Etnis.id - Dalam lingkup pernikahan Makassar, ada tradisi yang dinamai Abburitta dan Ammuntuli. Keduanya dilakukan sebelum perkawinan. Soal kapan tradisi ini dimulai, tak diketahui pasti, yang jelas telah berlangsung lama, beriringan dengan peradaban kerajaan Gowa.
Kedua tradisi itu artinya mengundang. Perbedaaannya, peruntukan tujuan undangannya. Abburitta adalah undangan pernikahan, sementara Ammuntuli adalah undangan hajatan tertentu seperti malam pacar.
Abburitta mengandung arti pesan atau pemberitahuan tentang hari dan tanggal pernikahan kepada keluarga. Pesannya seperti; dengan siapa akan menikah; asalnya dari mana; latar belakang keluarganya, dan pekerjaannya. Semuanya disampaikan secara lisan kepada keluarga terdekat, teman, sahabat, dan tetangga.
Abburitta dilakukan oleh tiga sampai sepuluh orang ibu-ibu dan satu anak laki-laki yang disebut pagadu. Orang yang menyampaikan pesan undangan disebut paburitta. Mereka berpakaian adat; Perempuan memakai baju bodo dengan sarung sutra; Lelaki yang disebut pagadu memakai baju putih dan sarung putih serta songkok putih pula.
Sementara orang yang diundang disebut niburittai. Dalam rombongan paburitta, seorang ditunjuk sebagai juru bicara yang melaksanakan tugasnya ketika berhadapan dengan orang yang diundang dengan bentuk tutur kata yang sopan dan penuh penghargaan.
Sementara untuk keluarga yang jauh dalam arti tempat tinggal, maka ia diundang secara tertulis. Pembawa undangan hanya dilakukan dua sampai tiga orang. Masing-masing menggunakan baju adat sambil membawa undangan kepada yang dituju.
Ketika memasuki rumah tujuan, pembawa undangan menyampaikan dengan penuh hormat dan santun sambil mengucapkan salam hormat dari pengundang
hajatan.
Ammuntuli
Ammuntuli dilakukan saat ingin melaksanakan malam pacar, sehingga disebut juga Ammuntuli Korongtigi atau mengundang pada malam pacar. Tradisi ini dilakukan ketika menjelang hari pernikahan (biasanya satu atau dua hari sebelum pesta).
Akkorongtigi merupakan rangkaian perayaan perkawinan dengan penggunaan simbol-simbol atau syarat yang bermakna pada setiap ritual dan dilakukan selama prosesi malam pacar. Sederhananya, tradisi ini dijalankan dengan doa-doa untuk calon mempelai.
Orang yang akan menghadiri prosesi malam pacar terlebih dahulu diundang atau nibuntuli. Sementara prosesi mengundang tokoh yang dimaksud disebut Ammuntuli yang mengandung arti undangan. Orang-orang yang datang mengundang disebut pammuntuli.
Jika yang diundang adalah tokoh masyarakat adat (karaeng) dan pempinan wilayah (kepala desa dan camat), maka rombongan pammuntuli menggunakan baju adat (baju bodo bagi perempuan dan lelaki memakai jas tutup dipadu sarung, songkok recca atau passapu) umumnya mereka berjumlah 10 orang atau lebih.
Iringan pammuntuli disertai tabuhan gendang, pui-pui dan gong dengan irama yang khas. Rombongan terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, gadis remaja serta anak-anak. Setiap orang dalam rombongan, masing-masing membawa penganan khas Makassar seperti songkolo dan aneka kue (cucur, lapis, biji nangka, srikaya, dan kue-kue kering) yang ditaruh dalam bosara untuk dipersembahkan kepada yang diundang.
Dalam rombongan pammuntuli, seorang ditunjuk sebagai juru bicara yang melaksanakan tugasnya ketika berhadapan dengan tokoh yang diundang. Tentunya, pembicara mengundang memakai kata yang sopan dan penuh penghargaan seperti di bawah ini.
"Tabe’ malabbiri, kupabattui sallang pappikatu battua ri patannna gau, mange ri dallekanta. I kambe pappa battu sallang pammuntuli korongtigi anak kamanakanta na buntinga. Insyaallah tena saba-saba’na ri bangnginna...”
(Dengan penuh rasa hormat, pesan ini kami sampaikan kepada saudara dari yang melakukan hajatan. Bahwa kami dari yang mewakili beliau, mengundang saudara dalam rangka malam pacar resepsi perkawinan anak, kemanakan kami, yang
insyaalah dilakukan pada malam hari....)
Kemudian tunibuntuli (yang diundang) akan menjawab dengan balasan yang sangat sopan pula, yang dasarnya berterima kasih atas penghormatan tersebut seraya berpesan akan kesediaannya menghadiri malam pacar yang dimaksud.
Selain meminta untuk hadir, juru bicara rombongan juga appasabbi atau meminta saran dan pendapat terkait hajatan yang akan dilaksanakan. Tradisi ini merupakan wujud penghormatan terhadap sosok tokoh yang kharismatik. Setelah Ammuntuli selesai, rombongan pamit, iringan gendang masih tetap bergema sampai rombongan tiba dengan selamat.
Inilah tradisi turun-temurun yang telah lama dilakukan masyarakat Makassar yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan sesama manusia. Tradisi memuliakan harkat dan martabat manusia yang beradab.
Dengan cara inilah, sekiranya kerukunan akan lebih erat. Ikatan persaudaran lebih terasa kental, karena diikat oleh tradisi yang mendahlukan rasa penghargaan yang tinggi, dengan cara mengirim utusan ke rumah sebagai bentuk pesan pemberitahuan.
Menariknya, tradisi ini umunya hanya terdapat di Sulawesi Selatan, itu pun tidak semua daerah menerapkan hal yang sama. Tradisi ini hanya ada di kampung-kampung bersuku Makassar yang pernah berdiri situs peradaban (daerah kekuasaan kerajaan Gowa) seperti di Kabupaten Gowa, Takalar, Maros dan Jeneponto.
Walau terdengar menarik, kegiatan ini tampaknya tengah mengalami degradasi dan perlahan mulai ditinggalkan. Zaman berubah. Entah masyarakat terdekadensi moralnya atau arus teknologi yang menggerus budaya dan tradisi sehingga terjadi pergesaran norma sosial.
Intinya, keragaman budaya adalah kekayaan yang tidak ternilai. Ikatan budaya dalam suatu tradisi yang begitu kuat mengakar, membentuk persatuan dan memperkokoh persaudaraan. Kita tidak akan tahu ke depan seperti apa wujud kebudayaan lokal yang terus mengalami degradasi.
Jika hari ini anak-anak kita tidak dibekali pengetahuan tentang keragaman budaya yang pernah ada. Maka tradisi budaya yang penuh kearifan, akan hilang tergerus zaman. Makanya, kita sebagai penerus zaman, baik yang duduk di pemerintahan atau penggiat sosial, berupayalah mengambil inisiatif untuk tetap melestarikan dan merawat kearifan lokal bangsa kita.
Editor: Almaliki