Etnis.id - Kepercayaan masyarakat Jawa tentang roh dan kekuatan adikodrati atau gaib telah ada sejak dahulu. Leluhur kita percaya bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa. Semua yang bergerak dianggap hidup, mempunyai kekuataan gaib, dan memiliki watak baik dan buruk.

Sama seperti pandangan Mbah Maridjan selaku juru kunci Gunung Merapi yang melihat bahwa Merapi merupakan makhluk gaib yang bernapas, berpikir, dan berperasaan. Maka tidak heran, saat Merapi sedang bergejolak, Mbah Maridjan percaya bahwa sosok gaib Eyang Merapi sedang murka dan mengingatkan manusia, khususnya di wilayah Gunung Merapi. Murka sang Eyang bagi Mbah Maridjan dimaknai sebagai akibat keserakahan dan rakunya manusia.

Makanya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bagi keberlangsungan hidup manusia. Para leluhur dan masyarakat Jawa secara umum, khususnya di
dalam lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sering mengadakan ritual upacara Labuhan.

Tulisan ini secara khusus tidak membahas satu per satu dari upacara Labuhan, melainkan secara umum menjelaskannya. Kata Labuhan sebagai upacara sakral di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berasal dari kata labuh atau larung, yang memiliki arti melarung sesuatu ke sungai atau laut.

Asal-usulnya tidak lepas dari sejarah kerajaan Mataram Islam yang dimulai pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I 1755. Meski yang menyelenggarakan Labuhan berasal dari Kraton, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, masyarakat dapat ikut serta. Labuhan dalam praktiknya dibagi menjadi dua, yakni Labuhan Alit dan Labuhan Ageng.

Labuhan Alit dilaksanakan setahun sekali di tiga tempat yakni di Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sedangkan Labuhan Ageng dilaksanakan delapan tahun sekali di Dlepih Kahyangan. Keduanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu yakni pada:

1). Penobatan raja; 2). Peringatan hari ulang tahun penobatan Sultan atau disebut Tingalan Panjenengan atau Tingalan Dalem Panjenengan atau Tingalan Jumenengan; 3). Peringatan windon hari ulang tahun penobatan Sultan. Windon berarti setiap delapan tahun.

Sebagai upacara yang bersifat religius magis, Labuhan dilakukan di empat tempat
yang berbeda, yakni: 1). Pantai Parangkusumo; 2). Gunung Merapi; 3). Gunung Lawu; 4). Perbukitan Dlepih Khayangan.

Karena Labuhan bersifat sakral yaitu berupa pemberian atau pisungsung (persembahan), maka pemilihan empat tempat yang telah disebutkan di atas bukan tanpa alasan.

Keempatnya dipilih berdasarkan sejarah, peristiwa, atau tokoh-tokoh penting yang pernah ada dan berpengaruh bagi hidup kehidupan dalam Kraton khususnya, maupun masyarakat pada umumnya.

Contohnya seperti:

1). Pantai Parangkusumo dipilih karena bertolak dari hikayat yang meriwayatkan kisah kasih antara Kangjeng Panembahan Senopati dengan Kangjeng Ratu Kidul. Selain Parangkusumo sebagai tempat bertapa, merenung, dan memohon petunjukkan Tuhan, Kitab Babad Tanah Jawa meriwayatkan bagaimana Kangjeng Panembahan Senopati untuk pertama kali bertemu dengan Kangjeng Ratu Kidul yang berlanjut dengan hubungan “kasih” (“kasih” yang dimaksud secara filosofis), hingga menjadi sang “Istri” Kangjeng Panembahan Senopati.

Dari sana, keakraban berlanjut kepada para raja Mataram, anak-cucu Kangjeng Panembahan Senopati, hingga akhirnya berkewajiban menghormati dan menjaga hubungan itu dengan melaksanakan tradisi Labuhan.

2). Perbukitan Dlepih Khayangan, secara administratif perbukitan ini terletak di Kecamatan Tirtamaya, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Perbukitan ini dipilih karena didasari kisah pertapaan Kangjeng Panembahan Senopati sebelum diangkat atas amanat rakyat sebagai raja pertama Mataram Islam.

Bertolak dari tempat pertapaan Kanjeng Panembahan Senopati ini, maka para Susuhunan Surakarta Hadiningrat dan para Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat melakukan Labuhan. Segera setelah seorang putera mahkota dinobatkan sebagai raja dan dilakukan setiap windon hari ulang tahun penobatan raja. Selain itu, dasar dipilihnya perbukitan Dlepih, akibat tempat ini dijadikan semedi oleh Kangjeng Sunan Kalijaga karena terpesona oleh keindahan dan kenyamanannya.

3). Gunung Lawu tidak lepas dari sejarah Prabu Kertabhumi Brawijaya V Majapahit, leluhur dari raja-raja Mataram yang pada masa akhir pemerintahannya, digantikan oleh Kerajaan Demak. Prabu Brawijaya lalu menjalani sisa hidupnya pergi ke Gunung Lawu untuk bertapa (moksa).

Sebagai petapa, Prabu Brawijaya dikenal dengan nama Susuhunan Lawu I Kasepuhan. Sikap untuk menjalani hidup sebagai petapa ini, kemudian diikuti oleh anaknya, Raden Gugur. Hingga akhir hayatnya, Raden Gugur menjadi petapa di gunung Lawu dan dikenal dengan nama Susuhunan Lawu II Kaneman. Dengan menghormati kedua tokoh di atas, maka Gunung Lawu selalu dijadikan tempat upacara Labuhan.

4). Gunung Merapi dianggap “pusar bumi tanah Jawa”. Di sana, ada kepercayaan untuk menghormati “penguasa” Merapi yang dikenal dengan nama Panembahan Prabu Jagad atau Kyai Sapu Jagad dengan sejumlah makhluk gaib lainnya. Akhirnya, Merapi diberi persembahan setiap kali dilakukan Labuhan.

Dari keempat tempat di atas, sepintas jika kita amati, sangatlah berkaitan dengan kosmologi, yakni terdiri dari laut dan gunung yang menggambarkan makrokosmos (jagad gede) dan mikrokosmos (jagad kecil) kehidupan manusia.

Adapun nilai-nilai kearifan yang bisa dipetik dari tradisi upacara Labuhan ini adalah salah satu wujud nyata adanya sinergitas antara alam, manusia dan tumbuhan dalam suatu kerjasama dengan tujuan saling menjaga keselamatan.

Menjalin hubungan baik dan meyakini bahwa "mereka" ada dan ikut menyembah Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagaimana bunyi ayat Quran, “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku; (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56)."

Editor: Almaliki