Etnis.id - 29 Juli 1971, di Balai Lelang Sotheby’s di London, penerbit Kegan Paul,
Trench, Trubner & Co.
membeli sebuah buku berkulit sampul tebal warna marun tua.

Jauh di benua lain, ribuan mil jaraknya, ada sebuah kampung bernama Tiuh Memon. Jika dilacak melalui mesin pencari Google, kampung itu kini berada di Kec. Pugung, Kab. Tanggamus, Lampung.

Siapa sangka ada kaitan antara buku yang dilelang itu dengan kampung Tiuh Memon. Bahkan kemungkinan besar tidak pernah diketahui sebelumnya
oleh warga Tiuh Memon dan Lampung saat ini.

Bagaimana buku itu bisa “nyasar” hingga ke balai lelang tersohor itu? Pertanyaan itu akan menggiring kita menengok jauh ke belakang, sekitar 180 tahun silam, ketika “Indonesia” belum lahir, masih berjuluk Hindia-Belanda.

Buku itu tebalnya sekitar empat sentimeter. Isinya tulisan tangan dengan tinta hitam dan merah, juga pensil. Banyak ilustrasi di dalamnya: perahu, orang, adu ayam, benteng, kuda, tumbuhan, suasana tepi laut, suasana peperangan, rumah panggung, dan pepohonan.

Yang membuatnya unik (dan entah mengapa penerbit itu tertarik membelinya), aksara dalam buku itu bukan aksara latin. Aksaranya kaganga, sebuah varian aksara di Sumatera bagian selatan. Itulah naskah terlengkap cerita rakyat “Anak Dalom”, epik yang (dahulu) terkenal di Sumatera bagian Selatan (Sumsel, Jambi, Bengkulu, Lampung). Seluruh naskah kuno Anak Dalom yang tersimpan di beberapa negara Eropa, berasal dari Lampung dan ditulis dalam aksara kaganga Lampung.

Agustus 1971, sebulan setelah dibeli penerbit Kegan Paul, Trench, Trubner & Co. Perpustakaan Leiden mengakuisisi buku itu dan hingga kini tersimpan-terawat baik di sana.

*

Buku tersebut awalnya koleksi Henry O. Forbes (1851-1932), seorang naturalis-botanist-zoologist-eksplorer-antropolog asal Skotlandia. Namanya mungkin tidak sefamiliar Alfred Rusell Wallace.

Jika Wallace lebih dulu bertualang ke Hindia Belanda bagian timur, Forbes ke bagian barat beberapa tahun setelahnya. Forbes bertualang di Hindia Belanda selama 5 tahun (1878-1883). Catatan perjalanannya itu dirangkum dalam buku “A Naturalist’s Wanderings in the Eastern Archipelago, a Narrative of Travel and Exploration from 1878-1883”.

Dalam buku itu dapat diketahui daerah-daerah yang dijelajahinya: Sumsel, Bengkulu, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Banten, Maluku, Makassar, Bima, Flores, Pulau Buru, hingga Timor-Timur. Dia bahkan ke pulau Cocos-Keling (pulau kecil terpencil di Samudera Hindia, kini masuk wilayah Australia, namun masyarakat dan budaya Melayu masih kental hingga kini).

Forbes tiba di Lampung tahun 1880. Di kantor residen di Telukbetung, ia difasilitasi oleh Controller De Heer dan Beyrinck. Dari Telukbetung, dia memulai perjalanan ke Gedong Tataan, Kota Jawa, Gunung Terang, Penanggungan, Tiuh Memon, Teratas, Semuong, Teluk Semaka, Benawang, Kenali, Hujung, Sukau, Seminung dan Ranau (Merujuk letak administrasi sekarang, dia melintasi Kota Bandarlampung, Kab. Pesawaran, Kota Pringsewu, Kab. Tanggamus, Kab. Lampung Barat). Setelah dari Lampung, dia melanjutkan ke OKU, Pasemah, dan Jambi.

Forbes mencatat banyak jenis flora dan fauna yang ditemuinya di Lampung (juga seluruh daerah yang dikunjunginya). Mayoritas ditulis dalam nama ilmiah, hingga cukup sulit bagi awam yang tidak mengetahuinya. Sejumlah hewan yang dilihatnya, dicatat. Seperti burung, lebah, kupu-kupu, beragam serangga, dan siamang. Ada juga kisahnya saat berpapasan dengan harimau di tengah hutan yang membuat kudanya stres semalaman.

Ti(y)uh Memon menjadi satu daerah yang didatangi Forbes dan ia tinggal beberapa lama di sana. Tiyuh dalam bahasa Lampung artinya desa atau kampung. Dalam catatan Forbes, dapat diketahui kisahnya selama berada di Tiuh Memon.

Dia diizinkan menginap di “balai”, semacam rumah adat masyarakat setempat. Forbes juga sempat belajar aksara kaganga di sana. Demikianlah, buku Anak Dalom berasal dari desa Tiuh Memon. Titimangsanya tahun 1881. Kemungkinan besar ditulis oleh warga di Tiuh Memon. Forbes juga menceritakan pengalamannya saat di Desa Teratas, tempat yang dikunjungi berikutnya setelah Tiuh Memon.

Di sana, bersama sejumlah warga setempat, Forbes mendengarkan seorang pencerita mengisahkan Anak Dalom. Orang-orang itu khusuk menyimak, sampai tertidur berselimut kain sarung. Menurut Forbes, kisah Anak Dalom serupa kisah Hercules dan Aeneas, mitologi Yunani dan Romawi.

*

Anak Dalom adalah cerita rakyat yang sebarannya cukup luas di Sumatera bagian selatan (Sumsel, Bengkulu, Jambi, dan Lampung). Lebih dominan kisahnya di Bengkulu. Bahkan sebagian kecil masyarakat lokal cenderung meyakini bahwa Anak Dalom adalah kisah historis, bukan sekadar kisah mitologis.

Anak Dalom menceritakan tentang seorang lelaki dari khayangan yang turun ke bumi dan “terlahir” dari dalam bambu. Suatu ketika, seseorang menemukan potongan bambu terapung di pantai Bangkahulu (Bengkulu). Saat bambu dibelah, ada bayi menggenggam telur dan keris di kedua tangannya (dalam versi lain, ada yang memegang kertas). Bayi itu kemudian dinamai Anak Dalom dan dirawat hingga dewasa.

Setelah bujang, Anak Dalom yang memiliki kesaktian, mencintai seorang gadis cantik di tanah Malaka (Malaysia). Gadis itu juga diperebutkan oleh raja Siam (Thailand) dan raja Aceh. Saat Anak Dalom ke Malaka untuk menyambangi gadis pujaan, perang tak terelakkan.

Kisah cinta tak tercapai ala Anak Dalom melebar hingga ke Patani (Thailand Selatan) hingga didapat kabar bahwa putri tersebut sesungguhnya saudara kandung Anak Dalom. Mereka sama-sama berasal dari khayangan.

Aspek mitologi, inses, politik kekuasaan, kisah kasih tak sampai, dan lainnya berkelindan dalam kisah Anak Dalom ini. P. Voorhoeve, seorang peneliti dan ahli bahasa Nusantara era Hindia Belanda yang cukup banyak membuat kajian-dokumentasi tentang cerita rakyat Sumbagsel, memberi catatan tentang buku ini dalam selembar kertas yang disisipkan dalam buku.

Selain menyebut kampung Tiuh Memon, Voorhoeve juga menyatakan bahwa naskah ini adalah naskah terbaik (paling lengkap) dari seluruh naskah Anak Dalom yang ada. Menurutnya pula, naskah Anak Dalom pernah dialih kreasi ke dalam komik oleh Amir Radja Sembilan. Sayang, belum ada informasi lebih lanjut mengenai hal ini.

*

Di Perpustakaan Leiden, selain Anak Dalom hasil koleksi Forbes, masih ada beberapa naskah Anak Dalom lainnya. Sebagaimana disebut di atas, seluruhnya berasal-merujuk Lampung, beraksara kaganga, ditulis tangan di kertas eropa ukuran folio.

Selain buku koleksi Forbes, seluruhnya hasil koleksi Van der Tuuk. Khusus koleksi Van der Tuuk, rinciannya sebagai berikut: 13 halaman (aksara latin dan Jawi), 38 hlm (aksara Lampung dan latin), 70 halaman, 59 hlm (bentuk buklet, dengan dua surat dalam aksara Lampung), 36 halaman (transliterasi dari 114 dan 143 hlm). Perbedaan jumlah halaman tersebut dapat dipahami karena cerita rakyat sifatnya dinamis, dapat terjadi penambahan, pengurangan, bahkan variasi cerita; bergantung kemahiran pencerita.

Selain Forbes dan Van der Tuuk yang mengoleksi naskah Anak Dalom, O.L. Helfrich juga pernah menyalin Tetimbai Anak Dalom dan dimuat dalam buku catatan perjalanannya selama di Krui-Lampung. Naskah Anak Dalom juga ada yang tersimpan di Muenchen (Jerman), berdasarkan informasi di buku Handschriften Aus Indonesien (Bali, Java, und Sumatra), Pigeaud & Voorhoeve, terbitan 1985

Kemungkinan besar Anak Dalom (versi Lampung) adalah satu-satunya naskah tertua (juga terbanyak), mengingat belum ada informasi naskah serupa di daerah lain (Sumsel, Bengkulu, Jambi). Ini jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung.

*

Karena naskah kuno Anak Dalom belum banyak diketahui di Lampung dan tiga provinsi lain di Sumbagsel, maka belum ada upaya alih aksara atau alih bahasa, menerbitkan ulang, apatah lagi mengkaji-meneliti isinya.

Folklor, epik, atau cerita rakyat dapat menjadi pintu masuk alternatif untuk melacak dan memahami budaya lokal. Naskah Anak Dalom sebagai warisan literer dan budaya Lampung (juga Sumbagsel) yang sudah dilupakan, mestinya dapat dinterpretasikan ulang atau dialihwahanakan dengan strategi kreatif, semisal novel atau pementasan teater, tari, atau lainnya. Dengan demikian, Anak Dalom yang sudah dilupakan, dapat kembali hadir di masyarakat masa kini dalam kemasan berbeda.

Editor: Almaliki