Etnis.id - Di Aceh, sejak dahulu, moyangnya telah menurunkan banyak tradisi dan menjadi aturan khusus dalam agenda masyarakat yang menjunjung tinggi leluhur. Membuai anak sambil bersenandung dengan lagu pengantar tidur, jadi salah satu tradisi perempuan Aceh secara turun-temurun.

Secara umum, syair-syair yang dilantunkan mengandung pesan perjuangan, keimanan, pantang menyerah, dan berani mengambil risiko besar demi keutuhan harga diri dan negara.

Sebab, kala itu suasana sosial mengalami situasi sulit. Rakyat Aceh sedang berjuang melepaskan belenggu kolonialisme yang dibawa orang-orang Eropa ke negerinya.

Seperti penggalan syair Doda Idi Bela Nanggroe karya Cut Aja Rizka sebagai berikut:

Cepatlah besar anakku sayang dan jadi seorang pemuda
Supaya bisa berperang membela Bangsa

Wahai anakku, janganlah duduk & berdiam diri lagi
Mari bangkit bersama membela bangsa

Janganlah takut jika darah mengalir
Walaupun engkau mati Nak, Ibu sudah relakan

Ayo sini Nak Ibu tateh, kemarilah Nak, Ibu tateh

Bangunlah anakku sayang, mari kita ke Aceh
Sudah tercium bau daun timphan seperti bau badan sinyak Aceh

Allah Sang Pencipta yang Punya Kehendak
Jauhnya kampung tak tercapai untuk pulang

Andaikan punya sayap, Ibu akan terbang supaya cepat sampai ke Aceh

Menilik liriknya, lantunan ini berupa tuturan perasaan sang ibu kepada anaknya, dinyanyikan dengan syair tertentu dengan irama indah, sambil mengikuti tempo saat tangan ibu mengayun-ayunkan anak, saat hendak ditidurkan hingga terlelap mengikuti cerita yang disampaikan.

Sang ibu menyanyikan dengan suara lembut dengan irama khas agar anak bahagia dalam tidurnya. Isi liriknya, berupa kisah pedoman hidup atau tatanan etika yang berhubungan dengan penegakan harga diri dan ajaran agama Islam.

Dalam pesan itu juga, ibu menitipkan suatu harapan besar kepada anaknya. Kelak, jika besar nanti, turutlah berjuang membebaskan negeri dari orang-orang kafir, sekalipun risikonya besar.

Syair ini sudah ada sejak zaman Belanda, pada kala terjadi perang Aceh tahun 1873-1904. Pada perang itu, kesultanan aceh terus mengalami rongrongan Belanda, mereka ingin Bumi Nangroeh tetap berada dalam hegemoninya.

Tentu saja para Sultan tidak ingin menghamba pada putusan itu. Sehingga, terjadilah perlawanan berjengjang, dari generasi ke generasi yang tiada henti. Perang selama 31 tahun itu merenggut ribuan nyawa dari kedua pihak, menjadikannya sebagai salah satu perang terdahsyat di dunia.

Mulanya, perang ini terjadi ketika Wakil Presiden Hindia Belanda, Jenderal Frederik Nicolass Nieuwenhuijzen itu mengutus seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda menyerahkan surat perundingan kepada Kerajaan Aceh, Sultan Alaidin Mahmudsyah pada 22 Maret 1873.

Namun isi surat yang dirasa merugikan, menyulut nyali Sultan. Ia tidak mengindahkan, sehingga pada 26 Maret 1873, ultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam di mulai menjadi medan tempur antara penjajah dan pemilik wilayah.

Mulailah agresi pertama, Belanda mengutus Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler untuk memimpin, bertindak selaku panglima tertinggi pasukan ekspedisi ke Aceh. Perang pecah saat mereka tiba Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Banda Aceh pada 8 April 1873.

Dalam perang itu, masyarakat Aceh mati-matian mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman. Pasukan Aceh habis-habisan berupaya mengalahkan penjajah. Belanda kepayahan, mereka kalah, Kohler yang bertindak selaku pimpinan tewas. Mereka kemudian menyingkir mengatur strategi baru.

Menjelang pergantian tahun, agresi kedua dimulai lagi pada 20 November 1873. Kompeni kembali menyerang dengan kekuatan yang lebih besar. 8500 militer dan 4300 pekerja tawanan, ditambah pasukan marsose hingga 1.500 orang.

Sedangkan prajurit Aceh tidak kalah semangat. Mereka menggaungkan perang sabil atau perang suci melawan kafir. Perang pecah lagi, korban kedua belah pihak berjatuhan. Kekuatan tak berimbang di pihak Aceh yang berakhir direbutnya Masjid Baiturahman dan Istana Darul Dunia.

Konidisi ini menjadi tanda kekalahan rakyat Aceh. Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana, mengungsi pada Desember 1875. Perang terus berkecamuk, dalam situasi pertempuran melawan Belanda, ketika tengah berupaya merebut kembali Mukim VI, Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dien gugur pada 29 Juni 1878.

Pada 1893, pejuang perempuan dari Tanah Rencong, kali ini turut bergerilya bersama Teuku Umar melawan pasukan Belanda beberapa tahun lamanya. Hingga pada 23 Mei 1896, pasukan Belanda menggempur pertahanan Teuku Umar dengan berbagai macam operasi militer. Nahas, Teuku Umar tewas di Mugo pada Juli tahun itu juga.

Perang tahap ketiga ini yang berlangsung selama 1881 – 1896 dikenal lebih bengis. Belanda sampai-sampai menggunakan pasukan khusus serdadu Marsose alias Korps Marechaussee te Voet, satuan militer Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Di tengah kesedihan, Cut Nyak Dien sempat berkata, "Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang yang sudah syahid." Kendati harus kehilangan suami, hal itu tak membuat nyalinya gamang, naluri perjuangannya berkobar.

Ia tetap memimpin pertempuran melawan di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Dalam kondisi renta dan sakit-sakitan, ia tetap mengobarkan perlawanan. Mereka bergerilya dengan kekuatan seadanya, sampai akhirnya ditangkap, sebelum akhirnya dibuang ke Sumedang Jawa Barat pada akhir 1906.

Perang Belanda di Aceh menurut sejumlah referensi berlangsung sejak 1873 hingga berakhir 1904. Namun, pakar sejarah mengaku, peperangan tetap terjadi hingga menjelang masuknya Jepang pada 1942.

Di sejumlah wilayah, peperang terus terjadi baik perseorangan maupun kelompok. Dari pelbagai macam peristiwa yang memilukan rakyat Aceh, mereka tentu tidak ingin anaknya tumbuh menjadi pecundang, sehingga harapan menitipkan bangsa besar ke generasi berikutnya, sebagai garda terdepan, mempertahankan martabat dan kedaulatannya.

Para ibu menyadari, didikannya adalah rangsangan utama terbentukanya jiwa-jiwa tangguh, sehingga mereka mulai menstimulasi perkembangan otak anaknya dengan lantunan yang sarat nilai ketuhanan dan kejuangan.

Secara tidak langsung, lantunan ini bisa dikatakan seperti menceritakan atau menyampaikan ilmu tertentu untuk anak, agar mereka mendapatkan pendidikan dasar sejak usia bayi.

Perkembangan dari organ-organ ini sangat ditentukan oleh rangsang yang diterima
anak dari ibunya. Rangsangan yang diberikan oleh ibu, akan memperkaya pengalaman dan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kognitif anak.

Keindahan senandung ini, terletak pada syairnya yang mengandung nilai-nilai pengalaman, harapan, kompleksitas pikiran para ibu agar tegak pada kebeanaran, kukuh pada perjuangan di kala membela negerinya, tanah tumpah darah warisan leluhurnya.

Kini, tak banyak kita temukan para ibu menidurkan anaknya di atas ayunan. Kalau pun ada, hanya ditemukan di pedalaman kampung-kampung. mereka masih menggunakan ayunan tradisonal, dari sarung atau kain jarik dan tali yang digantungkan pada balok kayu di bawah kolong rumah atawa di bawah pohon.

Mereka masih melakukannya agar anak tertidur dan tak lepas dari pantauan ibu sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Menariknya, mereka bersyair dalam lagu yang dilantunkan dengan lembut.

Masa sekarang, para ibu lebih sering menggunakan alat-alat modern berupa barang elektronik ketika menidurkan anaknya. Ayunan remot kontrol dan bunyi-bunyian elektronik. Akibatnya, seni tutur membuai anak, jarang dilantunkan.

Apakah karena ketidaktahuan? Ataukan perubahan paradigma yang beriringan dengan zaman sehingga mereka lebih senang dengan alat yang lebih modern?

Ini adalah satu hal yang mengenyahkan kearifan lokal, menuju kepunahan, mendekati titik nadir budaya bangsa. Nilai yang dulunya magis kini tak lagi tertenung, membentuk pribadi tangguh di lingkar kain sarung.

Editor: Almaliki