Etnis.id - Kalau nama Pallubasa Serigala dan Pallubasa Onta sudah masyhur di kalangan pelancong dan warga Makassar, maka saya mencoba mengenalkan satu nama lagi warung favorit saya.

Apa alasannya? Tak elok cuma tahu sisi kuliner Makassar yang cuma itu-itu saja. Jika Anda wisatawan dan ke Makassar, yang dipikiran cuma ada makan dan makan. Menyayangi berat badan hampir pasti Anda lupakan. Percayalah. Saya, perantau yang tahun lalu pulang sekali, seperti kesetanan mencoba makan ini dan itu di kampung halaman.

Omong-omong, secara tak sengaja, dulunya, saya dikenalkan teman dengan warung Pallubasa Gila. Saya tertarik dan bertanya, tempatnya di mana? Ia bilang ikut saja. Sebelum berangkat, saya bertanya lagi tentang rasanya. Toh, jika standar-standar saja, lebih baik saya mencari warung makan lain.

"Bah, enakji. Murah juga. Bisalah bikinko kenyang. Tojenga (percayalah)."

Namanya unik juga. Kawanku menamakan warung itu dengan Pallubasa Gila, sebab gerobak pallubasa yang akan kita tuju berhadapan dengan Rumah Sakit Jiwa Dadi, tepat di ujung Jl. Rusa.

"Aneh-aneh tong kau nukasih nama itu warunga, anu! (Aneh-aneh saja kau namai warung itu)."

"Ih, ka memang begitu nakasih nama orang. Depannya Rumah Sakit Dadi toh. (Memang namanya begitu, karena depan RSJ Dadi)."

Saya mendesaknya dengan pertanyaan lagi karena rasa penasaran yang tinggi. Bagaimana kuahnya? Dagingnya dipotong seperti apa? Ramaikah orang makan di sana? Tempatnya makannya seperti apa?

Kawan saya itu, Ime namanya, mengaku kalau kuahnya lezat. Tidak sekental yang ada di dua warung pallubasa yang sering orang jadikan tempat favorit di Makassar. Warna kuahnya juga lain. Begitu. Potongan dagingnya juga tak sebesar isi Pallubasa Onta dan Serigala. Tapi, tidak kecil-kecil amat. Seporsi cukup untuk mengenyangkan perut yang sudah keroncongan hebat.

"Soal ramai, ya ramai. Lihatmko saja nanti deh."

Jauh setelah kami makan, muncul sebutan lain untuk Pallubasa Gila. Orang-orang menyebutnya Pallusa Rusa, ada juga yang menyebut Pallubasa Kalah Ganti. Mengapa? Sebab, saat makan usai, posisi kita langsung digantikan orang yang mengantre di belakang.

Kembali ke persoalan. Akhirnya kami sampai di Pallubasa Gila. Suasana sudah ramai. Gerobak pallubasanya, yang kira-kira lebarnya tiga langkah orang dewasa dengan tinggi 180-an senti, sudah dikerubungi orang-orang kelaparan.

Walau tempatnya kecil dan terkesan "gak banget", pengunjung yang datang di Pallubasa Gila bisa dari kalangan orang kecil, menengah ke atas dan tajir melintir. Banyak mobil mewah biasanya menepi di sana.

Saya bahagia benar melihat kondisi warung itu. Antrean panjang untuk mendapatkan sepiring makanan bikin saya berpikir, kalau bumbu dari semangkuk Pallubasa Gila tidaklah buruk jika dibandingkan dengan harganya yang terjangkau.

Saya mengantre dan butuh beberapa waktu akhirnya bisa melongoki orang-orang yang makan dengan lahap. Kulihati panci pallubasa yang dibuka-tutup tukang masak menyemburkan asap. Lelaki yang berkeringat di dahinya, yang berhadapan dengan sepiring nasi, menuang kuah dari mangkuk pallubasanya. Giginya bunyi saat makan. Suara gesekan sendok dan piring terdengar merdu.

Perasaan saya campur aduk. Lidah saya sudah tak sabar mencicipi Pallubasa Gila. "Lihat, banyak orang berdiri antre di belakang orang yang makan, demi semangkuk pallubasa," ujar Ime.

Orang-orang yang makan seperti diawasi dari belakang. Makannya pun harus cepat-cepat, tak boleh bersantai, sebab yang lainnya juga mau makan. Tak enak tak segera menuntaskan hasrat lapar seseorang. Hanya ada tiga bangku panjang yang disiapkan soalnya.

Dua resbang berada di samping kiri dan kanan gerobak, satunya berada di depan gerobak. Setiap bangku, sekiranya bisa diduduki enam sampai lima orang dewasa dengan berat 70-an kilogram.

Soal kalah ganti itu, kuceritakan sedikit biar kalian paham. Saat nasi habis, kita haruslah segera berdiri dan membayar dengan cepat kepada tukang masak. Jika tidak, orang di belakang kita bisa menggerutu. Begitu pola makan yang kulihat di sana.

Tiba giliranku duduk. Saya ditanyai oleh tukang masak, apakah saya akan memesan daging saja, jantung dan hati atau bagian lain dari sapi? "Saya pesan jantung hati dan air dingin." Si tukang masak mengangguk. Awalnya saya ingin memesan limpa to', namun ia tak menyediakannya.

Rasa-rasanya, di tanah rantau sekarang, saya rindu melihat si tukang masak itu membuka bakul kayu yang besar berisi nasi dan menyendok serta menuangkan nasi hangat ke piring porselen miliknya. Semenyedihkan itu ternyata saat di rantau dan dirimu tak bisa mengunyah makanan yang dulunya bisa tiap pekan kau suap masuk ke mulutmu.

Saya masih ingat betul tekstur nasinya, sebab menulis ini, saya dalam keadaan lapar. Nasinya, tidak lembut atau lembek seperti nasi-nasi yang banyak dijumpai di restoran cepat saji. Nasinya agak keras, tapi mengenyangkan. Makin saya ingat, saya semakin rindu dengan Makassar.

Semangkuk pallubasa kini hadir di depanku. Kuhirup baunya. Harum dan memantik selera makan memang. Warna kuahnya hitam, barangkali bumbunya keluak, sama seperti yang dipakai sewaktu menghitamkan rawon.

Ada sedikit kelapa goreng di atasnya. Dengan tak sabar, kuambil dua sendok lombok tumis yang sudah disiapkan dan kucampur di kuah. Pallubasa kuaduk perlahan hingga warna kuahnya memerah dan tampak berminyak. Saya mencicip kuahnya terlebih dahulu. Pas. Lidahku didominasi rasa pedas, gurih dan asin. Bumbunya kutaksir pakai kayu manis.

Tiga sendok kuah ikut serta potongan jantung dan hati sapi, kutumpahkan ke nasi. Saya makan dengan lahap. Tak butuh waktu lama saya juga berkeringat, persis seperti pengunjung yang kulihat sebelumnya. Benar-benar nikmat. Assauna.

Saat jantung dan hatinya kugigit, memang tidak seperti kelembutan yang ada dalam isi pallubasa yang sudah punya nama mentereng di Makassar. Mungkin saja tingkat kematangannya berbeda.

Tetapi itu tak jadi soal. Kenikmatan dalam semangkuk Pallubasa Gila cukup memuaskan saya yang senang dengan makanan enak dan harga yang terjangkau.

Pada akhirnya, kita semua hanya bisa kembali ke rasa dan sensasi sebuah warung kecil-kecilan dan ramai pengunjung. Bentuk-bentuk kemegahan rumah makan dipikir belakangan. Apakah Anda begitu?