Seusai menempuh jarak sekitar 57-an kilometer, saya dan beberapa rekan akhirnya sampai di sebuah kedai kopi. Tempat itu berada di lembah yang agak curam. Rindang, tenang, hawa pegunungan yang menyejukan, serta nuansa magis sungguh-sungguh terasa. Baru menikmati suasana itu, rekan saya bertanya hal yang membuat gusar, “awakdewe mau arahe ngalor kok yo?” (kita tadi arah jalannya ke utara kok ya?”. Dengan raut bingung, ia memandang ke arahku.

Peristiwa tersebut sebenarnya biasa-biasa saja, namun bagi saya pertanyaannya cukup menarik. Seringkali, pertanyaan ihwal arah mata angin menjadi sebuah pembuka dari repertoar perbincangan yang akan terjadi. Bukan saja pada peristiwa di kedai kopi, melainkan di berbagai perbincangan.

Arah mata angin kiranya bukan sesuatu yang asing. Ia senantiasa berkelindan dalam kehidupan. Ia memberi keterangan tentang muasal dan muara siklus hadir dan tenggelamnya matahari, memudahkan perjalanan di tempat yang jauh, menunjukkan arah jalan pulang, dan lain sebagainya. Arah mata angin mewujud sebuah manfaat dalam kehidupan manusia.

Kedekatan itu menjadikannya sebuah kelaziman, kala ia diletakkan sebagai pembuka sebuah perbincangan. Namun, denyut arah mata angin lebih terasa tatkala dibaca dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pasalnya, arah mata angin bukan saja sebuah penunjuk. Ia melampaui kodrat itu.

Di Jawa, arah mata angin ibarat denyut nadi yang ada di dalam tubuh masyarakatnya. Ia tidak tertepikan. Menemani masyarakat Jawa dalam melakoni kehidupannya.

Kisah-kisah Kultural

Salah satu hal yang mengejawantahkan arah mata angin bagi masyarakat Jawa ialah dengan membacanya dari kisah-kisah yang hidup di dalam masyarakat. Kisah pertama ialah arah hadap rumah. Hingga kini, saya masih menyaksikan jajaran rumah di desa-desa yang menghadap ke selatan.

Kendati masih ada yang menghadap ke barat ataupun timur, namun arah selatan dan utara lebih mendominasi. Agaknya, arah selatan atau utara menjadi sebuah arah kultural yang dianggap ideal dalam membangun rumah.

Kisah ke dua ialah arah yang menjadi pantangan. Di Jawa, ada sebuah keyakinan bahwa seorang laki-laki pantang mencari pasangan dengan arah rumah ngalor-ngulon (barat laut). Sebaliknya, bagi perempuan tidak diperbolehkan mencari pasangan dengan arah ngidul-ngetan (tenggara).

Arah tersebut diyakini tidak membuat mujur. Kala pantangan tersebut dilanggar, pernikahan yang dilakukan akan menemui kesialan, ketidakbahagiaan, penuh derai air mata, rezeki tidak lancar, serta dampak buruk lainnya. Kendati demikian, terdapat ritus yang dilakukan untuk menyiasati kondisi itu. Artinya, agar pasangan dengan arah yang dipantangkan tersebut tetap dapat menikah.

Kisah ke tiga ialah arah sebagai penuntun hidup. Dalam tradisi Jawa, ada sebuah perhitungan arah yang ditujukan untuk menjelaskan arah yang baik dan yang buruk. Biasanya, perhitungan ini dilakukan sebelum menunaikan suatu aktivitas.

Apabila arah yang diperoleh dalam perhitungan telag sesuai, maka aktivitas tersebut baik untuk dilakukan. Sebaliknya, jika perhitungan yang diperoleh ternyata buruk, maka lebih baik mengurungkan aktivitas yang ingin dilakukan. Perhitungan tersebut lazim disebut dengan naga dino (naga hari).

Kisah keempat ialah arah sebagai metonimi. Seringkali masyarakat Jawa menempatkan arah mata angin bukan dalam arti harfiahnya. Arah tersebut memikul suatu beban, entah itu pekerjaan, tempat, ataupun aktivitas lainnya. Misalnya, “aku ameh ngetan ndhisik” (aku hendak ke timur dulu).

Arah tersebut memanglah menerangkan seseorang hendak menuju ke arah timur, namun arti yang sebenarnya bukan saja tentang arah timur. Biasanya, ia mengejawantahkan suatu tempat ataupun aktivitas. Sehingga, artian “ngetan” ialah pergi ke tempat atau melakukan aktivitas yang tempatnya sebelah timur.

Siratan yang Terkandung

Seringkali, kehidupan masyarakat Jawa bertaut dengan lini-lini yang filosofis. Segala hal mengejawantah dalam siratan makna yang perlu dibaca lebih rinci. Arah mata angin tidak luput dari lini filosofis tersebut. Endraswara (2006) dalam Zulaicha (2019:480) menyatakan bahwa arah mata angin menjadi bagian filosofis hidup masyarakat Jawa yang mana masyarakat Jawa memaknainya sebagai pemberian dari Tuhan kepada manusia agar manusia tidak salah jalan”.

Sisi filosofis ini dapat dilihat dari pemaknaan arah mata angin sebagai manifestasi dari kiblat papat lima pancer, empat sudut dengan satu di pusat sebagai yang ke lima. Arah timur (etan) menjadi simbol dari kawah (saudara kandung), kulon (barat) menjadi simbol dari plasenta, lor (utara) menjadi simbol dari ari-ari, kidul (selatan) menjadi simbol dari darah, serta yang ke lima yakni tengah yang melambangkan diri sendiri.

Sedangkan kepercayaan yang melandasi arah hadap rumah dalam masyarakat Jawa adalah arah kultural yang ideal, yaitu utara ataupun selatan. Menurut Frick (2010:84-85) dalam Cahyani, dkk. (2015:57), “orientasi rumah masyarakat Jawa umumnya memakai sumbu kosmis utara-selatan, sedangkan timur-barat adalah sumbu kosmis milik bangsawan dan keraton yang harus dibedakan”. Hal tersebut kiranya bertaut dengan sisi historis yang sudah ada di masa lampau.

Jejak Hindu di tanah Jawa begitu kental. Ajaran agama Hindu telah terakulturasi dengan kebudayaan Jawa. Potret seperti ritus wiwit, AUM tandur-panen, mendhak tirta, dan lain sebagainya kiranya menandai akulturasi itu. Dalam hal ini, termasuk penggunaan arah mata angin dalam laku hidup masyarakat Jawa.

Dalam kepercayaan Hindu, terdapat ajaran “Senjata Nawa Sanga” atau sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin. Misalnya Dewa Wisnu sebagai penguasa utara, Dewa Iswara penguasa timur, dan seterusnya. Pada setiap arah ini terdapat masing-masing senjata, warna, serta angka. Penggunaan arah dalam kehidupan masyarakat Jawa, berkaitan dengan keberadaan tersebut, seperti naga dina, arah kultural dari rumah, dan lain sebagainya.

Denyut Kehidupan

Dalam perjalanannya, masyarakat Jawa seringkali mengejawantahkan banyak hal melalui berbagai siratan. Ia rumit sekaligus sukar dibaca. Perlu pembacaan yang lebih teliti, rinci, dan detail untuk menguak maksud-maksud yang tersirat itu.

Arah mata angin menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji. Ikhtiar untuk menguak kedekatan arah mata angin dengan masyarakat Jawa kiranya dapat dilakukan dengan membaca kisah-kisah serta kebiasaan yang lekat dalam keseharian masyarakat Jawa.

Kisah-kisah di atas memberi kedekatan antara masa kini dan masa lampau. Jika dicerna kembali, arah bagi masyarakat Jawa bukan saja berwujud arah dalam arti harfiah. Arah menjadi katalisator bagi masyarakat Jawa dalam berkehidupan. Ia mewujud sebuah aturan, rumusan, terbekukan menjadi sebuah nama, bahkan memikul beban.

Atas dasar hal itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan arah mata angin bagi masyarakat Jawa ialah sebuah denyut yang tidak bisa ditepikan. Ia terus berdetak dan senantiasa menyertai kehidupan masyarakat Jawa.

Penyunting: Nadya Gadzali