Etnis.id- Pagi hari, setelah Nenek mengurus panganan ayamnya. Para perempuan dewasa dalam keluarga kami, menyiapkan teh atau kopi panas yang dalam bahasa Bugis disebut uwae pella untuk dinikmati bersama.

Tidak hanya untuk keluarga inti, tamu juga dapat. Ada juga disajikan kue tradisional. Paling sering, Nenek menyuguhkan pisang dan sukun goreng atau kue apang. Santapan pagi itu selalu dinikmati di lego-lego atau beranda depan rumah Nenek. Beranda dalam istilah Bugis disebut dengan lego-lego.

Sebagai perempuan bersuku Bugis yang hidup di kota, tradisi dan ritual Bugis tidak lagi terasa intim. Zaman mengubah hal-hal yang indah berganti dengan hal-hal yang asing. Meski begitu, harta kenangan bukan berarti hilang sama sekali. Saat pulang kampung atau berkunjung ke rumah Nenek, ke-Bugis-an saya terasa kembali.

Salah satu kebiasaan yang paling dirindukan adalah saat pagi-pagi sekali, kami berkumpul di lego-lego menyantap uwae pella dan sanggara pella (pisang goreng yang disajikan saat masih panas). Biasanya, kami sekeluarga bercerita banyak hal di sana. Tertawa-tawa bahkan melihat kondisi tetangga mengerjakan apa dan sebagainya.

Lego-lego menjadi tempat berkumpul, menyantap makanan bersama sembari bercengkrama. Jika kau punya lego-lego, coba rasakan, bagaimana asyiknya berkumpul di beranda dengan sanak famili ditemani biskuit yang dicelup ke dalam teh atau kopi pada pagi hari.

Mencermati lego-lego, berarti membawa kita pada satu pokok pembahasan yang menarik untuk dibongkar kembali, yakni tentang karakter masyarakat Bugis yang komunal. Manusia-manusia Bugis adalah manusia yang senang berkumpul. Hadirnya lego-lego menjadi bukti dari itu semua.

Lego-lego rumah Nenek/ETNIS/Ais Aljumah

Rumah untuk manusia dan alam

Menyelisik tradisi berkumpul masyarakat Bugis, bisa dilihat dari keberadaan rumah dan berandanya. Keduanya adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Rumah bagi masyarakat Bugis, tidak hanya sebagai tempat bernaung, tapi juga tempat untuk hidup. Menghidupkan diri dan alam.

Struktur rumah masyarakat Bugis memang sangat filosofis. Kita mengenal ada tiga bagian penting rumah adat Bugis (bola) yang dalam kajian beberapa pakar dan budayawan Bugis, direpresentasikan sebagai mikro kosmos dari alam.

Manusia Bugis menganggap bahwa alam raya (makro kosmos) tersusun dari tiga bagian: Pertama, dunia atas yang disebut dengan botting langi. Langi berarti langit yang menjadi atap kehidupan manusia. Kedua, dunia tengah disebut dengan ale kawa atau tempat manusia hidup. Ketiga, dunia bawah atau buri-liung.

Ketiga susunan itu terefleksi dalam rumah adat Bugis yang terdiri dari: Rakkeang (loteng) yang merupakan simbol dari dunia atas dan berfungsi sebagai tempat menyimpan padi. Kedua, wanting-bola (badan rumah) yang menjadi simbol dari dunia tengah dan menjadi tempat utama bagi penghuninya melakukan aktivitas sehari-hari. Ketiga, awa-bola atau kolong rumah yang merupakan simbol dunia
bawah dan sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian, beternak, tempat bermain ataupun menenun kain.

Sementara itu, lego-lego berada di wanting-bola atau badan rumah yang berada di bagian depan. Jika dilihat dari posisinya, lego-lego menjadi tempat yang menghubungkan antara rumah dan alam.

Lego-lego merupakan bagian terdepan dari sebuah rumah panggung. Syarif Beddu dkk dalam penelitiannya tentang perubahan bentuk lego-lego mengungkapkan bahwa lego-lego berfungsi sebagai area tempat peralihan dari ruang luar menuju ruang dalam, sehingga ruang lego-lego dapat dikategorikan sebagai ruang semi publik. Lego-lego dapat dianggap teras pada bangunan non-panggung. Keberadaannya menjadi sandaran tangga depan pada rumah panggung Bugis.

Fungsi lego-lego pada zaman lampau, menjadi ruang komunal bagi keluarga dan tetangga; Lego-lego menjadi tempat menerima tamu non formal, bersosialisasi, bersenda gurau. Terkadang, orang Bugis duduk beramai-ramai di tangga (bagian lego-lego), saling menyisir rambut dan mencari kutu.

Menurut Shima (2006), lego-lego juga berfungsi sebagai tempat duduk tamu sebelum ke dalam rumah. Dalam hal ini lego-lego menjadi ruang transit atau dapat disebut sebagai ruang tamu pertama. Untuk rumah rakyat, biasanya lego-lego hanya memakai dua buah tiang, sedangkan saoraja (rumah panggung besar yang biasanya ditempati oleh keturunan raja) memakai 4-6 buah tiang.

Lego-lego mengajarkan kita tentang konsep kebersamaan. Melalui lego-lego, orang-orang bugis membicarakan banyak hal dalam hidup dan dalam segala aspek serta bagaimana cara mengatasinya.

Di kampung-kampung, lego-lego tak pernah sepi. Ada banyak bahasa dan cerita yang terahim di sana. Walau kini banyak rumah panggung yang telah bertransformasi menjadi rumah batu dan karenanya lego-lego tidak lagi sama dengan yang dulu.

Meski demikian, setiap cerita yang pernah ada akan selalu berdetak. Setiap tegukan kopi panas menjadi saksi peradaban masyarakat Bugis. Sebuah bangsa yang menjunjung kebersamaan dan karakter komunalnya. Semoga, suatu hari saat pulang ke kampung halaman, kita masih bisa menemukan lego-lego dan menikmatinya bersama keluarga.

Editor: Almaliki