Etnis.id - Sal Murgiyanto, kritikus seni tari, mendengarkan dengan seksama ketika esai-esai kritiknya “dibongkar” dalam berbagai sudut pandang, konsep, dan teori-teori.

Kumpulan esai kritik tari yang dibuatnya dalam buku berjudul Kritik Seni Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2017) dan Ketika Cahaya Merah Memudar (1993) itu diulas dan dibicarakan ulang dalam seminar di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Pembahasnya adalah G.R. Lono Simaputang (seorang antropolog) dan Kris Budiman (pakar semiotika visual). Esai kritik Sal Murgianto kemudian menjadi sebentuk “karya baru”, terpisah dari karya seni pertunjukan yang dikritiknya.

Melembaga

Hingga kini, kritik seni (pertunjukan) melembaga dalam bentuk kelas-kelas kritik di sekolah atau kampus jurusan seni. Namun demikian, pengajaran dalam kelas kritik itu selalu mencoba dikekalkan dengan pelbagai macam teori.

Akibatnya, kita lebih khusyuk membicarakan teori-teori dalam penulisan kritik, dibanding menulis kritik itu sendiri. Kelas kritik sesak dengan penjelasan-penjelasan seputar semiotik, hermenuitik, etnografi, praxis, sosiologi, antropologi, pendagogik, holistik, dan seabreg persoalan teknis-teknis lainnya.

Mahasiswa kelas kritik fasih saat berbicara tentang teori kritik, namun gagal dalam menulis kritik. Ini juga yang menyebabkan banyak guru besar (profesor) kritik seni yang menulis teori-teori kritik, namun tak memiliki karya kritik
satu pun yang dapat dibaca.

Mereka mampu berwacana, namun melupakan tubuh kritik seni itu sendiri. Hasilnya, lembaga, sekolah, dan kampus seni tidak mampu melahirkan kritikus yang mumpuni, tapi menghasilkan pemikir tentang kritik.

Hal ini sama seperti saat kita mendaras kitab suci hingga khatam, namun gagal mengamalkan nilai dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ayat-ayat itu hanya menjadi ajang unjuk hapal alias ruang berpamer dalil.

Kita terlalu banyak menghasilkan teoritikus kritik dibanding pelaku kiritk. Teori-teori tentang kritik seni, idealnya adalah lorong dalam menumbuhkan semangat menulis kritik agar lebih mudah dilakukan.

Teori adalah jembatan yang “menyederhanakan” penulisan kritik seni. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, teori tentang kirik seni justru kadang membuat dahi berkerut, geleng-geleng dan garuk-garuk kepala karena bingung dan membikin pusing.

Belum juga menulis kritik, membaca teori-teori tentang kritik saja sudah menjadi momok yang menakutkan. Ujian di kelas-kelas kritik juga tak lantas menulis kritik, namun menyebutkan dan menjelaskan teori-teori kiritik yang ada.

Menulis kritik seni menghadapi jalan terjal. Hal ini juga dimulai (salah satunya) dari lembaga-lembaga formal kesenian. Kampus mencetak ilmuan teori kritik, namun bukan kritikus. Kita melupakan bahwa palang pintu pertama dalam menulis kritik adalah “menulis”, bukan berwacana.

Agar mampu menghasilkan pemain bola yang andal, dimulai dari persentuhan antara kaki dan bola, bukan gugusan komentar. Kemampuan menulis seringkali tidak dipupuk dari awal.

Peserta kelas kritik terlalu terburu untuk disesaki dengan berbagai penjelasan tentang teori-teori kritik, namun menihilkan kemampuan mereka dalam menulis atau membuat kata yang menarik.

Ilmu menulis tidak terasah, tapi kemampuan berwacana semakin tumbuh. Hasilnya, saat mereka diminta menulis kritik seni (pertunjukan), tidak satu kata pun dilahirkan. Mereka lebih disibukkan dengan teori apa yang hendak digunakan, kemudian membaca teori itu, dan bingung dengan sendirinya. Kritik seni, sekali lagi, gagal terbuat.

Tubuh kritik

Dalam diskusi kala itu, terlontar pertanyaan pada Sal Murgiyanto tentang sejarah awal persentuhannya dengan dunia kritik seni tari dan bagaimana laku penulisan kritik itu dijalaninya.

Jawaban Sal sungguh membuat publik terhenyak, ia menulis karena sebentuk empati dan kecintaannya pada seni tari. Apalagi, kala itu proporsi tubuh pendek Sal tak memungkinkannya menjadi penari yang dilirik, terlebih untuk tokoh-peran kesatria di Jawa.

Ia mengambil jalan lain, memutuskankan menulis dengan berbekal realitas pengalaman praktik tari yang dimiliki. Pengalamannya menari adalah bekal penting dalam menggores kata. Tulisan-tulisannya “hidup” dan menjadi acuan hingga kini.

Para akademisi dan kaum intelektual seni, kemudian mencoba membongkar struktur penulisan kritik yang dilakukan oleh Sal Murgiyanto. Berbagai teori, paradigma, dan konsep pun dilahirkan atas pembacaan dari esai-esai Sal.

Tiga hal itu kemudian dilembagakan menjadi materi di kelas-kelas kritik seni pertunjukan (tari). Mahasiswa membaca teori kritik seni tari, tapi tak membaca esai kritik Sal. Aduh!

Tubuh kritik menjadi renta. Dibongkar dan diulas, tapi tak lekas menjadi pemicu bagi lahirnya kritikus-kritikus anyar. Saat di kelas kritik, kebekuan dalam menulis kritik seni itu dapat dilihat dari kemampuan melahirkan kata atau
kalimat pertama (lead).

Hampir semua mengalami kemandulan mencetuskan kalimat awal yang menarik. Akhirnya, mereka menyerah dan kata “adalah” digunakan sebagai jalan keluar. Jika hendak menulis kritik Tari Gambyong, maka selalu diawali dengan “Gambrong adalah”.

Saat hendak menulis Jazz, diawali dengan “jazz adalah”. Ini sama seperti dongeng pengantar tidur yang selalu diawali dengan penyebutan waktu “pada suatu hari, pada zaman dahulu, saat mentari terbit di timur, kala jarum jam menunjukkan pukul, konon, dan lain sebagainya”.

Akibatnya, seringkali tulisan kritik penuh dengan bahasa definitif yang kaku, seringkali pula hanya berpamer teori dan konsep hingga tak jauh
beda dengan menulis skripsi-tesis. Endingnya, esai itu tak mampu hadir menyapa pembaca di kolom budaya media. Duh!

Editor: Almaliki