Etnis.id - Hampir semua masyarakat tradisional di dunia memiliki mitologi tersendiri tentang hutan dan sumber daya alam. Di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Provinsi Jambi, tempat saya belajar dan bekerja dalam isu kehutanan, masyarakat adat Orang Rimba memperkenalkan Subon dan Tanoh Terban.

Tanoh Terban adalah tanah keramat yang memiliki ciri geografis berupa wilayah curam atau yang berada di tebing sungai. Tempat ini tidak dikelola oleh Orang Rimba sebab dipercayai sebagai tanah bersetan. Makanya, Orang Rimba enggan mengusiknya.

Sementara Subon ialah wilayah yang ditumbuhi oleh semak belukar hingga pohon-pohon yang besar dan biasanya berada di wilayah lembah yang diapit oleh dua bukit atau lebih. Lokasinya basah, berlumpur dan berpayau.

Subon merupakan sumber mata air untuk sungai-sungai yang lebih kecil--yang dalam bahasa Rimba disebut dengan sako. Seperti Tanoh Terban, Subon juga merupakan tempat keramat yang diyakini menjadi tempat bersemayamnya dewa-dewa Orang Rimba.

Ke arah Timur Laut sekisar 5000 kilometer dari Jambi, di Kepulauan Ryukyu, Perfektur Okinawa, Jepang, masyarakat tradisional setempat menamai tempat dewa mereka menetap dengan sebutan Utaki, yang terletak di gunung atau hutan-hutan.

Utaki juga dikeramatkan. Barulah bisa diakses jika ada perayaan-perayaan tertentu, bilamana rakyat ingin masuk untuk berdoa meminta berkah kepada para dewa. Dalam artikel The Folklore of the Sacred Forest in Okinawa, Japan (2013) Meari Hirai sempat mempertanyaan, "mengapa hutan itu dianggap sakral?".

Berdasarkan kasus hutan keramat di Okinawa, ditemukan bahwa (1) ada pohon-pohon yang berumur ratusan tahun, yang sejak berabad-abad lamanya diyakini memiliki kekuatan gaib. (2) Saat itu, banyak pendeta yang menjaga hutan suci dengan menyanyikan lagu-lagu suci, membawa persembahan dan berdoa untuk kesehatan dan kebahagiaan penduduk. Mereka mengucapkan doa yang sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, lebih dari seratus tahun.

Sekira 3.600 kilometer ke arah barat dari Okinawa, ada hutan suci Mawphlang di Bukit Khasi Timur, negara bagian Meghalaya, Republik India. Luasnya sekitar 192 hektare. Mawphlang memiliki akar sejarah yang tertanam jauh di
dalam keyakinan agama kuno setempat.

Suku Khasi yang tinggal di situ meyakini Hutan Mawphlang sebagai tempat tinggal Labasa--nama dewa mereka. Labasa biasanya mengambil bentuk macan tutul atau harimau.

Orang-orang Khasi yakin bahwa Labasa melindungi hutan dan masyarakat mereka dari pelbagai kecelakaan dan bencana. Untuk membalas budinya, agar mereka diberkahi, penduduk desa mengorbankan hewan di kuil batu yang terletak di dalam hutan.

Alison Ormsby dan Shonil A Bhagwat dalam Sacred Forests of India: A Strong Tradition of Community-Based Natural Resource Management (Cambridge University Press: 2010) mencatat, hanya ada satu aturan yang harus diikuti di Hutan Suci Mawphlang.

"Anda tidak bisa mengambil apa pun dari hutan ini, kalau tidak ingin dewa marah. Bila dewa marah, maka hukumannya untuk kejahatan semacam itu akan dilahirkan kembali sebagai landak selama ribuan tahun.”

Dari bermacam mitologi di atas, sejumlah lembaga non-pemerintah di Indonesia maupun di luar negeri, kerap menumpukan konsep-konsep yang dianut masyarakat tradisional sebagai sebuah sistem konservasi dalam program dan kampanye mereka.

Gagasan tersebut memang bernilai dalam keberpihakan terhadap masyarakat lokal
―sebagai tandingan dari praktik konservasi model Yosmite, yang diimpor oleh banyak negara dari Amerika. Akan tetapi, untuk dimaknai sebagai praktik konservasi yang sesuai dengan maksud dan tujuannya, masih bisa disangsikan.

Sebelum jauh membicarakan praktik konservasi, lebih baik kita memahami preservasi dulu. Sebab konflik kerap terjadi pada praktik konservasi di banyak tempat, dikarenakan kekeliruan dalam memahami kedua istilah tersebut.

Konservasi dan preservasi sering digunakan secara bergantian, tetapi kata-kata itu menyiratkan tindakan yang sangat berbeda. Konservasi mencari penggunaan yang tepat dari alam, sementara preservasi mencari perlindungan alam dari penggunaan.

Konservasi membuka peluang pemanfaatan sumber daya alam, namun dengan limitasi yang dimaksudkan agar pemanfaatan sumber daya alam tidak menghabisi objek yang dimanfaatkan tersebut sampai menjadi punah. Berkaca dari contoh itu, konsep hutan keramat lebih condong ke preservasi.

Sementara sifat tradisonal dari masyarakat adat lebih sepadan dimaknai sebagai tindakan konservasi sumber daya alam. Dalam praktik tradisionalnya, mereka tetap mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi tidak mengeksploitasi secara habis-habisan.

Yang kutemui pada Orang Rimba, banyak tradisi yang hidup dalam diri mereka yang bernilai konservasi. Contohnya, membakar lahan untuk perladangan boleh dilakukan, namun berbeda dengan pembakaran lahan besar-besaran yang dalam beberapa tahun terakhir marak terjadi di Provinsi Jambi.

Secara teknis, dalam falsafah hidup (soloko) Orang Rimba, disebut sehari beik yakni sehari buruk--waktu di mana cuaca hujan dan panas bergantian. Jika terjadi, bantuan api untuk membuka lahan dapat dipakai. Namun, tidak sembarangan juga yang bisa melakukannya. Dibutuhkan dukun api--orang dengan kemampuan yang sulit dijelaskan tapi dipercayai dapat membuat api tersebut terkendali dan tidak membawa bencana.

Bagiku, sifat tradisional dari masyarakat adat tidak menuntut banyak hal. Pembukaan lahan tetap ada dalam gagasan perladangan yang hasilnya nanti digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak punya bayangan tentang industri perkebunan dengan tuntutan lahan yang luas--beserta asap-asap yang menyebar juga, jika pembakaran lahannya dilakukan secara besar-besaran hingga berdampak buruk bagi sekitar.

Dalam kasus lain, ada Kotaro Kojima, Antropolog Jepang, yang meneliti perburuan ikan paus selama dua puluh lima tahun di Desa Lamalera, dalam Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kotaro meneliti sejak tahun 1993 dan menemukan fakta bahwa dalam lima puluh tahun terakhir, perburuan tradisional masyarakat lokal Lamalera telah mengambil 1.000 ekor atau rata-rata 20 ekor ikan paus per tahun dari laut. Bandingkan dengan perburuan paus pada zaman revolusi industri.

Saat itu, ikan paus diambil minyaknya (spermaceti). Sebelum ditemukan minyak bumi dan listrik, cairan spermaceti yang terletak di bagian kepala jenis paus sperma (Physeter Macrocephalus) digunakan sebagai minyak lampu untuk menerangi rumah dan jalanan umum.

Bagi paus, spermaceti berfungsi sebagai sonar atau sistem penglihatan dari pantulan suara. Setelah mesin uap ditemukan, spermaceti digunakan sebagai pelumas mesin hingga mobil. Minyak pauslah yang melumasi revolusi industri di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan 19. Tak heran jika pada masa itu, jumlah paus yang dibunuh sekiranya mencapai 200 ribu ekor atau 2000 ekor per tahun.

Bisa disimpulkan bahwa perburuan tradisional di Lamalera memiliki nilai pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara bijaksana. Pertama, mereka mengambil dengan amat sedikit dibanding perburuan ikan paus untuk kebutuhan industri pada abad ke-19.

Kedua, masyarakat Lamalera mempraktikkan sistem jaminan sosial dari praktik memburu paus. Dengan berat rata-rata 30 ton, seekor paus sperma dapat menghidupi banyak mulut. Termasuk para lansia, janda dan anak yatim.

Jika masyarakat setempat konsisten dengan tujuan preservasi dan konservasi, dalam mengelola sumber daya alamnya, maka alangkah idealnya kehidupan mereka di tengah semakin terkikisnya kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.

Editor: Almaliki