Etnis.id - Di Bali, banyak perempuan yang tangguh. Stereotip seperti perempuan lemah dari segi kekuatan, bisa hilang jika sudah melihat gebogan. Perempuan-perempuan di Bali mampu mengusung beberapa rangkaian buah dan jajanan
tradisional di atas kepala setinggi 50 senti hingga semeter.

Sesajen yang dijunjung tersebut, oleh masyarakat Bali disebut sebagai gebogan. Buah yang digunakan dalam gebogan, biasanya seperti apel, pir dan pisang. Semuanya dirangkai dengan baik dan dan dihiasi janur.

Tempat meletakkan gebogan disebut dulang yakni wadah yang terbuat dari kayu dan berbentuk bundar. Ukuran dulang semakin ke atas semakin mengecil dan bagian paling bawah berukuran sebesar kepala. Bentuk itu bertujuan untuk mempermudah para perempuan menjunjung gebogan.

Membawa gebogan dengan kepala menjadi salah satu rangkaian acara dalam tradisi umat hindu Bali yang bernama mapeed. Tradisi ini dimaknai sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa).

Agama Hindu menjadi “jiwa” bagi kebudayaan Bali. Sebab hampir seluruh masyarakat Bali beragama Hindu. Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang bercorak agraris dan gotong royong. Makanya, saat membawa gebogan, masyarakat memanfaatkan daun serta bunga sebagai hiasan gebogan dan buah sebagai isi gebogan. Tradisi gotong royong juga tecermin dari cara membawa gebogan yang dilakukan dengan berbaris beriringan ketika perjalanan membawa gebogan menuju pura.

Mapeed dilaksanakan tepat sepuluh hari setelah hari raya kuningan. Ni Luh Made Rusita, dkk (2018) dalam penelitiannya tentang mapeed di Bali, menjelaskan bahwa membawa gebogan dilaksanakan dengan cara berjalan kaki. Selain memakai kebaya, para perempuan juga ditata rambutnya dengan hiasan sanggul.

Kebaya khas Bali yang digunakan juga memiliki warna yang sama dan dikombinasikan dengan sarung khas perempuan Bali yang diikat dengan selendang di bagian pinggang. Para perempuan pembawa gebogan biasanya didominasi ibu rumah tangga. Omong-omong, pelaku tradisi mapeed bisa ditemani oleh anak dan suami mereka yang juga menggunakan pakaian adat Bali.

Soal isi dari gebogan, tidaklah harus jajanan tradisional. Dilansir dari laman inputbali (info seputar Bali), isi gebogan disebut bisa berupa jajanan masa kini. Namun, sebagian umat Hindu Bali melarang penggunaan minuman kaleng sebagai bagian dari isi gebogan, karena minuman kaleng tidak tergolong minuman satwika.

Satwika itu adalah makanan atau minuman yang dapat memberikan dampak positif terhadap jiwa dan raga manusia. Minuman kaleng bukan tergolong minuman satwika, karena mengandung zat pemanis serta pengawet buatan dan zat-zat tersebut berdampak negatif terhadap jiwa dan raga manusia.

Pada era yang serba milenial dan praktis ini, memang mendapatkan jajanan tradisional bukanlah hal yang mudah. Beberapa daerah di Indonesia bahkan sudah kehilangan generasi-genarasi penerus yang bisa membuat jajanan tradisional. Bagi saya, seseorang memang perlu mengikuti perkembangan zaman, tetapi modernitas tidak selalu harus memberantas lokalitas.

Ihwal gebogan yang disusun dari bawah ke atas dan semakin ke atas susunan buah dan jajanan semakin lancip, bisa dimaknai tentang persembahan hamba kepada Tuhan-nya. Dari bawah melambangkan manusia dengan jumlah yang sangat banyak yang mempersembahkan gebogan kepada yang di atas. Bentuk lancip menunjukkan keesaan, karena pucuk hanya menampakkan satu titik. Satu-satunya yang Maha Esa adalah Tuhan Pemilik alam semesta.

Cara membawa gebogan yang dijunjung di atas kepala juga mengandung makna penting bagi masyarakat asli Bali. Itulah simbol wujud rasa terima kasih masyarakat Bali atas segala hal yang telah diberi oleh Sang Hyang Widhi.

Jika gebogan dibawa dengan tangan seperti pada umumnya, maka dianggap kurang menunjukkan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Makanya gebogan dibawa dengan cara berjalan kaki hingga ke pura.

Selain menjadi bagian dari tradisi, gebogan juga mengandung nilai estetik dan artistik. Estetikanya terletak pada kegiatan merangkai buah dan bunga dalam membuat gebogan agar terlihat indah. Susunan rapi berbentuk lancip seperti kerucut menjadi nilai estetis yang mampu mencuri perhatian para wisatawan domestik dan manca negara.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya turis dan wisatawan dalam negeri yang tertarik untuk melihat prosesi tradisi masyarakat Bali ini, dari awal hingga akhir. Meskipun pada acara inti di dalam pura, para pengunjung tidak boleh masuk dan mengambil gambar, agar proses ibadah berlangsung dengan khusyuk.

Gebogan atau pajegan tidak dapat dinilai dari tingginya atau jumlah buah
dan jajanan di dalam dulang, tetapi dari niat tulus ikhlas dari hati masing-masing pembawa gebogan. Jumlah buah dan jajanan yang dibawa untuk tradisi mapeed bergantung sesuai dengan kemampuan masing-masing orang. Tidak ada unsur paksaan sama sekali dalam membuat dan membawa gebogan. Bagi umat Hindu di Bali, tidak dibenarkan berlomba-lomba membuat gebogan yang paling tinggi atau yang paling banyak buah dan jajanannya.

Jika Anda mampu memaknai tradisi ini, semoga kita semua dihilangkan atau dikurangi perasaan yang sering merasa paling hebat di antara yang lain. Mari kita sama-sama belajar tentang keikhlasan dari gebogan masyarakat Bali.

Editor: Almaliki