Etnis.id - Bersenandung atau ma'kelong bisa dianggap sebagai media pembantu untuk menambah rezeki, seperti yang dilakukan nelayan Patorani, di Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Di sana, mereka punya tradisi menarik untuk menangkap dan mengumpulkan ikan terbang dan telurnya. Pertama adalah ritual accaru-caru atau accera turungang dan pembacaan pakdoangang (mantra/doa) oleh pemimpin kapal (punggawa biseang) sebelum melaut.

Kedua adalah ma'kelong untuk memanggil ikan terbang. Kelong adalah salah satu bentuk dari tradisi lisan dan kesusasteraan dari Sulawesi Selatan.

Dalam jurnal berjudul ‘Kelong Sisila-sila Dalam Bahasa Makassar’, Nursiah Tupa (2010) menyampaikan bahwa secara etimologi kelong berarti nyanyian. Bisa juga mengandung arti mendalam bila ditinjau dari aspek imajinasi. Nursiah mengartikannya sebagai puisi.

Hal seperti itu dijelaskan juga oleh Prof Tadjuddin Maknun SU, saat menguraikan mengenai kelong pemanggil ikan, lewat bukunya yang berjudul ‘Nelayan Makassar Kepercayaan, Karakter (2012)’.

“Jadi kelong yang dimaksud di sini adalah bentuk kebahasaan yang mempunyai pola tertentu, diungkapkan dengan cara melagukan dan mengandung makna tertentu.” tulis Prof Tadjuddin. Di sana terjabarkan makna simbolik dari lirik kelong untuk memanggil ikan terbang. Dijelasi pula konteks situasi dan kultural saat ma'kelong (bersenandung).

Guru besar Universitas Hasanuddin itu menyampaikan bahwa kelong adalah kelanjutan dari pakdoangang yang telah dibaca oleh pemimpin kapal (punggawa biseang), sebelum melaut dan saat alat tangkap telah dipasang.

Kalau pakdoangang telah dibaca sampai tiga kali dan belum ada reaksi dari ikan, maka barulah kelong pemanggil ikan terbang (juku torani) dilantunkan.

Pole torani, pole torani, pole torani. Ri allakna bombang, ri tekokna arusuka, ri balembeng na takak. Battu ngasengmako mae. Manurung i timborok, i warak, i rawa, i rate.

Arti dari penggalan pertama di atas yaitu: Datang torani, datang torani, datang torani. Dari celahnya ombak, dari pusarnya arus, dari lekuknya karang. Datang semualah ke sini. Muncul dari selatan, dari utara, dari bawah, dari atas.

Kelong dilakukan dengan suara berirama oleh punggawa biseang. Sedangkan para nelayan pekerja (sawi) saat itu, harus duduk diam sambil mengamati ikan yang mendekat ke alat tangkap dan tak diperkenankan bertindak atau mengucapkan hal yang dapat melanggar tabu.

Ri pakkare-karenannu, ri bainennu. I pantarang mi antu tulolona satangnga. Lompoa pungkukna. Ia riolo, ia angngallei bungkasakna. Ia ri boko, ia angngallei palateangna. Natulusang sikalimi bajikna, tana taba panrak. Pole ngasengmako mae.

Di penggalan kedua dari lirik kelong di atas, punggawa biseang mulai bermain di ranah imajinasi dan disesuaikan dengan pengetahuan yang dimiliki.

Simak saja arti dari liriknya: Di tempat bermainmu, di isterimu. Sudah ada di luar anak gadisnya satangnga. Yang besar pinggulnya. Siapa cepat, dia mengambil perawannya. Siapa di terlambat, dia mengambil bekasnya. Diteruskanlah kebaikannya, tidak dikenai bahaya. Datang semualah ke sini.

Dijelasi Prof Tadjuddin, makna simbolik lirik di atas menganggap ikan terbang yang dicari adalah lelaki pubertas. Ikan itu diberi nama Daeng Rani, seperti nama seorang laki-laki dari suku Makassar.

Penyebutan frasa tulolona (anak gadis) dan bungkasakna (perawannya) adalah rayuan untuk kerumunan ikan terbang agar segera mendatangi seorang anak gadis. Seorang anak gadis yang dimaksud punggawa biseang adalah bubu (pakkaja), yakni alat tangkap.

Diandaikan sebagai anak gadis dengan pinggul yang besar sebab bubu berbentuk bulat lonjong hampir mirip pinggul perempuan dewasa, seperti yang disebutkan di frasa lompoa pungkukna.

Boleh dikata lirik di atas mengarah pada perkawinan atau persetubuhan. Sebab nelayan patorani mengharapkan agar ikan terbang dapat menghasilkan banyak telur di dalam pakkaja.

Masih dalam lirik kelong, disebutkan pula dua binatang seperti semut dan lebah. Takbalanna kaluaraya (yang berkerumun laksana semut). Akjallo baniya (yang mengamuk laksana lebah). Serta tambung loroa (yang bertumpuk laksana sampah) dan pole sirenreng mako mae, siamungna torania (datanglah bergandengan ke sini, semua ikan terbang).

Prof Tadjuddin menganggap dua binatang itu diandaikan sebagai simbol pengharapan nelayan Patorani agar mendapat hasil tangkapan yang berlimpah di dalam alat tangkap laiknya seperti sifat dari semut dan lebah yang selalu berkerumun.

Inilah mantra nelayan patorani, yang menjadi contoh kecil bahwa tradisi lisan tidak sekadar berisi petuah atau cerita-cerita rakyat, tetapi dapat pula berisi imajinasi yang dapat membantu usaha nelayan patorani mencari pundi-pundi rezeki.

Editor: Almaliki