Etnis.id - Pernahkah kalian ditegur nenek hanya gara-gara menggunting kuku pada malam hari? Atau ibu yang langsung mengomel ketika kita memilih duduk bersantai tepat di tengah-tengah pintu yang terbuka? Tante yang buru buru menguncupkan payung yang kita mekarkan saat berada di dalam rumah?

Pasti mayoritas dari kalian pernah mengalami hal yang sama seperti contoh yang disebutkan. Sempat kesal tentunya. Apalagi ketika para orang tua tidak memberikan penjelasan yang masuk akal. Mereka kebanyakan hanya bilang, itu pemali dan kita diminta untuk menurut saja.

Jika terus mencecar pertanyaan, justru kita yang semakin dimarahi karena dianggap telah melanggar aturan. Begitulah hidup di Indonesia. Di dunia yang telah bergerak maju dan dibuai dengan kemajuan teknologi, tetap bersemai subur sebuah kepercayaan yang masih melingkupi.

Sebagian wilayah di Indonesia masih memegang teguh ajaran turun-temurun yang hingga kini masih terus dipakai, yakni pemali. Penyebutan untuk istilah tersebut tentu berbeda-beda di tiap wilayah. Di Jawa Tengah, lebih dikenal sebagai gugon tuhon.

Namun, maknanya sama yakni sebuah larangan yang harus kita patuhi karena berasal dari ajaran leluhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Umumnya, perintah tersebut diperoleh dari tradisi lisan, yang dituturkan tetua ke
penerusnya yang lebih muda.

Lalu, jika kita berani untuk melawan petuah tersebut, konon kita akan tertimpa sebuah malapetaka, dengan tingkat keparahan yang juga telah disampaikan ke anak dan cucu.

Secara sederhana, pemali diartikan sebagai patokan hal tabu yang tidak boleh kita lakukan. Jangan coba-coba untuk melanggarnya karena katanya akan ada hukuman yang membuat efek jera hingga berujung fatal.

Karena tidak disertai penjelasan yang mendukung dan data penguat, seringkali pelarangan tersebut terabaikan oleh generasi muda. Apalagi jiwa muda umumnya lebih suka membangkang dan menentang suatu hal yang tidak sejalan. Semakin dikekang justru semakin penasaran untuk dicoba.

Contohnya, saat ibu menyuruh kita menghentikan aktivitas potong kuku di malam hari. Kita akan buru-buru menimpali dan melontarkan kalimat penolakan. Kita akan langsung berdalih bahwa potong kuku saat malam hari itu aman. Asalkan pencahayaannya cukup dan kita berhati-hati saat menjepitkan gunting kukunya. Jadi, tidak usah terlampau dihantui ketakutan.

Sebenarnya, apabila kita telaah lebih lanjut, pemali berkembang sebagai petuah hidup yang menggambarkan kondisi masyarakat pada masa itu. Misalnya, mungkin saja pantangan gunting kuku malam hari tercetus karena dulu listrik belum semasif sekarang. Belum semua wilayah dijangkau listrik dan listrik hanya bisa dimanfaatkan dalam waktu tertentu.

Akses yang terbatas inilah yang menjadikan malam jadi gelap gulita, sehingga sebaiknya tidak melakukan aktivitas yang ditakutkan bisa mencederai diri. Sayangnya, penjelasan seperti itu tidak diterangkan kepada penerima pesan. Sehingga, secara berantai akan menimbulkan tanda tanya besar dan membuat kita ingin menyingkap teka-teki soal pemali.

Jadi, pemali itu merupakan sebuah panduan hidup yang gagal disebarkan secara utuh pesannya. Selama ini, pemali disebar secara sepotong-sepotong. Ia melahirkan kecemasan semata. Masyarakat akhirnya lebih memilih menghindari pemali dibandingkan harus menanggung bebas pelanggaran.

Olehnya, sangat dibutuhkan seorang yang mau berkutat untuk menelisik lebih lanjut soal pemali. Pasalnya, dari pemali kita juga mengetahui bahwa orang terdahulu sudah begitu antisipatif. Misalnya, mereka bakal memarahi kita jika nasi yang kita letakkan di piring saji tidak dilahap habis dan meninggalkan banyak sisa.

Orang tua lalu akan menegur kita dan menceramahi bahwa nasi tersebut adalah kerja keras dari berbagai pihak untuk menghadirkan makanan di hadapan kita. Dikhawatirkan, sikap kita akan membuat petani menangis. Kemudian kita akan ditampar dengan omongan tentang tidak semua orang seberuntung yang kita alami. Masih banyak orang yang harus menahan lapar, lantaran tidak memiliki uang untuk membeli makanan atau beras yang diolah jadi nasi.

Apabila dipikirkan lebih mendalam, itu adalah bukti bagaimana para tetua telah memprediksi kondisi buruk yang akan menimpa kita jika suka menyia-nyiakan makanan. Ini berkaitan dengan ketahanan pangan negara. Akan banyak limbah makanan yang menumpuk.

Padahal limbah tersebut juga berperan terhadap kerusakan lingkungan. Misalnya zat metana yang dihasilkan dari proses pengolahan daging sapi. Zat ini menyumbang pemanasan global.

Keterbatasan ilmu pengetahuan yang menjadikan leluhur dan orang tua kita hanya sekadar melarang tanpa memberi alasan yang mendasar. Untuk itulah, diperlukan kajian dan riset untuk menggali dan menyingkap ajaran yang terselip dalam pemali. Kajian tersebut sekaligus jalan untuk melanggengkan pemali yakni sebagai sebuah kekayaan budaya yang unik yang dimiliki bangsa Indonesia.

Editor: Almaliki