Etnis.id - Pemali di Indonesia adalah pesan atau tuntunan dari masa lalu yang berlaku bagi banyak orang. Masyarakat Bugis-Makassar masih sering menyampaikannya dalam beberapa kesempatan.

Ada pesan kepada perempuan, ada juga untuk lelaki. Pesannya bisa universal, jika tidak mau mengkhususkan satu gender tertentu. Sewaktu kecil, orangtua saya berpesan untuk tidak duduk di atas bantal, jangan membeli jarum pada malam hari, dan lainnya.

Dari semuanya, ada yang masih tercatat dalam kepala saya sampai sekarang. Salah satunya, percaya atau tidak, untuk menjaga diri agar dilirik perempuan. Agar kelak kita bisa ditaksir orang.

Tidak boleh makan atau minum dengan piring dan gelas yang pecah sedikit. Biasanya, di bibir gelas, ada hal seperti itu. Di Makassar, orang menyebutnya cippe'.

Bagi sebagian orang, ini mungkin mengada-ada. Tetapi jika diselami maknanya, saya pribadi bisa menerimanya. Takutnya, nanti, saat ada tetamu yang datang ke rumah, keluarga bisa dinilai yang aneh-aneh.

Saya pernah bertanya kenapa, ibu menjawab bisa saja nanti saya tidak ada jodohnya dan tafsiran yang lain-lain. Saya percaya dan menjalani perintah itu dengan khusyuk. Sampai sekarang.

Bukan karena berbau magis. Tetapi jika ditelaah, ada pesan baik untuk persona kita. Jadinya, saya membiasakan diri untuk menjaga barang apa saja di rumah.

Itulah garis besar peran pemali untuk saya. Lain lagi untuk perempuan. Ada banyak hal yang bisa diungkap orang-orang Bugis jika sudah berbicara tentang ketakutannya kepada anak perempuan.

Untuk mendukung gagasan ini, saya sampai membuka buku Juma Darmapoetra berjudul Suku Bugis: Pewaris Keberanian Leluhur. Saya mencari apakah pemali itu. Apakah tak jauh dari pengertian saya atau saya keliru.

Pemali atau pammali menurut orang Bugis adalah larangan kepada seseorang untuk berbuat atau mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat dan aturan.

Juma mengartikan pemali, jika dilanggar akan memperoleh ganjaran dan kutukan. Saya tidak. Selebihnya, yang saya artikan secara bebas hampir sama.

Tanpa mendiskreditkan gender sama sekali dan menganggap perempuan adalah makhluk yang terkekang dan selamanya didominasi, pesan orang-orang tetua Bugis dulu kepada anak perempuannya bisa berbunyi seperti ini.

Riapemmalliangi ana' darae makkelong ri dapurangnge narekko mannasui. Artinya, pantang bagi perempuan menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan.

Secara sederhana, pasti orang awam bisa menganggap kalau hal itu seperti larangan yang kaku dan tabu. Jika dilakukan akan terkena kutukan. Bisa juga diterjemahkan memakai unsur magis segala.

Tetapi, Juma menuliskan, jika pesan itu ternyata untuk meninggikan perempuan. Untuk ini, saya baru tahu setelah membuka satu buku kecil yang ditulis Juma.

Tetua dulu percaya, efek dari pemali, jika dilanggar, maka si perempuan akan sulit mendapatkan jodoh. Begitulah. Bagi saya pribadi, mendapatkan jodoh atau tidak, adalah hal yang biasa.

Ada orang yang belum menemukan jodohnya sampai meninggal dan lain-lain. Tidak mendapatkan jodoh tidak lantas membuat seseorang menjadi terhina, bukan?

Berbicara tentang itu, sungguh luas cakupannya apalagi jika dibawa sampai ke ranah mistisisme. Tetapi, dalam konteks ini, saya fokus memberi pandangan tetua.

Bukan berarti itu salah dan saya benar. Tidak. Ini untuk dijadikan bahan permenungan bersama. Apakah hal seperti ini bisa diamini atau tidak dan dianggap tidak lagi relevan digunakan. Semua tergantung pilihan masing-masing

Apakah pesan mendalam dari pemali di atas? Bisa juga ditafsirkan seperti yang Juma tulis. Perempuan dilarang menyanyi di dapur karena ditakutkan akan keluar ludah dan tumpah di makanan.

Jika terjadi, maka makanan tidak lagi higienis. Ia bisa saja menimbulkan penyakit bagi si penyantap. Pemali, jika ditafsirkan seperti itu, sungguh punya nilai yang luar biasa.

Itu yang pertama. Kedua adalah, de' nawedding ana darae matinro lettu tengnga essoe nasaba' labe'i dalle'na. Artinya seorang gadis dilarang tidur hingga tengah hari karena akan membuat rezekinya berkurang.

Pesan ini yang paling banyak saya dengar. Itu makanya, antara percaya dan tidak, di perkampungan di Sulawesi Selatan, perempuan sering didapati bangun lebih pagi. Beda dengan kehidupan kota yang saya tumbuh besar di dalamnya.

Saya pernah bertanya suatu kali kepada keluarga di kampung. Ia menganggap kalau hal itu adalah tradisi dan harus dibiasakan. Mengejar rezeki. Tak baik, katanya, perempuan bangun kesiangan.

Jika perempuan bangun kesiangan, jika tidak diidentikkan malas, maka efeknya secara langsung bisa membuat pekerjaannya terbengkalai. Dari sana, rezeki akan sulit dikejar.

Dianggap pula kalau jodoh akan menjauh, jika bangun siang dibiasakan. Maklum, orang-orang dulu menganggap, lelaki atau perempuan menyakralkan jam bangun tidur.

Jika dianggap secara medis, pesan ini juga bisa dipakai. Orang yang bangunnya kesiangan, bisa melemahkan tubuhnya sendiri. Kondisi ini bisa membuat kita jadi malas bekerja.

Masih banyak pesan lain yang bisa kita diskusikan bersama-sama, tetapi saya hanya memilih dua contoh untuk mengartikan pemali yang tak melulu disangkutpautkan dengan kutukan.

Apa Anda punya masukan yang lain?