Etnis.id - Apa jadinya jika perempuan yang tengah hamil, bukannya diberikan bantuan agar membantu selama menjalani masa kehamilan, tapi justru diasingkan dari rumah. Ia harus bertahan hidup seorang diri di gubuk kecil dan bertahan hidup hingga sampai masa melahirkan.
Itulah tradisi masyarakat Naulu yang tinggal di pedalaman Seram Maluku, mereka punya tradisi unik mengasingkan para wanita hamil di gubuk-gubuk yang sudah dibuatkan secara khusus, jauh dari rumah.
Orang Naulu menyebut gubuk atau pamali tersebut sebagai Tikusune, tempat mengasingkan perempuan hamil. Tidak saja perempuan hamil yang diasingkan di gubuk itu, tapi perempuan yang sedang datang haid.
Mungkin sebagian orang akan beranggapan tradisi purba ini, menyiksa sang perempuan yang sedang hamil, sebab bukannya memberikan pertolongan atau membawa mereka ke rumah sakit atau dokter desa, tapi malah diasingkan.
Ya, seperti itulah tradisi, ia tidak mengenal istilah “disiksa” karena itu sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang, maka generasi selanjutnya mewarisnya dengan baik.
Tapi tenang saja, selama perempuan hamil atau perempuan yang sedang datang bulan berada di gubuk tersebut, tidak akan ada laki-laki yang berani datang menggangu, sebab perbuatan tersebut sangat diharamkan, bahkan mendapatkan sanksi keras.
Tradisi ini bagi masyarakat urban sebagai tindakan yang tidak perlu dilakukan, karena dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dapat melakukan tindakan efisien dengan memberikan segala macam obat-obatan bila sedang sakit atau melahirkan.
Nah, perempuan yang tengah hamil tersebut, akan diantarkan oleh keluarga ke Gubuk Tikusune, untuk menjalankan tradisi yang telah lama bercokol di lingkungan masyarakatnya.
Ia ditinggalkan sendiri tanpa ada orang yang temani, bila sudah datang waktu persalinan, sang perempuan hamil itu akan dibantu oleh seorang dukun beranak yang sudah mahir mengeluarkan jabang bayi dari perut sang ibu.
Dengan telaten sang dukun mengeluarkan bayi, kemudian tali pusar bayi akan dipotong secara tradisional menggunakan kulit bambu. Secara umum, penggunaan kulit bambu untuk memotong pusar bayi sangat dilarang dipraktekkan, sebab akan terinfeksi virus dan mengalami luka.
Tetapi praktek tersebut sangat jarang sekali, sang bayi terkena iritasi dari kulit bambu runcing.
Setelah semuanya sudah selesai dikerjakan oleh dukun, maka perempuan dan bayinya sebelum kembali ke rumah, akan dibersihkan (dimandikan) terlebih dahulu.
Keluarga yang menyambut di rumah, akan diwajibkan untuk menjalani puasa selama sehari penuh, barulah bayi diantarkan ke rumah. Juga pihak keluarga akan menyambut secara adat dengan menggelar acara jamuan atau makan bersama dengan para sukunya.
Tradisi ini sudah mengikat sejak lama dan wajib dilakukan, bila ada yang melanggar tradisi ini akan dikenakan denda yang cukup berat dengan piring tua dan kain berang (merah) bagi kaum perempuan.
Memang tradisi memotong tali pusar bayi, tidak hanya saja dilakukan oleh suku Naulu, namun juga terjadi dibeberapa daerah lainnya.
Saya masih ingat di kampung saya (Bima), sebelum Gedung Puskesmas ada di desa dan jumlah dokter masih sedikit. Masyarakat di Bima khususnya pernah menggunakan bambu runcing untuk memotong tali pusar bayi.
Salah satunya adalah saya sendiri, waktu saya dilahirkan orang tua saya tidak melahirkan di puskesmas atau dengan seorang dokter. Malahan mereka mempercayai sang dukun beranak untuk membantu persalinan. Tidak ada iritasi atau infeksi dari kulit bambu yang digunakan dukun beranak, buktinya adalah saya sendiri.
Kulit bambu runcing, bukan saja digunakan untuk memotong tali pusar bayi, tetapi juga digunakan saat sebagai alat pemotong pada saat sunatan di kampung.
Meski terlihat sadis dan sedikit purba, tapi seperti itulah tradisi masyarakat. Apa yang orang luar anggap sangat berbahaya dilakukan tapi bagi yang memegang teguh tradisinya merasa tidak khawatir.