Etnis.id - Sarangge (bahasa Bima), begitulah sebutan orang Bima pada sebuah tempat duduk dari bahan dasar bambu dan kayu. Bentuknya sangat sederhana jauh dari kata modern, namun Sarangge sudah sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bima.
Pembuatan Sarangge tidaklah terlalu sulit dilakukan, bisa dikerjakan satu atau dua orang bahkan lebih. Pertama Anda harus menembang pohon bambu berukuran besar, yang sudah tua (kadang juga bambu muda). Setelah itu, bambu di potong sesuai ukuran yang diinginkan, lalu dibelah menjadi beberapa bagian.
Bambu yang sudah belah kemudian pinggirnya yang runcing dibersihkan agar tidak melukai tangan. Setelah semuanya beres, lalu Anda membuat kaki dan palangnya dari kayu yang cukup kuat agar tidak mudah roboh saat diduduki banyak orang.
Jenis ukurannya bervariasi, ada yang dibuat model segi empat juga berbentuk persegi panjang. Setelah selesai dikerjakan, Sarangge lalu disimpan di halaman rumah atau dipinggir jalan sebagai tempat duduk.
Di Kampung saya, Sarangge pada umumnya tempat orang-orang melepas penat setelah usai bekerja di ladang atau sepulang dari pekarangan sawah.
Di sana mereka bertukar pikiran, mendiskusikan tentang apa saja, mulai dari bibit padi jenis apa yang akan ditanam, cara mengolah sawah, tempat bermain domino, tempat bergosip ria, bahas isu politik, serta dijadikan tempat jajanan para penjual.
Sarangge sudah jadi ruang publik, tempat bertemunya ide-ide didiskusikan dan merencanakan tentang apa saja bahkan digunakan sebagai wadah rembuk desa.
Jika orang-orang pada zaman Yunani kuno dulu seperti Plato dan Aristoteles, menggunakan alun-alun kota sebagai tempat bersemainya ruang demokrasi, maka di Bima, dalam pengertian yang sangat sederhana. Sarangge adalah ruang demokrasi pertama mereka.
Di mana masyarakat Bima menggunakan Sarangge sebagai sarana komunikasi yang cukup efektif, sebab disitulah mereka berkumpul setiap harinya.
Tanpa disadari ruang demokrasi tumbuh subur di tempat yang sangat sederhana itu, tidak ada tuan atau bawahan, semua sama rata bebas berbicara. Inilah konsep demokrasi klasik seperti yang diperkenalkan zaman Yunani kuno.
Saya tidak tahu persis kapan Sarangge pertama kali dibuat oleh masyarakat, ia mungkin sudah ada sejak zaman 'naka' (zaman prasejarah). Lalu turun temurun hingga sekarang, dalam perkembangannya selanjutnya, Sarangge dibuat dengan sejumlah motif yang berbeda karena dipengaruhi oleh corak perkembangan seni dan budaya masyarakat.
Namun bahan materialnya seperti bilah bambu masih tetap dipertahankan hingga sekarang.
Pergeseran Budaya
Setelah zaman berkembang begitu pesat, di mana alat-alat tradisional mulai tergantikan dengan alat modern, corak berpikir dan perilaku masyarakat seiring waktu mengalami perubahan. Mulai dari peralihan corak bercocok tanam digantikan dengan mesin, demikian huga dengan Sarangge.
Memang tidak semua perubahan atau yang baru itu membawa dampak negatif, sebab antara negatif dan positif saling beriringan, tergantung bagaimana kita menilai dari perspektif masing-masing.
Meski Sarangge tetap ada di beberapa halaman rumah warga, namun secara fungsi Sarangge mulai sedikit demi sedikit mengalami perubahan.
Biasanya masyarakat menggunakan Sarangge sebagai ruang diskusi dan bertemu, kini masyarakat sudah mulai mengenal tempat-tempat baru sebagai penggantinya. Seperti munculnya warung kopi dan beberapa cafe yang menggantikan peran Sarangge.
Warung kopi sudah mulai tumbuh subur, dibeberapa desa sudah ada, apalagi di pusat kota Bima. Sarangge sudah jarang terlihat sejak pemisahan antara wilayah kabupaten dan kota madya.
Anak-anak muda sekarang sudah punya tempat tongkrongan baru yaitu warung kopi dan cafe, yang menyediakan segala macam jenis menu makanan ringan, kopi dan tempat karakoean.
Mungkin dalam perkembangan selanjutnya, anak-anak muda tidak lagi menggunakan Sarangge sebagai wadah bertukar pikiran, ia akan menjadi tempat saat hajatan nikahan, sunatan ataupun acara lain di desa.
Sarangge kemungkinan kedepannya akan tergerus oleh zaman dan ditinggalkan sama sekali.