Etnis.id - Sejak dulu suku Makassar terkenal sebagai pelaut ulung. Keberanian dan kecakapan dalam mengarungi lautan luas menjadi ciri tersendiri baginya. Berdagang lintas pulau dan mengumpulkan hasil laut adalah aktivitasnya.

Seperti yang dilakukan oleh komunitas nelayan tertua dari suku Makassar, nelayan Patorani, yang banyak bermukim di daerah Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Ikan terbang (exocoetidae) atau dalam bahasa Makassar disebut juku’ torani menjadi target tangkapan nelayan patorani, terkhusus telurnya. Maka dari itu, namanya dilekatkan.

Dalam jurnal Adri Arief dan Dalvi Mustafa (2017) yang berjudul ‘Kajian Struktur Sosial Kelompok Nelayan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar’,  dalam satu kelompok nelayan Patorani, biasanya terdapat punggawa dan para sawi.

Punggawa adalah juragan atau pemilik modal untuk berlayar. Kapal, mesin, bahan bakar serta seluruh bekal saat melaut, ditanggung oleh punggawa. Sawi adalah buruh nelayan atau nelayan pekerja, yang bertugas melakukan segala aktivitas penangkapan ikan.

Biasanya para sawi yang dipekerjakan merupakan kerabat dari pemimpin kapal atau punggawa. Hubungan kerja sama di antara ketiga posisi ini dibangun atas dasar kepercayaan dan kesepakatan lisan saja.

Walau begitu, relasi antara punggawa dengan para sawi bukan hanya sekadar hubungan kerja, namun lebih dari itu. Di luar aktivitas penangkapan ikan terbang, punggawa menjadi penjamin hidup bagi para sawinya.

Lewat pemberian pinjaman, punggawa seakan menjadi penolong bagi para sawi. Oleh sebab itu, para sawi begitu terikat dalam relasinya dengan punggawa. Mereka harus siap sedia melayani jika tenaganya dibutuhkan.

Lain lagi punggawa biseang atau pemimpin kapal. Punggawa biseang merupakan perpanjangan tangan dari punggawa pemilik modal, bertugas memimpin pelayaran dan proses penangkapan ikan.

Biasanya, punggawa biseang adalah salah satu sawi yang dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih tentang proses pelayaran dan penangkapan ikan.

Persiapan Sebelum Melaut

Guru besar Universitas Hasanuddin, Prof Tadjuddin Maknun SU menguraikan ritual yang biasa dijalankan nelayan patorani, sebelum dan saat melaut, lewat bukunya ‘Nelayan Makassar Kepercayaan, Karakter’ (2012).

Ritual pertama merupakan bagian dari persiapan sebelum melaut. Setelah pakkaja’ (alat tangkap) disiapkan dan kapal dibenahi (allepa biseang) dari kerusakan, barulah ritual pertama dilakukan.

Ritus pertama ini disebut dengan accaru-caru atau accera turungang, dilakukan oleh keluarga nelayan dan dipimpin oleh seorang penghulu atau sesepuh untuk memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Esa, sebagai upaya mengharap keselamatan dan biasanya dilakukan saat kapal pertama kali dipakai melaut.

Sebelum ritual diadakan, keluarga nelayan terlebih dahulu mesti menyediakan pakrappo’ (sesajian), yang terdiri dari unti tekne (pisang raja), umba-umba (onde-onde), kulapisik (kue lapis), bayao jangang (telur ayam), songkolok kebo’ (nasi ketan putih), songkolok le’leng (nasi ketan hitam), leko’ (daun sirih), dan rappo’ (buah pinang).

Setiap pakrappo’ yang disajikan kata Prof Tadjuddin, menjadi simbol akan setiap pengharapan keluarga nelayan. Umba-umba dianggap memiliki sifat yang selalu muncul dan tidak dapat tenggelam, sebab dalam proses pembuatannya, kue ini akan muncul ke permukaan air saat sudah matang.

Begitu juga dengan kulapisik, kue ini juga dianggap sebagai simbol pengharapan akan rezeki yang berlapis-lapis, sebagaimana susunan dan warnanya yang berlapis-lapis.

Pengharapan akan hal-hal baik lainnya juga disimbolkan oleh sajian unti tekne, yang berarti kesejahteraan dalam segala aktivitas, sebagaimana rasa dari unti tekne atau pisang raja yang selalu manis.

Sedangkan leko’, bayao jangang, dan rappo’ dianggap melambangkan penghormatan kepada roh leluhur yang telah memberi pengetahuan tentang pelayaran dan penjaga alam raya termasuk lautan yang luas.

'Pakdoangang' saat akan Melaut

Selain ritual, Prof Tadjudin Maknun SU juga menjabarkan mengenai mantra atau pakdoangang yang digunakan nelayan Patorani, seperti mantra sebelum kapal menghilir menuju laut.

Punggawa bersama para sawi biasanya akan berkumpul di pinggir laut, membulatkan tekad dan berserah diri kepada Tuhan. Kemudian sesaji diletakkan di pinggir laut.

Selanjutnya punggawa biseang akan naik ke atas kapal dan mulai membacakan mantra atau pakdoangang dalam suasana yang sakral saat kapal mulai berpindah ke lautan lepas.

Ikau mellepu, areng tojengnu ri Alla taala, Boyangak dallekku ri Alla taala. I mallewai ri kanang, I mandacingi ri kairi. Tallang pi lino na kutallang todong. Jai leko ri lino, jai tongi dallekku ri Alla taala...

Begitulah penggalan pertama dari pakdoangang yang dibacakan punggawa yang berarti: engkau yang sempurna, nama aslimu dari Allah Taala, Carikan rezekiku dari Allah Taala, Si penegak di sebelah kanan, Si penyeimbang di sebelah kiri, Nanti tenggelam dunia, baru ku tenggelam juga. Banyak daun di dunia, Banyak juga rezeki ku dari Allah Taala...

Penggalan pertama pakdoangang itu menurut Prof Tadjudin Maknun untuk membangkitkan keberanian sebelum melaut dan sebagai doa agar mendapat banyak ikan.

Kapal atau perahu diandaikan sebagai benda yang utuh sempurna dan tidak memiliki kekurangan satu pun, sehingga terjadi keseimbangan.

Selain itu, pengharapan akan rezeki yang berlimpah dapat ditemukan di frasa ‘jai leko ri lino, jai tongi dalleku ri Alla taala’. Nelayan patorani berharap, lewat pakdoangang yang dibacakan pungguwa biseang, agar diberi hasil tangkapan ikan sebanyak daun yang ada di dunia.

Penggalan pakdoangan selanjutnya, kurang lebih sama tujuannya: meminta keselamatan dan rezeki berlimpah. Bahkan beberapa kali nama Nabi Muhammad, Nabi Haidir dan malaikat Jibril disebut dalam pakdoangan yang dibaca sang punggawa biseang.

O, nabbi halerek (Nabi Haidir), allei dalleknu, Palakkang tonga dallekku battu ri Alla taala. O, nabbi muhammak (Nabi Muhammad), allei dallenu, palakkang tonga dalleku battu ri Alla taala. Punna lapanrako biseang, anrinni tompako ri tubung-tubungnu. Teako panraki ri dolangang...

Hal itu menunjukkan latar kepercayaan Islam dalam komunitas nelayan Patorani. Sebagaimana yang telah diketahui, daerah Galesong adalah bagian dari kerajaan Gowa yang menjadi kerajaan pertama yang memeluk Islam di Sulawesi Selatan.

Selepas pakdoangang dibacakan, kapal nelayan Patorani perlahan menuju lautan lepas, menerjang ombak untuk mencari dan mengumpulkan ikan terbang dan telurnya.

Editor: Almaliki