Etnis.id - Beberapa tahun silam dalam kuliah studi lapangan, sebagai mahasiswa ISI, saya dan beberapa kawan pascasarjana serta dosen ISI Padang Panjang, berangkat bersama menuju Muara Labuh, Kabupaten Solok Selatan, di daerah Abai Sangir.

Ke sana, kami menggunakan mini bus dan mobil pribadi. Sesampainya di Solok Selatan, kami disambut Bupati Solok Selatan dan diajak beristirahat di seribu Rumah Gadang yang merupakan ikon dari Kota Solok Selatan.

Rumah gadang di Nagari atau Desa Muara Labuah memiliki berbagai macam gonjong atau hiasan seperti tanduk yang berada di sudut atau di tengah atap. Jumlahnya berbeda-beda setiap rumah.

Intinya, semakin banyak gonjong di atap, semakin tinggi pula status sosial pemilik rumah gadang. Rumah gadang yang memiliki enam gonjong atau lebih berarti pemilik rumahnya ialah seorang petinggi adat Minang atau datuak di Muara Labuah.

"Dari sisi arsitektur, rumah gadang punya ukiran terawang yang diraut hingga berbentuk dua sampai tiga jenis yang ditempatkan pada papan sakapiang di atas salangko. Ada juga dua atau tiga jenis ukiran pada papan redeang," beber Yurino, masyarakat Batu Sangkar, yang saya tanyai tentang rumah gadang ini.

Rumah gadang/Rivaldi Ihsan

Salangko adalah penutup kolong rumah yang diukir sedemikian rupa. Salangko inilah yang menambah manisnya sebuah arsitektur rumah gadang. Sementara papan redeang adalah papan di sudut rumah.

Jika mengikuti pemikiran Loravianti peneliti rumah gadang Muara Labuah, Solok Selatan. Umumnya, masyarakat Minangkabau yang berkecukupan akan membangun rumah gadang.

Konon, jika seorang bayi perempuan lahir, maka seorang ayah dari bayi perempuan tersebut harus mendirikan rumah gadang. Ini untuk membuktikan, kalau kasih sayang seorang ayah sangat besar terhadap anak perempuannya.

Alasan kedua mengapa harus membuat rumah gadang disebabkan anak perempuan dijadikan pewaris suku untuk keturunan pada masa mendatang, serta pewaris harta pusaka.

Ritual Turun Mandi

Di Solok, seusai beristirahat, kami berangkat ke Taman Kota Muara Labuah untuk menyaksikan ritual Turun Mandi. Ritus ini untuk anak yang baru lahir. Dalam prosesinya, didendangkan lirik yang bunyinya seperti ini.

"untuang isok manjadi anak sholeh, manjadi sifaik saronan nabi, nan buruk usah lah dilakuan, nan elok nan kadi padalam."

"Artinya semoga besok menjadi anak soleh, menjadikan sifat seperti nabi, yang jelek tidak usah dilakukan, yang baik akan diperdalam," ujar Herka, pemuda 24 tahun yang menetap di Bukit Surungan, yang saya tanyai saat itu.

Usai Turun Mandi, gandang sarunai yang terdiri dari dua buah gendang dengan pembagian jantan, betina, serta satu buah sarunai, dimainkan. "Teknik musik etnik ini berpola interlocking atau sauik-manyauwik (saling mengisi)." ujar kawan saya, Rico Gusmanto. Menarik sekali.

Di Abai Sangir

Setelah beristirahat di Muara Labuah, kami berangkat menuju ke Abai Sangir, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan dan langsung disambut ramah oleh pemangku adat serta masyarakat setempat.

Mereka mengiringi kami dengan tarian silat yang menggunakan pedang. "Itu artinya masyarakat Abai senang sekali  kedatangan tamu ke desanya. Mereka senang dengan kedatangan kita," ujar Emri, seorang Dosen di ISI Padang Panjang yang iktu rombongan kami.

Silat dengan pedang/Rivaldi Ihsan

Gerakan tarian silat itu diiringi talempong dengan repertoar canang lima dan canang enam. Talempong itu dimainkan oleh perempuan. Bunyinya merdu. Menariknya, pemain talempongnya adalah ibu-ibu berumur sekitar empat puluh tahun ke atas.

Seorang perempuan yang ikut menyambut kami, Samsidar mengaku kalau permainan talempong ini sudah menjadi tradisi yang dilakukan dari dulu sampai sekarang. "Lelaki di Abai Sangir tidak semua mau bermain talempong. Kalau ada, itu hanya sebagian kecil saja."

Talempong/Rivaldi Ihsan

Soal repertoar, pemukul talempong punya pelbagai macam repertoar salah satunya mengambiak kebakau. Ada pun musikal tradisi di Nagari Abai Sangir bersifat repetitif atau pengulangan.

Biasanya musik tradisi yang bersifat repetitif digunakan untuk upacara-upacara adat atau ritual, sementara perkembangannya saat ini beralih ke seni hiburan pernikahan, pemilihan penghulu, hajatan dan syukuran.

Akhirnya saya menyimpulkan sendiri, jika sajian seni yang disuguhkan kepada kami, adalah bukti kalau masyarakat Kecamatan Solok selatan sudah siap dalam menuju kota wisata. Caranya ya dengan melestarikan tradisinya melalui sanggar-sanggar seni yang berada di Muara Labuah dan Abai Sangir.

Kesiapan tersebut tidak terlepas dari peran pemangku adat, seniman setempat, serta pemerintah daerah yang saling bekerja sama dalam membangun kesenian-kesenian yang berada di Solok Selatan.

Editor: Almaliki