Etnis.id - Saya bertemu orang Dobo dalam satu acara besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang digelar di Taman Ismail Marzuki, pada 10 Agustus 2019 silam.

Kami bercerita banyak hal. Asap rokok yang diisapnya mengepul. Baunya cukup menyengat. Khas sekali. Saya menghirup aroma cengkeh dalam asap itu. Mulut seorang lelaki tua itu bau rokok dan senang tersenyum padaku. Giginya menguning.

Ia menjelaskan dengan ramah ihwal adat dan tradisi di wilayah Dobo dengan semangat. Saya memang datang dengan pertanyaan yang agak spesifik. Tentang perempuan di daerahnya dan bagaimana tradisi perlahan dilupakan.

Namanya Anis Yus Ani, Dewan Aman Wilayah Dobo, Kepulauan Aru, Maluku. Ia mengingatkan saya tentang mendiang bapak saya, yang senang merokok, minum kopi dan bercerita soal banyak hal dalam hidupnya.

Anis Yus Ani saat ditemui Etnis di TIM, 10 Agustus silam/ETNIS/Dumaz Artadi/

Isi pembicaraan kita tak jauh tentang bagaimana orang Dobo menjaga anak perempuannya. Ada yang luput dari kita soal itu. Cobalah bertanya, benarkah caranya menjaga? Kolotkah? Jika ingin bebas, siapa yang dirugikan? Kitakah (perempuan) atau orangtua kita?

Terlalu banyak pertanyaan atas kemungkinan rasa bersalah kita jika harus menyadari hal di atas. Simpanlah pertanyaan itu dan jawab sendiri pakai sanubari jika ingin. Toh, saya tak memaksa kehendak, sebab tulisan ini sungguh berisi hasrat saya tentang masa lalu yang bisa mencakup hidup pada masa mendatang.

Dalam satu kesempatan saya pernah bercerita dengan seorang kawan di kampung, di Kajang, Bulukumba. Maklumlah, teman-teman saya banyak yang menikah muda. Persoalannya tak jauh dari itu.

Di Kajang atau daerah sekitar, biasanya yang orang didapati pacaran atau paling tidak berduaan di tempat-tempat sepi, maka langsung diarak lalu dinikahkan. "Pastinya, harus dilapor ke orangtuanya dulu," kata kawan saya itu.

Banyak polisi moral di pedesaan. Saya tahu, bagi orang berpikiran maju, ini tidak relevan lagi dalam zaman yang serba cepat. Orang-orang berkata, "Itu urusan mereka. Hak mereka. Namanya juga anak muda."

Sama halnya dengan perempuan yang pulang larut malam kemudian diantar oleh seorang lelaki, maka orangtuanya yang menceramahi anaknya secara otomatis dianggap kolot dan dianggap angin lalu saja.

Benarkah zaman sekarang harus lebih maju lagi dan menafikkan proteksi seperti itu? Bagaimana kalau kita semua nanti menjadi orangtua dan punya satu atau banyak anak perempuan? Tentu saja jawaban atas pertanyaan itu beragam.

"Sudah banyak yang melupakan tradisi cara menjaga anak perempuan," kata Anis dengan suara yang tertekan dan pandangannya menyorot mukaku. Di sampingnya, duduk istrinya dan tampaknya ia mendengar dengan khusyuk.

Saya bertanya kenapa. Ia menceritakan pelan-pelan soal tradisi wiwir melur wa glohor. Arti dari kalimat itu adalah salah bahasa lelaki pada perempuan.

Istri dari Anis/ETNIS/Dumaz Artadi

"Di Dobo itu, tak boleh lelaki berbicara kasar. Dulu. Tradisi mengajarkan kami untuk berhati-hati dengan lawan jenis. Kita bisa kena denda kalau melanggar. Ini membuat kita jadi lebih hati-hati."

Lebih dalam, denda akan dijatuhkan jika seorang perempuan melapor ke orangtuanya atau kepala adat setempat. Saat dijelasi begitu, saya pribadi merasa ini hal yang baik dalam peradaban. Bukanlah kemunduran.

"Sekarang kan sudah tidak. Adat itu pelan-pelan dilupakan. Zaman sudah jauh berubah."

Lalu apakah dendanya? Lelaki yang berbicara kasar pada perempuan diwajibkan memberi sarung Dobo pada keluarga atau perempuan yang dikasarinya.

Menurut Anis, ada beberapa jenis denda tergantung tingkatan bagaimana perlakuan kita kepada perempuan. Jika memegang seorang perempuan dan perempuan itu tak suka, maka siap-siap saja membayar upah yang besar.

"Harus ada kuda dengan uang. Jika tidak membayar denda, maka lelaki itu harus siap dituntut dengan hukum adat dan diproses ke polisi. Begitu cara kami menghargai seorang perempuan di Dobo."

Selain itu, jika perempuan ditemukan sekamar dengan lelaki yang bukan suami, maka akan disuruh memberi empat ekor kuda plus uang tunai sebanyak Rp5 juta rupiah kepada keluarga perempuan.

"Bahkan jika berlebihan yang sudah dilakukan, maka bisa diganjar satu undang-undang adat yang tak tertulis, kuda enam ekor, sebidang tanah, pisau, cangkul, serta lelaki itu harus memanggil bapaknya untuk mengakui perbuatannya."

Lebih dari itu, Anis tak cuma membahas soal perempuan saja. Ia juga membahas soal lelaki yang dicintai seorang perempuan di Dobo. Mahar akan diberi kepada lelaki.

Mirisnya, sekarang malah lelaki turut dipandang rendah. Tak ada lagi penghargaan untuk lelaki dalam rumah tangga. "Kita mengistilahkan hal itu dengan umin lin wutuk welin. Artinya hanya kumis yang berharga dengan ikat rambut yang begitu mahal."

Saya menyadari banyak hal yang berubah. Di zaman media sosial sekarang, dilecehkan secara verbal saja bisa mendapat masalah. Lelaki tersebut bisa diviralkan di jagat maya. Laporan ke polisi saja bisa mentah. Buktinya, dalam kasus Baiq Nuril.

Baiq Nuril dihukum dengan enam bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.

Logika saya dipatah setelah melihat Baiq Nuril dibungkam lewat hukum, yang secara kasat mata dan gamblang, perbuatan Nuril sungguh sangat baik yakni melaporkan kepala sekolah yang mesum. Biar semua orang tahu.

Meski begitu, setelah berjuang, ia akhirnya bebas. Barangkali, Presiden Jokowi dan pembisiknya menganggap, kasus dijebloskannya Nuril ke penjara adalah perkara yang ngeyel, sudah diketahui siapa yang salah.

Dalam kasus ini, tentu saja diperuntukkan bagi korban yang berani menentang ketidaksukaannya dengan lelaki pelucah. Lantas bagaimana korban yang takut melapor? Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Patriarki akan tetap berdiri kokoh jika kita masih malu-malu menyeret siapa saja yang melecehkan.

Saya rasa, kita harus berkaca pada orang desa atau orang Dobo untuk menyelesaikan persoalan. Kembali ke masa lampau bisa jadi alternatif. Biar kita bisa mengerti dan paham bahwa yang kita lakukan itu salah.

Jika tidak bisa kembali, mungkin darinya, kita bisa mencari formula tentang hukum apa yang pantas diberi kepada orang-orang yang gemar melecehkan perempuan. Sebab sehari-hari, di kota, kasus demi kasus terjadi. Padahal hukum modern sudah diatur sedemikian rupa. Lantas, adab dulu baru ilmu atau sebaliknya?