Etnis.id - Akikah pada dasarnya sebuah syariat Islam yang dilakukan dengan mengurbankan hewan sebagai tanda syukur atas kelahiran bayi. Namun, tradisi akikah di kampung saya, di Desa Benteng Paremba, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, agak berbeda.

Akikahnya disebut maccera, yang dalam bahasa Indonesia berarti "berdarah". Disebut demikian, kemungkinan karena darah adalah simbol dari pengorbanan. Dalam tradisi maccera, di kampung saya tidak hanya dengan penyembelian hewan dan mencukur rambut si bayi. Ada tradisi adat yang harus dijalani.

Tradisi akikah ini diselenggarakan cukup meriah, bahkan sebelum acara atau karuenna (satu hari sebelum pesta), biasanya saya diminta oleh Ibu untuk menyiapkan pesta dengan membuat kue bagi tamu yang akan datang pada hari dilaksanakannya pesta (matanna). Biasanya, acara dihadiri beberapa keluarga, warga dan relasi dalam lingkup pekerjaan.

Dalam tradisi itu, yang sering jadi pusat perhatian saya adalah para tamu yang datang. Mereka biasanya menyumbang uang, bahan makanan atau kado untuk sang bayi.

Jatuhnya hari pelaksanaan maccera disertai oleh berbagai macam pendapat. Menurut to' matu (orang tua) di kampung halaman saya, pelaksanaan maccera bisa dilakukan setelah ari-ari si bayi sudah jatuh atau terlepas dari pusarnya.

Penentuan hari pelaksanaan maccera pada masyarakat Benteng Paremba, memiliki beberapa perbedaan dari akikah pada umumnya. Akikah bukan hanya dilakukan pada hari ke tujuh, tetapi juga pada hari ke 16, 25 atau kapan saja, sesuai kemampuan orang tua yang ingin melaksanakan akikah.

Selain menyembelih seekor kambing, masyarakat Benteng Paremba mengadakan barazanji, mencukur rambut si bayi dan massorong. Adapun beberapa jenis tradisi maccera yang dilakukan di desa saya sebagai berikut:

Rabang

Rabang adalah pagar yang terbuat dari bambu berbentuk segi empat panjang memutari tanah, tempat mengubur kurittana (panci terbuat dari tanah) berisi ari-ari bayi yang baru lahir, kora'ang (Alquran), golla cella (gula merah), camming (cermin) dan kunyi (kunyit).

Penguburan tersebut harus dilakukan oleh bapak si bayi atau kakek. Rabang ditempatkan di halaman rumah pembuat hajatan. Bahkan setiap sore atau menjelang malam, rabang ini selalu diterangi dengan sombu pallang (lilin kemiri). Namun sekarang, sebagian menggunakan lampu untuk menerangi rabang tersebut.

Pateke dowa

Sebelum melakukan pateke dowa (bayi pertama kali dinaikkan ke ayunan), maka terlebih dahulu dilakukan mabbaca, yakni bayi didoakan untuk keselamatan. Mabacca dilakukan oleh sandro (dukun).

Adapun makanan yang disiapkan pada saat mabbaca seperti sawang (beras ketan dibugkus dari daun kelapa yang muda), sokko lotong (beras ketan hitam), sokko ridi (beras ketan putih diwarnai kuning), sokko pute (beras ketan putih), tallo manung kampong (telur ayam kampung), ra'tung (padi yang disangrai) yang diisi uang koin dan kaluku tuo (kelapa tua yang hidup).

Setelah selesai mabbaca, maka kaluku tuo dibawa oleh keluarga bayi untuk disimpan ke dalam rabang. Menurut masyarakat Benteng Paremba, kelapa tersebut digunakan sebagai bekal bayi pada kemudian hari.

Pateke doa adalah kegiatan yang dilakukan dengan memasukkan bayi ke dalam ayunan yang telah disiapkan. Kegiatan ini dilakukan oleh sandro. Filosofinya adalah agar kelak bayi tersebut kehidupannya selalu meningkat.

Setelah melakukan pateke dowa, dilanjutkan dengan pemotongan rambut yang bersamaan dengan barazanji. Pada saat melantunkan ”asyroqol badru alaina”, maka ibu bayi membawa bayi ke depan imam untuk dipotong rambutnya.

Barazanji

Barazanji pada acara akikah merupakan sesuatu yang penting. Ia memiliki peran moral, agar kelak bayi tersebut menjadi anak yang saleh dengan menjalankan syariat Islam.

Dalam tradisi ini, bayi lelaki dipotongkan kambing sebanyak dua ekor dan perempuan dipotongkan satu ekor kambing. Pelaksanaan barazanji pada acara akikah dilakukan oleh tujuh orang atau lebih lelaki berpakaian baju muslim dan dipadukan dengan sarung atau celana, serta memakai kopiah.

Barazanji dimulai dengan imam membacakan barazanji sampai pada “asyroqol badru alaina”, maka seluruh pembaca barazanji berdiri dan bayi dibawa beserta kelapa muda yang berisi gunting yang direndam di air kelapa, agar rambut si bayi dingin.

Untuk pemotongan rambut sang bayi di depan imam. Barazanji kembali dilantunkan sampai pada “rabbi farhamna”, lalu pembaca duduk kembali dan tidak lagi dilantunkan bersamaan, tapi per individu setelah pembaca barazanji terakhir melantunkan ”wa balagal shainul imlai”.

Sampai di situ, maka imam kembali mengambil alih dengan membacakan doa sampai pada “wasalamun alal mursalim walhamduliilahi rabbil alamin”. Setelah selesai ritual barazanji, maka hidangan yang ada berupa kue tradisional dan minuman, sudah dapat dinikmati.

Fungsi dari barazanji adalah menceritakan riwayat Nabi Muhammad SAW agar kita mau melakukan tindakan sesuai hakikat Islam, dengan meneladani sifat Nabi Muhammad SAW. Dan saat pembacaan barazanji dilantunkan, dapat menciptakan kegairahan dan motivasi, sehingga kita semakin cinta terhadap Nabi Muhammad SAW.

Massorong

Massorong di salu (mendorong di sungai) tidak harus dilakukan setiap ada bayi yang dilahirkan, akan tetapi kepercayaan tersebut dilaksankan apabila melahirkan anak pertama saja.

Semasa kecilku, saya sering mengikuti jika ada tetangga atau kerabat yang massorong, karena masyarakat setempat sangat antusias mengikutinya, jadi saya tidak mau ketinggalan melihat keseruan masyarakat saling berebut makanan yang dibawa ke sungai. Akan tetapi, dalam aturan adat, kerabat dekat tidak diizinkan untuk mengambil makanan yang ada di bala soji.

Tradisi Massorong ini dilakukan beberapa orang dengan membawa bala soji ke sungai untuk dialirkan. Bala berarti pagar, sedangkan soji berarti sesajian. Jadi bala soji adalah pagar sesajian yang terbuat dari bambu yang di dalamnya terdapat berbagai macam makanan seperti kelapa, pisang, ayam, songkolo piturrupa (beras ketan tujuh warna), kalosi, daun sirih, telur, sawang dan ketupat.

Bala soji disiapkan sebanyak dua buah, satu berada di dalam rumah dan satu di beranda rumah. Perbedaan kedua bala soji yaitu terdapat pada telur yang disajikan, yakni telur masak yang berada di bala soji dalam rumah, siap untuk dimakan, sedangkan telur mentah di beranda diartikan untuk pemilik tanah yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai nenek moyang terdahulu.

Bala soji di beranda lalu dibawa ke sungai menjadi tahap terakhir dalam pelaksanaan akikah. Di sana, bala soji dialirkan sebagai seserahan untuk nenek moyang sang anak. Pemahaman seperti ini tercium seperti animisme. Percaya kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia terdahulu, atau biasa disebut to riolo (orang dulu/nenek moyang).

Setelah dilakukan massorong, ibu anak dimandikan sebagai bukti penyucian setelah melahirkan, agar terhindar dari segala bahaya yang akan menghampiri. Setelah itu, giliran masyarakat mengantre untuk dibasuh mukanya yang dilakukan oleh sandro.

Editor: Almaliki