, merah merupakan warna identitas PDI Perjuangan, partai yang mengusung Jokowi sebagai presiden. Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDI-P yang juga hadir di acara itu juga “berkenan” dengan pilihan busana sarung Jokowi.
Sarung sebagai pakaian menjadi alat komunikasi semiotis yang dimainkan dalam interaksi politik. Hal ini sejalan dengan Nordholt (2005) yang menegaskan bahwa pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang.
Pakaian adalah cermin identitas, status, hirarki, gender, memiliki nilai simbolik dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik
dan religius.
Dalam hal ini, Muktamar NU adalah medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, dan penamaan yang menyusun sebuah hirarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas (komunalitas, religi, sosial kemasyarakatan hingga politik).
Dan NU yang mempunyai basis massa besar, membuatnya menjadi pemain penting yang selalu diperhitungkan untuk menjaring suara dalam setiap momen politik bangsa. Di kandang NU yang beridentitas hijau, Jokowi hadir kontras dengan
penanda diri sarung berwarna merah.
Sarung menjadi bagian dari relasi kekuasaan dan politik yang tidak kentara, tertutupi dan bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol.
Kekuasaan memang memerlukan seperangkat pakaian yang berwibawa.
Sarung yang digunakan Jokowi dalam Muktamar NU menjadi kode-kode interaktif yang dapat dimaknai dan dibaca dalam domain kemasyarakatan, sebagai simbol artikulatif tentang pemikiran, propaganda hingga agitasi.
Politik kekuasaan berkelindan dengan imaji identitas yang melaju cepat dalam dinamika politik. Dengannya, seturut Pramutomo (2011), Indonesia menjadi “negara teater” dengan “drama” yang dicitrakan. Para politisi mengenakan pakaian khusus dalam ruang politis yang seremonial.
Muncul “drama-drama” dalam bentuk konstelasi citra penampilan melalui busana, seremoni dan politik dalam sebuah situasi etis dan estetis yang diciptakan. Kekuasaan dijalankan sedemikian rupa ditujukan ke arah pertunjukan, upacara, ke arah dramatisasi di muka umum.
Kita berharap kenyataan ini tidak mereduksi pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis, proses transformasi identitas kultural, dan konsepsi nilai spiritualitas sarung.
Jangan sampai logika politik meninggalkan ruang hampa bagi sejarah peradaban sebuah bangsa, atas nama modernitas. Untuk itu diperlukan literasi kebudayaan sebagai pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks (sosial) budaya.
Sarung mencatat seluruh aktivitas budaya, tidak hanya dalam praktik sosial, bahasa komunikasi politis maupun dalam etalase identitas nasional dan kultural sebuah bangsa. Termasuk ketika ada orang yang selalu bersarung pada kesehariannya,
sementara orang lain sibuk bekerja, mereka memperoleh sebutan baru: pemalas!
Editor: Almaliki