Etnis.id - Masyarakat adat di Maluku dan Papua punya aturan adat yang berupaya untuk memulihkan dan menjaga sumber daya alam di sekitar mereka agar tetap lestari. Namanya sasi.

Saya pertama kali mendengar sasi di dalam mata kuliah bertajuk Kelembagaan Perikanan. Saat itu, kelompok kawan saya diberi tugas untuk menjelaskan mengenai aturan sasi dari kelembagaan adat masyarakat Maluku.

Sasi yang dibahas hanya sasi laut dan sasi sungai saja, yaitu larangan pemanfaatan hasil laut dan sungai, baik itu ikan maupun kerang-kerangan dalam jangka waktu tertentu.

Penjelasan dari perkuliahan itu sudah tidak sepenuhnya saya ingat. Makanya, saya membaca kembali sejumlah jurnal tentang sasi yang ditulis oleh Zulfikar Judge dan Mariska Nurizka, berjudul Peranan Hukum Adat Sasi Laut dalam Melindungi Kelestarian Lingkungan di Desa Eti Kabupaten Seram Bagian Barat (2008).

Pulau Seram/FIickr/Pierre Pattiepilohy

Dijelasi bahwa sasi ada lima jenis. Salah satunya ialah sasi umum, yang berarti sasi yang dijalankan oleh seluruh warga negeri (desa). Sasi umum terbagi dua, yaitu sasi air dan sasi darat. Sasi air meliputi sasi laut dan sasi sungai. Sedangkan sasi darat meliputi sasi hutan dan sasi binatang.

Sasi laut adalah sasi yang meliputi kawasan pantai dan laut negeri. Hasil laut seperti ikan jenis tertentu, kerang-kerangan, rumput laut, teripang dan lainnnya biasa dikenakan sasi, karena dianggap penting dan bernilai oleh masyarakat setempat.

Sasi sungai juga termasuk dalam larangan mencuci di sungai, larangan perahu menyalakan mesinnya saat melintasi sungai dan larangan kepada kaum laki-laki agar tidak bercampur dengan perempuan saat mandi di sungai. Pohon-pohon di sekitar sungai juga dilarang untuk ditebang.

Pemandangan di Seram/FIickr/Pierre Pattiepilohy

Sasi hutan berarti larangan untuk mengambil dan memanfaatkan hasil hutan, baik buah, kayu atau hal apapun dari tanaman-tanaman di kebun atau di hutan. Tanaman yang biasa dikenakan sasi adalah pohon kelapa, cengkeh, pala, rotan dan damar.

Ada juga untuk binatang. Sasi binatang mengatur mengenai penangkapan binatang tertentu yang populasinya sudah mulai berkurang. Seperti kus-kus yang dulunya banyak dijumpai di hutan Maluku.

Contoh yang saya paparkan, seperti pelarangan kegiatan mencuci pakaian di sungai, dikarenakan limbah detergen dapat mencemari sungai. Begitu juga dengan mesin perahu yang menyala, akan menganggu telur-telur ikan di sungai.

Prosesi Tutup-Buka Sasi

Lembaga adat yang berperan dalam tradisi sasi di Maluku, ialah kewang. Kewang bertugas membuat ketentuan dari pelaksanaan sasi, seperti penentuan jangka waktu pemberlakuannya: Antara 3 sampai 6 bulan atau 1 sampai 2 tahun. Penentuan waktu ini biasanya bergantung dari sumber daya alam yang hendak dilestarikan.

Saat sasi akan diberlakukan, kewang besar (kepala kewang) bertugas untuk memimpin pemasangan atau pencanangan kayu yang diikat dengan daun kelapa muda (janur) sebagai tanda tutup sasi.

Kewang besar akan berteriak lantang; si lo ooo, yang berarti sasi. Teriakan itu akan dijawab oleh anak-anak kewang; mese eee ooo, yang berarti tetap.

Zulfikar dan Mariska menjelaskan bahwa setelah prosesi itu, sasi telah diberlakukan dan sumber daya alam yang di-sasi tidak boleh dimanfaatkan sampai kewang melakukan prosesi buka sasi.

Pintu Kota Ambon, Maluku/FIickr/Pierre Pattiepilohy

Dalam pelaksanaan sasi, kewang juga bertugas mengawasi dan memberi sanksi seperti denda dan cambuk bagi para pelanggar. Ada pula yang menganggap bila ada yang memakan hasil alam yang di-sasi, maka orang itu akan sakit berhari-hari. Semua sanksi itu diberikan supaya ada efek jera bagi para pelanggar.

Bila tiba masa buka sasi, seluruh warga negeri akan bersuka cita. Kapata-kapata (nyanyian adat) akan dilantunkan di baileu (rumah adat). Kewang akan berkeliling negeri dan menyebut nama teon atau nama asli kampung.

Saat itu tahuri (terompet) ditiup berkali-kali dan kewang kembali berteriak: Pua silo teas toto mullalo amun hutum. Artinya sasi telah dibuka, jangan petik buah yang masih muda, bersihkan daun dari seluruh dusun. Kayu penanda sasi pun dilepas dan warga negeri akan memanen hasil alam yang berlimpah setelah sekian lama sasi diberlakukan.

Zulfikar dan Mariska menjelaskan, para warga negeri akan mengumpulkan hasil alam terbaik yang berhasil mereka panen di baileu. Hasil alam yang terbaik itu nantinya akan dipersembahkan kepada pemimpin negeri dan para tokoh agama.

Sasi di Merauke

Tradisi sasi juga dapat ditemui di masyarakat adat Kanum yang bermukim di kampung Tomerrauw, Merauke, Papua. Informasi ini saya dapat saat membaca catatan etnografi dari I Ngurah Suryawan, yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul; Ruang Hidup yang Redup (2018).

I Ngurah Suryawan menjelaskan, sasi bagi masyarakat Kanum bertujuan untuk menghemat sumber daya alam yang ada di wilayah adat mereka.

Sasi dilakukan apabila mereka melihat adanya tanda-tanda ketidakseimbangan alam. Salah satu tandanya seperti binatang liar saat mencari makan di sekitar kampung, khususnya babi, rusa dan kanguru Papua. Bila terjadi, masyarakat Kanum menilai ada yang salah dengan lingkungan alam mereka, khususnya yang berhubungan dengan rantai makanan binatang itu.

Perlu diketahui sebelumnya, binatang-binatang itu dulunya sering mencari makan di sekitar kampung mereka dengan tenang. Maka dari itu, sasi diberlakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup agar tetap baik. Saat sasi dilakukan, masyarakat adat Kanum melarang pembunuhan binatang dan perusakan lingkungan hidup di kawasan yang telah ditentukan.

Anak-anak di Merauke sedang bermain/FIickr/Mat Dearden

Di kampung Tomerrauw, sasi yang sering dilakukan ialah sasi adat. Sasi diberlakukan di habitat binatang yang akan dilindungi. I Ngurah Suryawan menyampaikan, bahwa masyarakat Kanum melakukan sasi dengan memasang tanda berupa kayu yang diikat dengan alang-alang dan daun kelapa. Tanda itu dipasang di kawasan yang akan di-sasi.

Lama masa sasi di masyarakat Kanum bergantung kesepakatan dari setiap warga. Ada yang hitungan bulan dan tahun. Masyarakat adat yang ditemui Ngurah Suryawan mengatakan, bahwa masa sasi adalah masa tenang untuk binatang makan dan berkembang biak.

Sebab ketika sasi telah berlaku, binatang tak boleh diburu dan dibunuh. Jika ada yang melanggar, maka sanksi mesti ditanggung. Pembayaran denda yang dibebankan dapat berupa uang, babi dan pohon. Semuanya bergantung kesepakatan.

Kini, tradisi sasi di Maluku dan Merauke harus menghadapi tantangannya masing-masing. Adanya kontak dengan kebudayaan lain dan perubahan sikap dari anggota masyarakatnya, membuat tradisi ini mengalami perubahan.

Di Maluku, tradasi sasi telah disesuaikan dengan kepercayaan agama. Sedangkan di Merauke, masyarakat Kanum mesti menghadapi para pemburu dari luar yang terkadang tidak menghormati aturan sasi.

Editor: Almaliki