Etnis.id - Dalam memaknai sebuah keindahan, masyarakat Bugis membagi konsep keindahan menjadi dua bagian yakni keindahan ideal “ininnawa” dan keindahan berbentuk materi atau berwujud nyata “watang”.
Ininnawa berasal dari kata nawa atau nawa-nawa, sesuatu yang ada dalam pikiran. Dalam nawa-nawa, kenyatan di dunia ini dipersepsikan sebagai tiruan belaka. Asli ada dalam pikiran. Dunia ideal tidak tersentuh oleh apa yang ada di dunia itu sendiri.
Jika nawa-nawa itu baik, maka disebut ininnawa. Makanya ininnawa merupakan hasil pikiran dari keharmonisan nalar dan kata hati, yang tentu memiliki niat luhur untuk mencapai harapan secara nyata sebelum berbuat.
Jika dihubungkan dengan pemaknaan tentang keindahan, inninawa adalah bentuk keindahan ideal yang berada dalam pikiran. Orang Bugis memandangnya seperti itu. Sedangkan sesuatu yang berwujud atau “watang”, hanyalah sekadar bayang-bayang.
Yang berwujud hanyalah bentuk “penjelmaan” dari pikiran. Segala macam bentuk karya seni, dianggap sekadar bayangan yang nyata dari apa yang ada dalam pikiran seseorang ketika membuat hal tersebut.
Semisal kapal Pinisi. Keindahannya dianggap ada pada konsep, bukan dalam bentuk Pinisi itu sendiri. Pinisi hanyalah “bayang-bayang” dari ide orang-orang Bugis mengenai konstruksi pembuatan kapal.
Olehnya “Seni Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan” ditetapkan sebagai dalam Warisan Budaya Tak Benda Dunia (Intangible Cultural Heritage) oleh UNESCO pada tahun 2017. Artinya, warisan budaya adalah ide dan keterampilan adalah membuat perahu atau kapalnya. Hal ini sangat cocok dengan konsep keindahan yang diyakini oleh masyarakat Bugis.
Orang Bugis beranggapan bahwa keindahan adalah sesuatu yang sederhana. Makanya tidak ada ukuran bagi suatu keindahan. Sifatnya tidak berbatas. Sesuatu yang indah dianggap tidak “ternilai” (tidak dapat dinilai), tidak dapat digambarkan.
Sitinaja
Lain lagi tentang sitinaja. Ini adalah konsep kesederhanaan dalam keindahan bagi orang Bugis, yang berarti pantas, wajar atau patut. Kewajaran dalam sitinaja adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan sesuai dengan porsinya.
Seseorang yang bertindak wajar, berarti mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak mengambil hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya sendiri. Apalagi untuk orang lain. Ia sadar, orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.
Dalam konteks indah yang lebih luas, masyarakat Bugis menganggap indah juga tentang persoalan cara memandang hidup, bertindak, juga menerapkannya dalam pembentukan karakter. Bagi orang Bugis, keindahan yang ideal tidak bersifat tunggal. Ia didukung oleh bentuk-bentuk keindahan lain di sekitarnya.
Artinya, suatu keindahan benar-benar mencapai idealnya ketika ia harmonis dengan lingkungannya. Konsep-konsep keindahan inilah yang tecermin dari pelbagai bentuk kesenian dan tradisi orang Bugis.
Sebut saja arsitektur rumah Bugis. Rumah orang Bugis terdiri dari tiga bagian yakni awa bola, alle bola, dan rakkeang. Konstruksi ini bagi orang Bugis memiliki nilai tersendiri.
Pandangan kosmologis suku Bugis mengganggap bahwa makrokosmos atau alam raya ini tersusun atas tiga tingkat yaitu: Botting langi’ (dunia atas), ale kawa (dunia tengah), dan uri liyu (dunia bawah).
Segala pusat dari ketiga bagian itu adalah botting langi’, tempat Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam. Makanya diciptakan rakkeang (loteng, kepala), ale bola (badan rumah) awa bola (kolong rumah, kaki).
Makna yang diwakili dari tingkatan tersebut, merupakan cerminan akan tiga dunia yang diyakini manusia Bugis, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Sedangkan secara fungsional, rumah Bugis memiliki fungsi yang menjelaskan bagaimana kehidupan itu harus dibangun secara seimbang dengan keluarga, masyarakat dan lingkungan mereka.
Filosofi hidup yang diyakini oleh orang Bugis bukan hanya pada kesenian dan tradisi saja, melainkan juga pada segala aspek kehidupan. Sesuatu yang indah adalah sesuatu yang memiliki nilai yang tidak hanya bisa dilihat dari bentuknya.
Estetika atau keindahan, tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang sedap dipandang mata, melainkan apa yang pantas dan memberikan dampak baik bagi kehidupan. Akhirnya saya simpulkan bahwa Bugis bukan hanya sebuah suku dan budaya, Bugis adalah bentuk dari keindahan itu sendiri.
Editor: Almaliki