Etnis.id- Kehidupan masyarakat Bugis yang bertumpu pada pekerjaan bertani menjadikan ritual mappalili terus lestari. Mappalili menjadi salah satu ritual penting yang dijalankan oleh masyarakat Bugis yang berwilayah di Sulawesi Selatan.

Mappalili berasal dari kata palili yang berarti berkeliling, sedangkan arti
Mappalili sesungguhnya adalah pesta tanda dimulainya bertanam padi di sawah.
Menurut etimology, Mappalili (Bugis)/ Appalili (Makassar) berasal dari kata
palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan
mengganggu atau menghancurkannya.

Mappalili atau Appalili adalah ritual turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Bugis. Kata Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Upacara ini dipimpin oleh bissu yang juga berperan sebagai pemangku adat.

Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang masih terus menjalankan tradisi ini adalah Kabupaten Pangkep, utamanya di daerah Segeri. Segeri dikenal sebagai daerah yang masih memegang teguh adat istiadatnya dan masih memiliki bissu. Oleh sebab itu, tradisi mapalili yang merupakan tradisi turun-temurun masih terus dijalankan.

Meski demikian, upacara ritual mappalili tidak banyak dilakukan oleh masyarakat Bugis saat ini. Mapalili hanya popular di kalangan kelompok masyarakat yang melihat komunitas Bissu sebagai yang terpenting karena bissu dipercaya sebagai penjaga pitarah Bugis.

Mappalili  dilaksanakan oleh masyarakat Bugis dengan berkeliling kampung serta membawa arajang (Benda pusaka Bugis) sampai turun ke sawah yang akan dibajak dengan harapan masyarakat Bugis dapat terhindar dari segala mala petaka yang kemungkinan menimpa kampung mereka.

Masyarakat di Desa Bontomate’ne, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep misalnya
sangat percaya bahwa untuk membangunkan arajang itu perlu di lakukan suatu upacara, yakni upacara Mappalili. Masyarakat Segeri percaya bahwa ritual tersebut sangat sakral untuk di laksanakan terkhusus pada masyarakat Bontomate’ne percaya bahwa tanpa adanya upacara Mappalili ini maka segala yang di harapkan akan sirna terutama pada sektor pertanian.

Mappalili diawali dengan ritual matteddu arajang (membangunkan benda pusaka), yang berupa alat bajak yang konon di  temukan melalui mimpi. Bajak tersebut turun dari langit dan ditemukan di gunung lateangoro. Alat bajak ini tersusun dari kayu dan tidak  memiliki sambungan. Ritual matteddu arajang diiringi dengan tabuhan gendang adat dan pembacaan mantra “Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale Luwu. Maningo ri Watang Mpare”.

Selanjutnya, akan laksanakan ritual pembersihan arajang lalu dibungkus kembali menggunakan kain putih dan diteruskan dengan ritual mattunu pelleng dan mallise walasuji. Gendang adat akan dimainkan semalaman sambil mengiringi prosesi mappamula tudang puang matoa marellau pammase dewata dalam ritual mattangga benni yang dipimpin oleh Puang Matoa Bissu (Pimpinan bissu). Setelah ritual ini, selanjutnya dilaksanakan prosesi maggiri oleh  para bissu. Mereka akan menusukkan keris ke anggota badan mereka  sambil menari dan melantunkan mantra dalam bahasa bugis kuno.

Pada hari pelaksanaan palili, arajang akan diarak keliling kampung dan menuju ketengah galung (sawah) khusus kerajaan (akarungeng) lalu disentuhkan ke tanah. Pada saat itu juga dilaksanakan ritual macera’ atau  menyembelih ayam sebagai sebuah persembahan. Hal inilah yang menjadi  aba-aba agar para petani mulai turun kesawah. Dalam perjalan pulang,  rombongan arak-arakan akan menyiramkan air kepala setiap orang yang  dilalui. Hal ini dinamakan prosesi makecce-kecce. Prosesi ini  merupakan pengharapan agar hujan turun dengan lebat untuk memenuhi  kebutuhan air para petani selama proses bertani.

Salah satu hal yang disorot dari upacara mappalili ini adalah kehadiran bissu sebagai pemimpin upacara. Bissu yang dianggap bersih atau suci, dipercayai mampu menghubungkan dunia nyata dan dunia para Dewata (Dewa). Selain itu, figur bissu sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat terdahulu dikarenakan bissu merupakan penyambung lidah bagi raja untuk didengarkan segala perkataannya oleh rakyat yang dipimpinnya.

Ketika pemerintahan dipegang oleh raja pada zaman kerajaan, yakni sekitar 14 Masehi, bissu dipercayakan menjadi pemimpin upacara adat tersebut, termasuk menentukan penetapan hari pelaksanaannya. Namun seiring perubahan sistem pemerintahan, penetapan hari upacara adat itu sudah mendapat campur tangan pihak pemerintah.

Setelah ada usulan penetapan mappalili dari bissu, pihaknya masih menunggu kesiapan pejabat pemerintah mulai lurah, camat hingga bupati untuk hadir. Pemerintah Kabupaten Pangkep sendiri memberikan penghargaan pada pelaksanaan upacara Mappalili di setiap tahun atau setiap awal musim budidaya. Pada prosesi pelaksanaan mappalili memiliki beberapa perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lain karena menurut perhitungan dan diskusi dari pemimpin ketua adat.