Etnis.id - Sejak dulu, cangkir sudah menjadi simbol norma serta kesopanan dan membentuk kelas sosial dengan sendirinya. Misal, kita tak memakai cangkir dalam menyuguhkan minuman kepada tamu, bisa dibilang itu hal yang tabu dilakukan.

Di rumah saya, ada banyak cangkir dengan pelbagai macam motif. Ada yang berasal dari keramik, juga porselen. Yang keramik, kebanyakan berwarna krem dengan tatahan bermotif lukisan. Sementara cangkir dari porselen lebih banyak bertuliskan merk susu atau perusahaan tertentu.

Asal tahu saja, cangkir berasal dari keramik. Sementara keramik, merupakan bentuk aktivitas dan sekaligus produk kebudayaan yang paling tua. Tercatat dalam beberapa literer, metode pembuatan keramik konon dibawa oleh bangsa Austronesia dan China Selatan pada zaman prasejarah.

Sederhananya, dalam penelitian G.  Nelson yang dibukukan dengan judul Ceramics, tertulis bahwa  suatu kenyataan yang ada pada benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik, tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman. Barangkali dari peradaban itulah, pada rumah-rumah gedongan, kita sering melihat guci besar dengan harga jutaan bahkan puluhan juta rupiah.

Dikapitalisasinya itu semua didasari atas nama karya seni atau embel-embel warisan ini dan itu yang tak jelas akar sejarahnya. Coba carilah bagaimana maraknya jual-beli keramik palsu dan berapa orang yang sudah kena tipu. Bukan puluhan atau ratusan ribu yang melayang, melainkan jutaan sampai puluhan juta.

Ekonomi keluargaku memang pas-pasan. Rumahku di Makassar, dibuat dari kayu. Setengahnya dari batu merah. Kayunya banyak yang lapuk. Di beberapa tempat, semennya banyak yang terkupas karena banjir. Tetapi entah mengapa, ibu selalu menganggap semiskin-miskinnya beliau, dia harus punya cangkir dan peralatan dapur yang bagus. Bukan rumah yang berlantai marmer, bukan juga kamar mandi dengan bathup tempat para model biasanya berendam dan menyabuni dirinya.

Dulu, jika punya uang lebih, ibu selalu membeli cangkir di kreditur yang gemar keliling kampung. Cirinya, ia memakai tas pinggang yang diisi satu buku nota kecil serta beberapa lembar uang.

Pernah sekali, saya membawa teman ke rumah. Tahulah ibuku, ia tak enak hati jika tak memberi minum jika temanku itu duduk lama di beranda rumah sembari bercerita dan merokok. Saya tinggal bersama dua orang adik. Seorang dari mereka lalu disuruh untuk memasak air untuk segelas kopi.

"Masakko dulu itu air, ada temannya kakakmu." Adik saya mengangguk.

Adik saya, yang saat itu kira-kira baru berumur 20 atau 22 tahun, mengambil satu gelas kaca bening biasa yang dipakai oleh keluargaku untuk minum sehari-hari. Minum apa saja, air putih misalnya.

Air sudah masak. Kopi sasetan sudah dituangnya ke gelas. Ia membawa gelas itu tanpa pengalas dan langsung diberikan ke temanku di atas meja bertaplak hijau bermotif kembang-kembang. Ibu yang melihat sikap adikku itu langsung menegurnya.

"Eh, kenapa tidak pakai cangkir kaubawakan itu temannya kakakmu?" terang Ibuku dengan dialek Makassar. Adikku langsung nyelonong saja. Sudah telanjur. Menarik gelasnya juga tak baik. Minuman sudah tersaji.

Adikku barangkali lupa kebiasannya di kampung, di rumah nenek di Desa Kassi, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beberapa tahun lalu, saya masih melihatnya membawa cangkir berisi teh di atas nampan untuk menyimpan kacang atau kue-kue kering untuk diberi pada tamu.

Wedang ronde di Jogja dalam mangkuk keramik/ETNIS/Billy Chermutto

Tanpa dua kejadian itu, saya kira takkan ada tulisan ini. Keduanya membuat saya banyak belajar tentang bagaimana perlakuan-perlakuan sederhana yang bernilai besar di desa. Setidaknya bagi saya pribadi.

Kehidupan di kota, kebanyakan, mengarahkan kita untuk terus merogoh duit agar disuguhi secangkir kopi dan teh. Itu tanda bahwa pembeli harus dihormati dengan empunya kedai. Para pemilik kedai memberi standardisasi dalam hal pemilihan cangkir kopi.

Dalam sebuah jurnal yang ditulis Dimas Yanuar Langgeng dkk, yang berjudul Pengaruh Warna Cangkir Terhadap Persepsi Cita Rasa Teh, saya membuat satu kesimpulan kecil pribadi bahwa warna cangkir memang memengaruhi perasaan saat meminum kopi atau teh.

Intinya, kemasan yang terancang dengan baik dapat menambah nilai kenyamanan terhadap konsumen dan meningkatkan nilai promosi bagi produsen. Bahkan pengemasan masuk dalam lima hal penting dalam pemasaran yakni harga, produk, tempat dan promosi. Sesuai dengan teori Kotler dalam Manajemen Pemasaran.

Itu untuk para pedagang. Bagaimana untuk empu rumah kepada tamunya. Saya rasa, ia lebih dari perhitungan untung-rugi. Di Makassar, mayoritas orang-orang gemar menjamu tamu dari jauh. Jika tak percaya, datanglah ke sana baik-baik.

Saya menulis ulang satu wawancara lampau dengan seorang suporter PSM Makassar. Namanya Sul Dg Kulle, ia Presiden Red Gank. Kelompok suporternya, jika tahu ada suporter lain bertandang ke Makassar, maka sebisa mungkin mereka harus 'menculiknya' untuk sekadar dibawa jalan-jalan.

"Sederhana sekali sebenarnya. Kita mau orang paham, kalau kita semua bisa saling membangun komunikasi yang baik antarsesama lewat segelas kopi atau piring makan. Servis seperti itu yang paling gampang diingat."

"Dan nanti, jika mereka kembali ke kampungnya, kami ingin mereka cerita keramahan kami. Tidak bosan-bosan datang pada kami untuk berkomunikasi dan menjalin keakraban serta persaudaraan. Itu intinya."

Sama seperti Sul. Saya harus memberikan servis sederhana yang nilainya besar lewat cangkir yang saya punya. Lewat teori dagang, soal kemasan, saya kira perlu dipraktikkan lagi tradisi yang terlupa di antara kita semua.

Membuat tamu pulang dengan wajah berseri-seri karena diperlakukan bak raja di rumah, bisa menimbulkan persepsi yang baik di kepalanya. Jujur, jika tamu betah di rumah dan misal datang sebulan sekali atau sesering mungkin, itu sebuah kehormatan bagi saya.

Tidak hanya itu, kita harus mengingat cara meminum kopi dari alas cangkir yang kian hari kian jarang dilakukan. Apakah Anda ingat? Jika tidak, atau Anda tak pernah melakukannya sama sekali, maka akan saya jelaskan sedikit.

Sewaktu kecil, orangtua saya mengajarkan saya untuk minum teh dalam keadaan hangat. Sayangnya, saat gelasnya datang, saya merasa sajian itu masih panas. Jika begitu, orangtua saya dengan cekatan menuangkan tehnya di alas cangkir yang cekung seperti mangkuk.

Saya lalu disuruh untuk menunggunya beberapa detik lalu meminumnya. Lebih banyak tak ditiup. Benarlah. Panasnya teh dalam cangkir, saat dipindahkan ke alasnya, menjadi berkurang. Kita jadi lebih menikmati rasa dan aroma teh tanpa takut lidah terasa seperti terbakar. Namanya juga anak kecil.

Asal tahu saja, dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Cancer, para ilmuwan tak menyarankan untuk meminum sesuat saat suhunya masih panas. Sebab, ada potensi, kita bisa terkena kanker kerongkongan.

"Minum teh yang sangat panas dapat meningkatkan risiko kanker kerongkongan," ucap Dr Farhad Islami, Periset dari American Cancer Society.

Soal kanker kerongkongan atau tidak, hal itu bisa diperdebatkan, mengingat kasus itu belum banyak terjadi akibat minum minuman yang panasnya di atas standar. Tetapi, kita bisa merasa bagaimana tenggorokan dan kerongkongan kita saat air panas mengalir di dalamnya. Perih dan seakan-akan ingin menumpahkan minuman yang kita minum.

Belum lagi potensi kita setelah meminum itu dan menggantinya dengan minuman dingin untuk memperbaiki sensasi yang kurang baik dirasa secara terburu-buru. Jika begitu, gigi akan rusak dengan cepat. Saya menyimpulkan itu, sebab itu kesalahan yang saya lakukan berulang-ulang. Gigi saya banyak yang rontok di usia muda. Sialan benar, bukan?

Sampai sekarang saya belum tahu, bagaimana ritual itu dijalankan di Indonesia. Saya pun mencoba untuk mencari sejarahnya. Yang ada, hanya sejarah cangkir yang terang. Cara minumnya masih samar-samar. Meski begitu, pada leluhur kita harus berterima kasih.