Etnis.id - Saat melintasi jalanan di Bali dan melewati bangunan tertentu, tak jarang kita akan melihat sosok dua patung di samping kanan dan kiri pada pintu gerbang bangunan tradisional. Kedua patung itu dinamai Dwarapala.

Pada arsitektur bangunan klasik di Indonesia, Dwarapala biasanya berwujud patung berbadan besar dan berotot, dengan lengan yang memegang senjata berupa gada dan rambut ikal tebal menghiasi kepalanya.

Tidak hanya itu, biasanya Dwarapala juga menunjukkan ekspresi yang unik dengan mata yang melotot dilengkapi taring besar yang panjang menghiasi senyum tipis yang juga menyiratkan sebuah keramahan dan ketegasan dalam waktu yang bersamaan.

Mimik wajah yang terkesan menyeramkan itu sebetulnya menjadi peringatan bagi orang-orang agar tidak sembarangan masuk ke bangunan yang dijaga. Terkadang Dwarapala juga dibungkus atau dihiasi denga kain poleng yang berwarna hitam putih.

Pasangan dwarapala di Pura Cungkub Dalem Kerobokan, Desa Adat Kerobokan/Etnis/Maya Arina
Pasangan dwarapala di Pura Cungkub Dalem Kerobokan, Desa Adat Kerobokan/Etnis/Maya Arina

Sosok Dwarapala ini sebetulnya tidak hanya dikenal di Bali saja. Di Pulau Jawa seperti daerah Yogyakarta dan Jawa Timur juga mudah ditemukan Dwarapala pada bangunan tertentu dan tak jarang memiliki ukuran yang sangat besar. Kemunculan Dwarapala ini juga bisa ditemukan pada peninggalan kerajaan yang menganut ajaran Siwa-Buddha.

Dalam budaya tradisional Bali, sosok Dwarapala merupakan sepasang patung yang memiliki arti filosofis serta peran dan fungsi. Keduanya dapat ditemui dalam beragam bentuk di pelbagai bangunan tradisional Hindu-Bali seperti pada pura, pelinggih, puri (kediaman bangsawan atau orang yang memiliki kasta) dan bangunan suci lainnya.

Dwarapala juga sering dikaitkan dengan mitologi dalam agama Hindu serta cerita pewayangan klasik. Bukan sekadar pajangan, Dwarapala memiliki makna terlebih bila diletakkan di pintu masuk pura. Ia diyakini sebagai cerminan manusia yang akan memasuki tempat suci. Ekspresi wajahnya mengingatkan umat untuk mengintrospeksi diri untuk membersihkan pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain, sebelum memasuki tempat suci, kita diharapkan menanggalkan sifat-sifat duniawi kita.

Pasangan dwarapala di Pura Cungkub Dalem Kerobokan, Desa Adat Kerobokan/Etnis/Maya Arina
Pasangan Dwarapala laki-laki dan perempuan pada salah satu tempat sembahyang di daerah Kesiman, Denpasar Timur/Etnis/Maya Arina

Pada kori agung atau gerbang pura, sepasang penjaga ini diwujudkan dengan patung atau arca dalam berbagai wujud dengan nama dan latar belakang yang dimiliki daerah tersebut. Dalam penataan lokasi pada sebuah pura, lazimnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian terluar atau biasa disebut dengan istilah nista mandala/jaba sisi, bagian tengah atau madya mandala/jaba tengah dan bagian utama yang paling dalam atau biasa disebut dengan utama mandala/jeroan. Semakin dalam areanya, semakin sakral dan suci.

Saat akan memasuki ketiga area ini, masing-masing memiliki gerbang yang akan dijaga oleh Dwarapala. Hal ini juga berdampak pada Dwarapala yang digunakan untuk menjaga gerbang, sehingga semakin sakral tempatnya, semakin tinggi juga status Dwarapala penjaganya.

Sepasang Dwarapala di Bali memiliki ciri khas masing-masing yang dapat tersusun dari sepasang tokoh yang memiliki perbedaan karakter, kedudukan hingga posisi. Penggabungan dua karakter berbeda menjadi satu ini merupakan konsep Rwa Bhineka dalam tradisi dan tatanan budaya Bali.

Contoh varian pasangan Dwarapala yang sering ditemui yaitu pasangan kakak dan adik Subali-Sugriwa, pasangan suami dan istri Pan Brayut-Men Brayut, pasangan ayah dan anak Merdah-Tualen, hingga pasangan raksasa kembar.

Pasangan-pasangan Dwarapala juga mengikuti tatanan aturan atau tradisi lingkungan setempat. Contohnya, pada wilayah Uluwatu dan Sangeh yang menjadi habitat asli satwa monyet, Dwarapala yang ada pada wilayah tersebut akan berkaitan dengan satwa monyet.

Untuk tata cara penempatannya, Dwarapala yang maskulin, sosok yang memiliki karakter ‘lebih tinggi’ (menyimbolkan alam atas) atau sosok yang lebih tua, biasanya ditempatkan pada sisi kiri pintu gerbang. Sedangkan untuk sosok yang feminin, memiliki karakter yang ‘lebih rendah’ (menyimbolkan jalan/tingkat menurun) diletakan pada sisi sebelah kanan dari arah luar sebuah pintu gerbang.

Sosok kedua figur ini sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, sehingga pada rumah-rumah di Bali, terutama kompleks puri dan istana, juga dipasangi Dwarapala di sisi kanan dan kiri pintu gerbangnya. Hal ini juga akan mengingatkan masyarakat apabila akan berkunjung dan bertamu ke rumah orang lain, harus memperhatikan sikap dan membersihkan pikirannya.

Dwarapala yang diletakkan pada pintu masuk Pura Dalem Kerobokan di Desa Adat Kerobokan/Etnis/Maya Arina
Dwarapala yang diletakkan pada pintu masuk Pura Dalem Kerobokan di Desa Adat Kerobokan/Etnis/Maya Arina

Makna Filosofis Peran Dwarapala Sang Penjaga

Sosok-sosok Dwarapala memiliki peran dan fungsi dengan makna yang sangat mendalam. Pertama, Dwarapala berperan sebagai penjaga yang bertugas menjaga pintu masuk sebuah area yang sakral dan suci. Selain itu, menjaga area puri bangsawan, istana raja hingga puri untuk pendeta.

Lebih mendalam, sosok-sosok Dwarapala dimaknai sebagai penjaga jalan masuk agar tidak sembarangan dilalui manusia dan energi-energi negarif yang dapat merusak ketenangan atau melunturkan kesucian area tengah dan area dalam sebuah pura.

Kehadiran Dwarapala juga dimaknai sebagai pemberi peringatan dan edukasi kepada umat, agar selalu berperilaku sopan santun serta beretika saat akan memasuki areal yang sakral dan suci.

Detail salah satu sosok dwarapala Pura Dalem Kerobokan di Desa Adat Kerobokan bagian depan/Etnis/Maya Arina
Detail salah satu sosok dwarapala Pura Dalem Kerobokan di Desa Adat Kerobokan bagian depan/Etnis/Maya Arina

Kedua, Dwarapala berperan sebagai penyeleksi yang artinya Dwarapala akan menyeleksi setiap sosok yang akan memasuki area suci. Orang Bali percaya apabila ada orang yang beriktikad buruk saat akan melewati gerbang tempat suci, maka ia akan mendapatkan kesulitan. Hal ini diyakini umat, bahwa kedua sosok Dwarapala telah menjalankan tugasnya untuk memilih sosok-sosok yang beriktikad baik yang boleh melalui gerbang pura menuju area inti yang paling sakral.

Ketiga, Dwarapala diyakini memiliki peran sebagai pengantar, penerima dan penuntun karena dalam figur-figur tersebut diyakini menjadi sebuah simbol penuntun dan pengantar umat menuju jalan yang lebih tinggi atau biasanya disebut dengan istilah jalan menaik.

Pada tokoh-tokoh tertentu, Dwarapala juga berperan sebagai penghalang, pengusir dan penolak untuk orang-orang atau penyusup yang dinilai tidak layak memasuki suatu area atau wilayah suci yang dijaga Dwarapala.

Pada hari tertentu, umat Hindu di Bali juga memberikan sesajen sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Dwarapala yang telah menjadi penjaga selama ini. Bahkan, bagi rumah atau bangunan yang tidak memiliki figur patung Dwarapala di depan pintu, mereka juga turut menghaturkan sesajen pada sisi kanan dan kiri pintu rumah yang berbentuk kolong, karena mereka pun percaya bahwa terdapat sosok-sosok yang turut menjaga wilayah mereka.

Editor: Almaliki