Etnis.id - Gelar haji atau panggilan haji di Makassar begitu bergengsi. Bagaimana kabarnya kini? Sampai kapan budaya itu akan bertahan? Saya belum tahu. Tetua dulu, banyak yang menjadikan predikat "haji" sebagai tingkat sosial yang tinggi dalam masyarakat.
Menulis ini adalah sebuah jalan--yang saya kira lempang--untuk mengingat masa kecil yang manis sekaligus kecut. Setidaknya saya tahu bagaimana pedagang Bugis merayu konsumennya dengan sapaan "aji".
Sewaktu kecil sampai dewasa di Makassar, saat stok ikan di rumah habis, keluarga saya dengan gesit pergi ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere. Jaraknya cukup jauh dari rumah.
Apa alasannya? Harga ikan di Paotere lebih murah, sebab nelayan menyimpan hasil tangkapannya di sana. Pedagang ikan yang biasanya setiap pagi berkeliling kompleks, ikannya juga hasil dari nelayan Paotere.
Mendiang nenek saya sering pergi ke Paotere. Ia merasa, ia adalah orang yang paham bagaimana cara memilih ikan. Lebih paham dari keluarga yang lain. Apakah ikan itu masih segar atau tidak. Keahliannya terselubungnya juga adalah: Menawar.
Nenek saya tidak berdandan terlalu mencolok. Biasanya, ia hanya berdaster, tidak memulas wajahnya, membawa kantong plastik besar untuk tempat ikan, serta berkerudung dengan warna yang senada dengan dasternya.
Saat ke Paotere, ketika mengantar nenek saya, tahulah pedagang ikan, mereka pasti akan memanggil calon pembelinya dengan cara yang manis. Alasannya, biar dagangannya cepat laku sebelum matahari naik terlalu tinggi dan cuaca terik.
Biasanya mereka memanggil calon pembelinya dengan "pak" atau "bu". Lebih unik dari itu, mereka juga bisa memanggil "aji" pada orang-orang tua yang datang. Nenek saya memang sudah berhaji, tetapi dari mana ia bisa tahu?
Dalam beberapa literatur, fungsi nama haji dilihat dari segi kontak antara pemilik nama haji dan masyarakat disebut dengan fungsi fatik. Hal itu untuk menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas.
Jawaban baru saya dapatkan setelah hampir belasan tahu bertanya-tanya dan mengira, panggilan itu seperti sebuah taksiran untuk mengangkat harkat masyarakat yang merasa dituakan dengan tujuan tertentu. Istilahnya adalah golla atau rayuan.
Saya merasa perlu mengiyakan satu kesimpulan setelah mendiang kakek saya juga, jika sedang berbincang dengan tetangga, para pemuda biasanya memanggil kakek saya dengan sebutan "aji".
Secara pribadi, saya merasa perbincangan menjadi hangat dan lebih intim. Kakek saya menjadi pendengar yang baik dan tik tok dalam diskusi berjalan lancar. Kakek saya sewaktu ingin berhaji, juga menggelar acara kecil-kecilan. Entah tahun berapa. Sekisar tahun 2000-an. Masyarakat sekitar dan keluarga besar turut dipanggil.
Mereka semua duduk melantai bersama, ngobrol ngalor-ngidul, sembari mengasup es buah ke dalam mulut mereka masing-masing. Satu, dua atau lebih tawa pecah dalam rumah kami yang sederhana.
Sampai di sini, jika ada tudingan ajang berkumpul itu adalah sebuah hal yang dilebih-lebihkan dalam keagamaan alias bid'ah. Jawaban saya adalah, itu bukan sebuah ritus keagamaan sebelum berhaji.
Sederhananya, saya menganggapnya untuk memperkuat keharmonisan antara keluarga dan masyarakat; untuk menerima masukan sebelum ke mekah; memeluk doa-doa dari tetamu yang datang.
Setelah kakek pulang, ia juga mengadakan syukuran di rumah. Orang-orang dipanggil lagi. Seperti hajatan kecil sebelum berhaji, suasana malah makin hangat. Diskusi cair. Beberapa oleole dibagikan kepada tetangga dan keluarga.
Saya kira perlu menulis ini, saat ada orang yang beranggapan kalau hal yang dilakukan mendiang kakek saya adalah hal yang sia-sia dan terkesan menghamburkan uang demi acara yang tidak berfaedah.
Tradisi untuk berkumpul penting untuk kita jaga bersama. Semuanya tak lain untuk mempererat hubungan kekerabatan dan harmonis dalam lingkungan tempat tinggal.
Satu lagi, di daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan, misal Bulukumba, ada hal yang unik yang bisa pula dijadikan pelajaran. Orang-orang desa selalu peduli dengan tetangganya yang berhaji. Tak seperti di Jakarta atau kota-kota lain, mayoritas penduduknya abai dan nafsi-nafsi. Interaksi sosial kian hari kian mengendur.
Semisal, jika bibi saya mendengar bahwa ada kawan atau tetangga yang akan berhaji dalam waktu dekat. Dengan sigap, ia akan mencari tahu kapan orang yang bersangkutan akan berangkat ke Makassar.
Hal itu bukan untuk mau tahu segala hal privat calon haji, melainkan hanya ingin mengantarnya ke Makassar. Orang-orang desa percaya, jika ia ikut mengantar, suatu saat nanti, ia juga bisa ketiban rezeki yang sama dengan orang yang berhaji.
Dalam satu kesempatan saat liburan. Saya pernah bertanya pada Nurbaya, bibi saya. Saya bilang, mengapa ia sering ikut mengantar tetangganya yang akan berhaji sampai di Asrama Haji Sudiang, Makassar.
Toh, pekerjaan itu bukan hal yang mudah. Ia harus mengikhlaskan waktunya terbuang dan meliburkan kerja sementara waktu demi tetangga. Perlu diketahui, butuh waktu empat jam dari Bulukumba ke Makassar. Jauh.
"Siapa tahu kelak saya juga punya rezeki untuk berhaji, saya juga mau orang-orang ramai mengantar kepergian saya ke Mekah. Bukan hanya dengan ia hadir ke Makassar, melainkan bisa mengantar dengan doa-doa yang mustajab."
Alhasil, setelah ia punya rezeki, bibi akhirnya berangkat berhaji. Satu bus besar dari Bulukumba mengawalnya hingga ke Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Bus diisi oleh tetangga dan keluarga besar dari Bulukumba.
"Sekadar persaudaraan. Mengikat kuat silaturahmi. Bagus toh kalau ramai-ramai orang Bulukumba ke Makassar. Biar kata norak menurut orang lain, tapi inilah tradisi yang menurut saya baik dilakukan."
Cipo-cipo, Kebaya dan Gelang Emas Bersusun
Orang-orang di Sulawesi Selatan juga punya simbol untuk memperlihatkan kalau ia sudah berhaji. Sampai sekarang, hal ini masih jadi perdebatan saya sendiri, apakah berlebih-lebihan itu salah atau tidak?
Begini. Di Makassar, perempuan-perempuan baik muda dan tua, jika sudah memakai ciput, mudah diidentifikasi kalau ia sudah berhaji. Ciput disebut cipo-cipo kalau di Makassar.
Kalau ciput itu biasa dan sederhana, maka cipo-cipo cukup mewah tampilannya. Hemat saya, cipo-cipo itu adalah penutup kepala dari karet dan beludru yang dibalut dengan payet-payet berkilau dengan warna mencolok.
Jika di Makassar dan melihat orang bercipo, otomatis saya berpikir ia orang yang sudah berhaji. Entah dari mana simbol ini melekat. Tetapi percayalah, ini sudah turun-temurun dan marak dijumpai di pasar-pasar atau di sebuah mal di Makassar.
Selain cipo-cipo, gelang emas bersusun di tangan dan baju kebaya bermotif kembang dengan warna yang cerah, adalah simbol yang mudah diidentifikasi kalau ia adalah orang yang sudah berhaji--berasal dari Sulawesi Selatan. Orang akrab menyebutnya, haji dari Bugis-Makassar.
Dalam banyak video yang berseliwer di media sosial, orang-orang seperti itu banyak menunjukkan eksistensinya. Ia merasa bangga. Paling sering, komentar-komentar yang diarahkan padanya seragam.
"Dari manaki Bu Aji?"
Orang-orang yang tinggal Makassar seperti saya ini, dulu menyebut pakaian mereka, orang-orang desa itu, dengan sebutan "rompa" atau berlebihan atau norak. Perlahan saya tahu, itu adalah simbol yang unik.
Sindiran saya lalu memudar dan berubah menjadi kebanggaan. Apa pasal? Pemakainya percaya diri. Itu pilihan mereka dan tidak boleh menghakiminya bukan?
Kelak, ketika kita mulai lupa, tradisi mulai memudar karena dianggap kuno atau berlebihan; simbol orang-orang haji tak lagi bisa diidentifikasi, setidaknya tulisan ini bisa jadi titik berpijak untuk mengenang cara orang Bugis-Makassar mempertautkan hubungan sosialnya.