Etnis.id - “Sedina jagong manten ping pat (sehari, kondangan tempat orang nikah itu empat kali),” demikian ucap mertua saya, sembari membawa kertas undangan pernikahan koleganya. Saat ini memang musim orang nikah.

Di tengah terpaan arus modernisasi dan budaya Islam, tak sedikit yang masih menggelar pesta pernikahan tradisional Jawa. Sebetulnya, terpancar mutiara Jawa dan kearifan lokal dalam prosesi itu.

Saya ambilkan contoh, acara pasang tarub yang digelar sebelum upacara siraman, malem midadareni dan panggih pengantin. Pranatan pernikahan Jawa mengharuskan bapak calon pengantin untuk memasang bleketepe di teras dekat pintu utama. Pantang disamakan dengan acara rapat kenegaraan atau menyambut tamu asing yang bebas main tunjuk untuk mewakili.

Kita segarkan pengetahuan Jawa yang kedinginan di laci sejarah yang pengap. Istilah “tarub” ialah kependekan dari kalimat Jawa “ditata supaya murub (bercahaya)”.

Tarub dipahami pula sebagai bangunan tambahan di sekitar rumah orang yang punya hajat mengawinkan buah hatinya. Sifat bangunan tidak permanen, setelah acara rampung, dibongkar lagi.

Daun kelapa berwarna hijau tua dianyam dalam bentuk lembaran, dipakai untuk atap bangunan tarub. Lalu, lembaran yang berjumlah banyak itu disusun menjadi atap dan dinding penyekat. Anyaman tersebut dinamakan bleketepe.

Jangan bayangkan tempo doeloe sudah muncul jasa persewaan tenda yang mewabah seperti dewasa ini. Merujuk folklor yang tertanam di perut tanah Jawa, tarub dimulai ketika Jaka Tarub hendak mengawini Dewi Nawangwulan, bidadari ayu yang dicuri selendangnya, sehingga gagal terbang ke khayangan.

Rumah orangtua Jaka Tarub berukuran kecil dan berada di tengah alas. Demi menghalau kesan angker dan ciut, lahir kreativitas lokal yakni memasang tarub dan dihiasi dedaunan (tetuwuhan) yang dipetik dari hutan terdekat, termasuk janur.

Graha Jaka Tarub terlihat megah serta mempesona berkat kepiawaian empunya rumah memanfaatkan aneka bahan dari alam. Fakta budaya ini adalah bukti keintiman manusia dengan alam.

Dinilai bagus dan bahan gampang diperoleh, tradisi kuno membuat dan memasang tarub dilanjutkan oleh masyarakat Jawa kontemporer. Busur waktu melesat cepat laksana panah Pasopati milik Arjuna. Tarub di area perkotaan Jawa tenggelam diganti tenda-tenda besar. Walau demikian, guna mengenang kecerdasan nenek moyang di masa lampau, pemasangan bleketepe secara simbolis tetap dikerjakan sebelum tenda, hiasan dedaunan dan janur kuning dipasang.

Jangan dikira janur melengkung sekadar hiasan atawa penyambut para tamu. Dalam tradisi Jawa, janur kuning merupakan akronim (jarwa dhosok) yang melambangkan keselamatan dan kedamaian.

Janur berasal dari suku kata “jan”, singkatan dari janma (manusia) dan nur (cahaya). Makna yang terbungkus, yakni orang yang memasang janur kuning mengusung tujuan suci dan memohon pencerahan tanpa putus.

Yang tak kalah menarik, pakaian pernikahan yang dipakai adalah busana basahan. Unsur busananya meliputi dodot motif alas-alasan yang bermakna dalam menjalani hidup agar selalu menjaga kemurnian atau kesucian diri.

Kain cinde memiliki arti, selama hidup tidaklah perlu mengagungkan kelebihan (sombong). Kuluk mathak dan buntal dipercaya mampu menolak bala. Kalur ulur bermakna agar terbiasa bersabar.

Berikutnya, tiba dada dan kolong keris bawang sebungkul dengan hiasan bunga mawar, bermakna usai menjalani pernikahan, harapan kelak keluarga bisa hidup berdampingan rukun dan berbagi peran biar harmonis.

Sementara bunga di kalung ulur menyimpan nasihat bahwa suami semestinya menuntun dengan baik keluarga dan lingkungannya. Lalu, gelung bokor mengkurep menyimbolkan menjadi isteri wajib berbakti terhadap suami.

Bentuk paesan yang beraneka ragam merupakan doa dari pemakainya, agar Gusti Maha Agung memberi rahmat kepada keluarga yang dimaksud dan segera mendapatkan keturunan.

Ketika memakai busana tersebut, pengantin tidak boleh memakai alas kaki (selop). Itu untuk mengingatkan, manusia ada karena empat unsur (api, air, udara, dan tanah). Semua unsur ini menyatu dalam tubuh dan manusia harus terus menyatu dengan tanah, karena unsur ini yang terbilang paling pokok dari sekian unsur.

Kalau diperhatikan dari aneka makna simbolis tadi, basahan mengandung nasihat mulia, harapan luhur, mengingatkan akan keberadaan keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa dan penghormatan kepada Sang Pencipta.

Nasihat ini memberi acuan moral kepada kedua mempelai ketika mengarungi bahtera rumah tangga dan tiada lupa menjunjung tinggi nilai luhur budaya Jawa. Juga harapan serta permohonan, agar keluarganya kelak senantiasa dilindungi oleh Sang Pencipta.

Perkawinan bukanlah dolanan (main-main) dan momentum politik untuk konsolidasi kekuatan sukarelawan. Jauh lebih utama, ialah segudang pitutur dikekalkan leluhur lewat prosesi yang bertahap itu, demi menebalkan kadar kesakralan upacara pernikahan.

Editor: Almaliki