Etnis.id - Sabtu malam (23/11), ada penggal peristiwa budaya di Kota Solo. Ndalem Padmasusastro yang melegenda itu resmi dibuka sebagai rumah budaya. Trah dari sastrawan Ki Padmasusatra dan bos penerbit Tionghoa, Tan Koen Swie malam itu turut berkumpul.

Aneka pertunjukkan digelar semarak yang dinahkodai oleh dosen ISI Surakarta cum pelaku seni, Fafa Utami. Memori sejarah tentang kehidupan Padmasusastra digugah setelah mengalami tidur panjang.

Saya kebetulan diminta mendongeng riwayat sang kawi (pujangga) terkemuka yang menyebut dirinya sebagai “tiyang mardika ingkang marsudi kasusastran Jawi” ini. Tidak lupa saya cuilkan fragmen sejarah Padmasusastra berkarib dengan binatang anjing yang bikin trenyuh. Tatkala mau pergi ke Belanda untuk bekerja, Padmasusastra diantar dua anjing kesayangannya sampai Stasiun Balapan.

Perpisahan dan jarak yang membentang menghasilkan kerinduan mendalam. Kegembiraan nyaris tak pernah singgah di hati hewan ini semenjak ditinggal majikan. Bahkan, ketika mendengar suara sepur berhenti di Stasiun Balapan, si anjing berlari kencang, dikiranya Padmasusastra pulang.

Kesedihan yang mendera tak kunjung reda, sampai berujung kematian. Berani sumpah, anjing bukanlah hewan “kemarin sore” dalam sejarah peradaban
Jawa. Saking “akrabnya” masyarakat dengan binatang “asu”, tersurat aneka sinonim mengenainya dalam pustaka Kawi Dasanama (1882): kucika, cêmêra, sona, srênggala, sêgawon, tusa, anjinga, wrêka, dan cikaya.

Sebelum menguatnya Islamisasi serta muncul pengaruh kolonial Belanda, anjing menjadi santapan warga di beberapa tempat. Anjing merupakan “binatang tak bertuan” di kawasan Asia Tenggara. Ia bukan sahabat khusus manusia, apalagi digandrungi sampai menjadi alasan menutup warung sate jamu.

Lain dengan kucing yang sedari lama dicintai. Dagingnya juga tak pernah disantap sebab orang Jawa merengkuh mitos Hindu bahwa kucing dipandang setengah suci dikarenakan melindungi padi dari hewan pengerat (Antony Reid, 2011).

Sepenggal pertanyaan yang penting disorongkan ke publik: Sedari kapan tumbuh semangat pecinta animal (anjing) di Indonesia? Perlu digelarkan bukti yang tertuang dalam majalah Kajawen permulaan abad XX.

Redaktur menurunkan artikel bertajuk “Segawon” mengisahkan nasib anjing di Eropa. Jika wong Jawa gemar memelihara burung perkutut, maka masyarakat Barat juga punya kesenangan, yakni anjing. Kadung menggandrungi anjing dan punya duit segepok, tak jarang mereka jor-joran untuk membelinya.

“Saya sendiri sudah sering melihat ada anjing dengan harga f 100,- f 200,- atau lebih mahal , malah harganya bisa sampai f 1000, sesekali juga ada,” tulisnya dalam bahas Jawa (Etnis sudah mengartikannya). Kenyataan ini tak lebih dipandang sebagai pemborosan atau hambur-hambur arta.

Sedangkan orang Jawa yang memelihara anjing juga banyak. Hanya saja, tidak sampai tergila-gila seperti tuan kulit putih. Binatang ini lumrah direndahkan dalam bahasa percakapan, semisal orang berkata buruk (misuh) menyebut nama “asu”.

“Malah segawon itu biasa digunakan untuk ucapan yang kurang baik, misalnya orang memanggil: Asu, kepada orang lain, ucapan itu merupakan bahasa kasar,” tambahnya.

Kaum Eropa merangsek ke tanah Hindia Belanda bukan sekadar menjajah dan mengeruk kekayaan alam. Perlu disadari, meski sudah mengarungi samudera luas, mereka tetap membawa cara pandang dari negeri asalnya.

Anjing bagi bangsa Eropa merupakan binatang kesayangan. Buktinya, beberapa foto tempo doeloe memperlihatkan anjing duduk manis di dekat tuan dan noni Belanda. Bahkan, anjing diperbantukan masyarakat Eropa tatkala situasi mendesak.

Ambillah misal, anjing acap dimintai bantuan mengirim surat berisi informasi penting laiknya burung merpati. Sewaktu perang berkecamuk di belahan Eropa, saluran komunikasi melalui telegram, radio, telepon, maupun diantar pak pos (manusia) dinilai tidak aman. Musuh gampang mengendus kabar itu dan meruntuhkan perlawanan. Maka, jalan satu-satunya memakai jasa anjing dan burung (Kajawèn edisi September 1940).

Sebelum terecoki kesadaran mencintai anjing, orang Jawa dipahamkan cerita tutur tentang Prabu Menakjingga dari Blambangan. Raja ini dikisahkan bermuka anjing, dalam topeng diwujudkan muka anjing.

Arca penguasa ini bisa dijumpai di Museum Mojokerto. Dicermati tubuh dan lekuknya seperti raja satria, namun parasnya mirip anjing, sehingga terlihat mrongos. Bersumber dari Serat Cebolek, manusia Jawa mengantongi pengetahuan mengenai haji Mutamangkin yang disebut Ki Cêbolèk.

Tokoh tersebut di rumah memelihara asu dan lainnya. Terang saja, ia digugat kaum ulama di Jawa dan diadili pembesar di Kudus. Kasus itu terdengar sampai di telinga Paku Buwana II yang bercokol di Kerajaan Kartasura.

Lantas, raja mengampuni Ki Cebolek lantaran bersedia bertobat. Mudah ditebak, nilai keislaman memang merupakan nafas sehari-hari raja pewaris dinasti Mataram Islam sehingga melarang memelihara anjing.

Demikianlah, binatang anjing menjadi kembang lambe alias buah bibir. Ternyata obrolan perihal anjing tidak sebatas maraknya warung sate jamu yang menjadi pangkal keributan aktivitas pecinta animal dan ormas tertentu tempo hari.

Memang, di Nusantara daging anjing sedari lama mengawani lidah konsumen yang berlatar abangan dan non-muslim. Anjing telah memberi kelir dalam sejarah kebudayaan Indonesia.

Editor: Almaliki