Etnis.id - Banyak hal yang bisa dilihat soal hari Asyura. Di timur tengah, beberapa negara memperingatinya dengan esktrem. Ada yang nihayah (menangisi mayat) serta memotong rambut menggunakan pisau di Irak.

Ritus ini mengundang banyak pandangan. Sebab terkait soal agama, muncul banyak perdebatan dari sini. Ada yang bilang, perayaan yang identik dengan Syiah itu, tak boleh dilakukan di Indonesia.

Banyak pula narasi yang membincangkan jika tradisi yang tidak pernah dicontohkan Nabi, sebaiknya dijauhkan dari ritus keagamaan. Alasannya bisa banyak hal. Paling utama adalah bid'ah.

Tentunya, setiap negara, punya hukum sendiri dengan memakai fatwa dan pikiran imam besarnya dalam memaknai dan mengekspresikan dirinya dalam momentum itu.

Lantas, apakah perayaan itu lantas salah jika dibawa ke Indonesia dan dimodifikasi dengan perayaan yang tidak seperti di timur tengah? Butuh waktu panjang untuk membahasnya.

Sebab dalam banyak kasus. Banyak ormas dan pengampu agama yang melarang hal-hal yang berbau asyura dan menjauhkan orang dari tradisi yang positif tidaknya masih bisa diperdebatkan.

Tulisan ini tentu saja tidak ingin memperdebatkan soal aturan dalam agama dan tradisi masyarakat. Hanya sekadar berbagi kenyataan dan mengambil sisi humanistik dari sebuah tradisi.

Di Indonesia, mengekspresikan hari Asyura punya banyak bentuk. Salah satunya di Sumatera yang dikenal karena pengaruh agama Islam yang kuat.

Di sana, sesuai tradisi, masyarakatnya akan membuat bubur beramai-ramai. Nantinya, bubur itu akan digunakan dalam upacara keagamaan 10 Muharam atau bulan Asyura.

Secara spesifik--sesuai catatan yang tertera di Ensiklopedi Makanan Tradisional Indonesia: Sumatera--di Pulau Penyengat, bubur Asyura hanya dibuat sekali setahun, khusus untuk keperluan upacara tanggal 10 Muharram saja.

Sama seperti di negara bagian Arab yang lain, 10 Muharram untuk mengingat suka-duka pada peristiwa cucu nabi yang syahid di Padang Karbala.

Ritus Asyura di sana diawali dengan pawai masyarakat yang semuanya mengenakan pakaian Melayu, yaitu perempuan memakai baju kurung Melayu atau ada pula yang mengenakan kebaya labuh dan jilbab.

Untuk lelaki, diwajibkan mengenakan teluk belanga atau baju koko dengan padanan celana panjang yang sama warnanya. Bisa juga diganti dengan sarung songket yang dilipat dua dan dililitkan di pinggang. Mereka menutup kepalanya dengan songkok atau kopiah.

Saat pawai, mereka tak cuma berjalan saja, tetapi juga mengarak Alquran yang ditempatkan dalam sebuah talam yang di atasnya diletakkan dudukan AIquran dari kayu dan diberi kaki menyilang.

Mengingat ini, saya langsung kembali ke masa-masa saya kecil. Saat mengaji di beranda rumah setelah salat Magrib, Alquran didudukkan dan kita duduk bersila.

Kakek saya menunjuk satu huruf ke huruf lainnya dengan lidi. Jika salah atau tidak fokus membaca, bisa-bisa lidi itu dipukulkan ke muka atau ke tangan kita. Barangkali, pendidikan begitu sudah lama dilupakan.

Kembali ke soal pawai. Masyarakat berjalan dari Kampung Ladi sampai ke Kampung Balik Kota, tepatnya ke Mesjid Raya Sultan Riau dengan diiringi tetabuhan rebana yang ditabuh oleh ibu ibu yang tergabung dalam majelis.

Setelah sampai di Mesjid Raya Sultan Riau, rombongan masuk ke dalam mesjid. Kaum perempuan, anak gadis, dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk.

Tetapi tidak sampai di situ. Nikmatnya, karena mereka diberikan kue yang telah dimasukkan ke dalam plastik. Kue itu bermacam-macam seperti kue bakar dengan roti belau, tepung gomak dengan tembose, deramderam dengan kole-kole dan lain-lain.

Orang-orang yang di dalam masjid, kemudian membaca barzanji. Barulah mereka menyantap bubur Asyura dari mangkuk besar, yang sudah disiapkan wadah untuk perorangan, setelah tugas itu selesai.

Sementara penduduk yang tidak dapat hadir ke mesjid, dikirim bubur Asyura ke rumahnya masing-masing oleh pengurus mesjid sebelum azan Magrib. Apa alasannya? Banyak penduduk Penyengat yang berpuasa.

Asal bubur Asyura sendiri sebenarnya dari setiap kampung yang ada di Pulau Penyengat, mengirimkan buburnya ke Mesjid Raya Sultan Riau yang langsung dikelola oleh pengurus mesjid.

Menariknya, bubur Asyura tidak sembarangan dijual. Jika tempatnya di Pulau Penyengat, maka makanan itu hanya bisa didapatkan di sana. Tak ada di sekitar Tanjung Pinang.

Tradisi ini punya nilai penting yakni berfungsi untuk menjalin kehidupan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari cara pembuatannya yang melibatkan banyak orang.

Di samping itu, dibawanya bubur ini dari kampung dan dikumpulkan di satu masjid adalah bukti kalau tradisi ini bisa menambah rasa solidaritas dalam masyarakayt.

Makanan ini juga bisa dipandang memiliki nilai budaya, karena makanan tradisional ini menjadi salah satu sarana upacara keagamaan yang telah dilakukan turun-temurun.

Kita tentu saja bisa bertanya-tanya, apakah nanti tradisi membuat bubur Asyura akan hilang atau tetap diperbolehkan?