Etnis.id - Samin merupakan sebutan bagi keturunan para pengikut Samin Surosentiko, seorang tokoh yang mengajarkan pengetahuan kearifan lokal dan interaksi antara manusia dengan alam yakni sedulur sikep.

Masyarakat Samin dapat ditemui di dua wilayah seperti di Bojonegoro, Jawa Timur dan Blora, Jawa Tengah. Seperti di Bojonegoro, mereka tinggal di Desa Jepang, Kelurahan Margomulyo, Kecamatan Margomulyo.

Mayoritas dari mereka bermatapencaharian sebagai petani dengan menerapkan sistem pertanian yang tetap menjaga keseimbangan alam. Sebab bagi mereka, hidup berasal dari dan untuk alam.

Mereka bercocok tanam dengan tidak menggunakan bahan kimia dan membuat alat pertanian sendiri dengan cara memande. Hasilnya, cukup untuk makan sehari-hari. Mereka tak berpikir untung rugi, karena yang terpenting bagi mereka adalah sebuah rasa “cukup”.

Orang Samin hidup serba sederhana--dalam pandangan mayoritas orang kota--rumah-rumah mereka dari papan kayu, di sekelilingnya ada tegal dan sawah yang hijau dan luas. Semuanya asri, meski jalan setapaknya belum beraspal. Selain itu, mereka gemar saling membantu jika sesamanya ada yang kesulitan. Mereka tak meminta bayaran. Semuanya ikhlas berbondong-bondong menolong.

Apakah formula yang membentuk masyarakat Samin menjadi demikian. Mereka berpegang teguh pada ajaran Samin yang terdiri dari tuntunan, pepali (larangan), dan pedoman.

Ajaran itu berisi pesan moral antara lain jujur, sabar, trokal (berusaha) lan narimo (menerima dengan ikhlas akan anugerah sang pencipta), rukun (pertalian persahabatan dan persaudaraan), gotong royong (kerja sama).

Kelima tuntunan tersebut saling berintegrasi dan menjadi perekat hubungan antarsesama manusia, yang akhirnya membentuk kedamaian pada masyarakat Samin.

Sebagai pembendung sifat-sifat tercela, ada pula lima larangan mutlak dalam ajaran Samin. Seperti bersikap drengki (tindak tanduk yang jahil), srei (menjegal), dahpen (suka mencela), kemeren (iri hati), pek pinek liyan (mengambil milik orang lain tanpa ijin), dan beda sapodo padaning urip (membeda-bedakan sesama makhluk hidup). Larangan inilah yang menjauhkan masyarakat Samin dari segala bentuk kejahatan sehingga tingkat kriminalitas sangat minim di daerahnya.

Selebihnya, untuk mempertahankan konsistensi norma hidup yang arif, masyarakat Samin berpegangan teguh pada tiga pedoman, seperti pangucap, pertikel, dan kelakuan yang artinya ucapan, pikiran dan tindakan yang perlu diperhatikan. Maka dari itu, masyarakat Samin Bojonegoro senantiasa berjaga.

Meski begitu, masyarakat Samin pernah punya sejarah panjang sejak masa kolonial, setelah menyatukan barisan untuk membela negara tanpa senjata api dan hanya bermodalkan senjata sederhana.

Pada masa kini, mereka tidak lengah dengan tetap merekatkan ajaran-ajaran Samin pada kehidupan sehari-hari. Dari keindahan hidup yang berpendar dari kearifan dan kesederhaan, ambisi dan egoisme yang menjangkiti kebanyakan masyarakat modern nyaris tak dilihat.

Soal jargon yang bermunculan saat ini untuk mengampanyekan aksi peduli lingkungan hidup melawan pemanasan global seperti, “Think globally, act locally” ternyata justru telah dilakukan masyarakat Samin sejak dulu.

Mereka tidak hanya memikirkan tentang keseimbangan alam dan kerukunan hidup antarwarga saja, namun juga memikirkan kelangsungan alam untuk generasi penerus dan membantu dalam menjaga keutuhan persatuan nasional. Bagaimana bisa ajaran tersebut bertahan di era yang sudah modern ini. Karena ajaran tersebut sudah menyatu pada sistem kehidupan masyarakat Samin.

Seorang Antropolog bernama Radcliffe Brown dengan konsep fungsionalismenya, menekankan bahwa suatu kebiasaan tertentu pada nyatanya berfungsi membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat.

Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa ajaran tersebut tidak diteruskan secara paksa kepada generasi penerusnya, namun dengan cara yang alami, yakni terus menerus dilakukan sehingga ajaran tersebut tidak utopis, melainkan sudah menubuh pada diri.

Hal ini patut untuk dipercontohkan pada masyarakat lain pada umumnya, agar norma hidup gotong-royong yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, tidak hilang ditelan zaman yang semakin riuh dan hanya tertinggal menjadi sebuah kenangan dan sejarah.

Editor: Almaliki