Etnis.id - Kerajaan Inggris punya Anne Boleyn yang pernikahannya dengan Raja Henry VIII terjadi setelah menyingkirkan permaisuri sebelumnya, Katherine dari Aragorn. Pernikahannya menyebabkan Gereja Inggris berpisah dengan Otoritas Roma.

Jang Hui Bin dari Korea berhasil menggulingkan Min Inhyun sebagai permaisuri Raja Sukjong dan naik pangkat dari posisinya sebagai selir. Sementara Kesultanan Ottoman ada Haseki Hurrem Sultan, selir pertama yang menjadi permaisuri di era Sulaiman I.

Persamaan para perempuan tersebut tak hanya cantik dan pintar. Mereka juga mempengaruhi jalannya perpolitikan dan kekuasaan. Pengaruhnya sampai membuat anak masing-masing menjadi pewaris tahta meski harus berlumur darah. Banyak yang menyebut mereka sebagai femme fatale di sejarah negeri masing-masing.

Di Indonesia, Kerajaan Jawa lebih khususnya, sosok femme fatale tak banyak yang membahas. Hingga suatu ketika saya membaca buku dari Peter Carey dan Vincent Houben yang berjudul “Perempuan Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX”.
Di dalamnya saya menemukan nama Ratu Kencono Wulan (1780-1859).

Kencono Wulan merupakan permaisuri ketiga Sultan Hamengkubowono II. Carey dan Vincent (2016) menuliskan di bukunya, bahwa sang ratu bukan berasal dari bangsawan, melainkan anak dari pedagang di Pasar Beringharjo. Namun berkat kecerdasan dan kecantikannya, Kencono Wulan berhasil mempengaruhi suaminya untuk kepentingan dia dan keluarganya.

Permaisuri ini gemar menerima suap dari orang-orang yang ingin naik pangkat sebagai pejabat keraton. Hanya kerabat Kencono Wulan saja yang bisa memperoleh pangkat tanpa harus membayar. Salah satunya adalah demang Yogya untuk Tersono, Raden Tirtowijoyo yang dianggap gagal menangkap “segerombolan rampok yang terkenal”.

Sultan HB II bukan berarti tidak tahu ulah Ratu Kencono Wulan. Namun sultan tak menindak Kencono Wulan, karena ia adalah permaisuri favorit. HB II sangat menyukai permaisuri ketiganya sampai-sampai membangunkan gedung yang berisi barang-barang berharga seperti perhiasan, emas, perak, berlian dan sebaginya. Namun, kekayaan itu lenyap ketika pasukan Inggris-Sepoy yang berasal dari Bengal menyerbu istana dan menjarah gedung milik Sang Ratu.

Kisah penyerbuan pasukan Inggris ke keraton ini termuat dalam buku Babad Bedah ing Ngayogyakarta yang ditulis oleh Bendoro Pangeran Arya Panular. Karyanya dikutip ulang oleh Peter Carey yang menulis buku tentang ‘Inggris di Jawa’. Kepiawaian Kencono Wulan tak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga dia gunakan untuk sukses kepemimpinan. Perseteruan terjadi antara tiga pihak.

HB II mempunyai tiga permaisuri yakni Ratu Kedaton yang berdarah Madura, Ratu Mas yang merupakan puteri Pangeran Pakuningrat era Mataram dan Ratu Alit yang merupakan anak Pakubuwono II dan Ratu Kencono Wulan.

Ratu Kedaton merasa anaknya, Raden Mas Suraja, yang paling berhak karena merupakan putra pertama. Sedangkan Ratu Mas merasa anaknya lebih  berhak karena dia berasal dari keturunan Mataram. Dia menekankan bahwa trah kelahiran calon ibu suri lebih penting, sehingga kedudukannya lebih tinggi dibanding permasisuri yang lain. Sementara Ratu Kencono Wulan terus berupaya agar menantunya, Raden Temenggung Notodiningrat (kelak bergeral Pakualam II) menjadi raja.

Perseteruan tiga ratu ini berakhir setelah Belanda ikut campur dan mengasingkan Sultan Hamengkubuwono II dan menantu Ratu Kencono Wulan. Belanda sendiri akhirnya mendudukkan Raden Mas Surojo sebagai Sultan Hamengkubuwono III karena lebih kooperatif dengan keinginan Belanda.

Anti Belanda

Layaknya Ane Boleyn, Jang Hui Bin atau pun Hureem Sultan, sosok Ratu Kencono Wulan juga dikagumi. Bersama suaminya, Kencono Wulan termasuk orang yang tak suka dengan dominasi Belanda.

Seorang pengamat politik dari Inggris pernah berseloroh kepada pihak Belanda bahwa Ratu Kencono Wulan yang cantik jelita, cerdas dan tangguh itulah “satu-satunya perempuan di Jawa yang bisa membuat Sang Marsekal ‘Guntur’ Ketakutan”. Marsekal Guntur adalah sebutan bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendles.

Saking kewalahannya Daendles, ia sempat mengusulkan kepada HB II, agar Kencono Wulan dinikahkan dengan seorang “kepala desa di tempat terpencil” untuk mengurangi pengaruhnya di keraton. Padahal, waktu itu Kencono Wulan sedang
mengandung anak ketiga. Dia takut Kencono Wulan akan melahirkan anak laki-laki yang akan membahayakan posisi putera mahkota.

Namun saran ini tak diikuti oleh HB II. Kisah ini diceritakan kembali oleh Peter Carey di bukunya yang lain berjudul “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855”.

Hubungan Hamengkubawana II dengan Daendles memang tak pernah harmonis. Dalam buku Peter Carey yang lain, berjudul “Asal-Usul Perang Jawa”, Daendles
mendesak HB II memberikan akses dibukanya hutan jati di kawasan timur yang merupakan wilayah menantu kesayangannya, Raden Rangga III, untuk
pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Keduanya sama-sama tak mengindahkan.

Istana terpecah menjadi dua. Ratu Kencono Wulan jelas mendukung suaminya. Sementara Belanda didukung oleh putra mahkota yakni Raden Mas Suraja yang kelak menggantikan ayahnya sebagai Hamengkubuwana III dan patih istana Danureja II.

Perpecahan ini tentu saja dimenangkan oleh pendukung Belanda. HB II diturunkan dan menantu kesayangannya tewas di tahun 1810. Sementara menantu kesayangan Kencono Wulan yakni Raden Temenggung Notodiningrat-kelak bergelar Pakualam II-dan ayahnya Pangeran Notokusumo atau Pakualam I, diasingkan ke Batavia dan Cirebon.

Pengasing-pengasingan ini dirancang untuk melemahkan faksi keraton yang didominasi perempuan penentang putra mahkota. Salah satunya ialah Kencono Wulan.

Sementara Kencono Wulan menemani sang suami ketika diasingkan ke Pulau Pinang oleh Inggris. Dia juga menyertai saat HB II diasingkan ke Batavia (1815). Namun saat Belanda kembali mengasingkan Sultan Hamengkubuwono II ke Ambon (1817-1824), Ratu Kencono Wulan tak lagi mengikuti.

Editor: Almaliki