Kali ini saya bertolak ke kawasan Gunungkidul. Petugas homestay tempat saya menginap di Yogyakarta menginformasikan bahwa di Pantai Ngobaran—salah satu pantai di gugus kawasan wisata pesisir Gunungkidul—tersimpan jejak multikultur dan legenda pamoksaan raja terakhir Majapahit.

Toponimi "ngobaran" berasal dari cerita rakyat tentang lenyapnya penguasa terakhir Majapahit yang moksa di balik kobaran api. Legenda ini bermula dari pertarungan batin Prabu Brawijaya V yang menolak diIslamkan oleh putranya, Raden Patah, raja Demak pertama.

Kendati enggan menjadi mualaf, Prabu Brawijaya V bersikukuh tak ingin bertikai dengan putranya sendiri. Bersama kedua istrinya, Bondan Surati dan Dewi Lowati, sang prabu kemudian melarikan diri ke sebuah tempat terpencil di pesisir pantai selatan Yogyakarta dan menggelar upacara moksa. Lokasi pelarian penguasa terakhir Majapahit itu ditengarai sebagai Pantai Ngobaran yang kita ketahui saat ini.

Berdasarkan sastra lisan yang berkembang di masyarakat, peristiwa bakar diri yang dilakukan oleh Prabu Brawijaya V semata-mata untuk mengelabui Raden Patah. Sesungguhnya pemimpin Majapahit terakhir itu tak meninggal, melainkan moksa.

Lokasi Pantai Ngobaran

Terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kecamatan Gunungkidul—Pantai Ngobaran dapat ditempuh selama kurang lebih 1.5 jam berkendara dari pusat Kota Yogyakarta, jaraknya sekitar 55 kilometer dari Tugu.

Lahan tandus dengan perbukitan karang di sisi kiri dan kanan jalan, membuat perjalanan ke Pantai Ngobaran sedikit mendebarkan. Imajinasi seketika melanglang ke kala Miosen, periode geologi purba ribuan tahun lalu.

Temuan fosil hewan laut purba dan topografi Pegunungan Kidul yang terbentuk dari batuan gamping, mendukung anggapan bahwa kawasan ini dahulu merupakan dasar laut, jauh sebelum guncangan tektonik dan vulkanik mengubah kawasan Gunungkidul menjadi sebuah daratan.

Setelah melintasi Jalan Raya Panggang-Wonosari, kontur jalan menjadi sedikit berliku. Sejumlah destinasi wisata selain Pantai Ngobaran, tertulis di papan petunjuk. Gunungkidul memang menawarkan gugus kawasan wisata pesisir. Di antaranya, Pantai Nglambor, Pantai Ngrenehan, Pantai Baron, dan primadona wisata bahari Gunungkidul, Pantai Indrayanti.

Di sebelah barat Pantai Ngobaran, sederet destinasi wisata pantai di Kabupaten Bantul masih tak tertandingi popularitasnya. Pantai Parangkusumo salah satunya, pantai selatan yang diyakini sebagai pintu gerbang gaib istana laut kidul yang ramai dikunjungi wisatawan saat pelaksanaan upacara adat Labuhan.

Pelinggihan di Pura Segara Wukir

Sesampainya di pintu masuk Pantai Ngobaran, sebuah bangunan pura di tebing pantai membuat saya silap tengah berada di Gunungkidul. Pantas saja Pantai Ngobaran disebut-sebut "Jogja rasa Bali". Sebab, arsitektur dan ornamen satu-satunya bangunan pura segara (pura tepi pantai) di Daerah Istimewa Yogyakarta ini memang memberi nuansa pesisir Pulau Dewata.

Belum lama ini, pujawali atau odalan ketiga Pura Segara Wukir dilaksanakan pada Purnama Karo atau purnama kedua menurut sistem penanggalan Bali. Jatuh pada bulan Agustus 2022, bertepatan dengan prosesi upacara Ngenteg Linggih.

Pujawali yang merupakan peringatan hari lahir tempat peribadatan umat Hindu, dipilih sebagai hari yang tepat untuk melinggihkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya dalam bangunan suci. Dalam tradisi Hindu, sifat parawidya (tak terjangkau) dari Tuhan, perlu dinyatakan dalam aparawidya (konkretisasi) sebagai wujud berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui pelaksanaan ngenteg linggih.

Dikutip dari Tribun Bali, di dalam bangunan Pura Segara Wukir yang didirikan seluas 20 x 60 meter, sejumlah pelinggih turut distanakan, yaitu: pelinggih Padmasana, pelinggih pemujaan untuk Hyang Baruna, pelinggih pemujaan Nyi Roro Kidul, pelinggih untuk Prabu Brawijaya V, pelinggih Ratu Gede Mecaling, dan pelinggih Semar, sang pengayom tanah Jawa.

Jika diperhatikan, pelinggih yang terdapat di Pura Segara Wukir terkait langsung dengan sumbu kosmis laut selatan dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, serta memiliki pertautan dengan sejarah terbentuknya legenda Pantai Ngobaran.

Pura Segara Wukir adalah pura milik Keraton Ngayogyakarta yang masih digunakan sebagai tempat peribadatan umat Hindu, terutama yang bermukim di Gunungkidul. Pura ini ramai dikunjungi pada gelaran upacara Melasti jelang Hari Raya Nyepi dan upacara Galungan saat bulan purnama.

Dahulu, pengampu Pura Segara Wukir adalah para Kejawen. Namun, pada tahun 1960, pemerintah mengharuskan penganut aliran kepercayaan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Kedekatan antara Kejawen dan tradisi Hindu membuat keduanya terintegrasi dalam spiritualitas Hindu-Jawa.

Lambang persatuan masyarakat majemuk

Hargo Dalem, salah satu puncak Gunung Lawu diyakini sebagai lokasi pamoksaan Prabu Brawijaya V. Bahkan pengayom tanah Jawa, Sabdo Palon, mengikuti jejak sang prabu untuk moksa di Hargo Dumiling. Kisah ini bertentangan dengan legenda Pantai Ngobaran yang dinisbat sebagai lokasi pamoksaan Prabu Brawijaya V.

Perlu studi kepustakaan lebih lanjut mengenai hal ini. Namun, terlepas dari peristiwa meditasi terakhir sang raja Majapahit, pesona Pantai Ngobaran sesungguhnya terletak pada kelindan antara kehidupan pesisir dan kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.

Jejak multikultur pada bangunan musala tak jauh dari Pura Segara Wukir, tempat peribadatan aliran Kejawan, dan praktik Kejawen yang dilaksanakan setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon—menjadikan Pantai Ngobaran serupa cawan lebur yang mempersatukan masyarakat Yogyakarta dalam semangat toleransi dan kerukunan umat beragama.

Mihrab tempat peribadatan umat Islam di Pantai Ngobaran menghadap ke laut lepas (selatan)/Nadya Gadzali

Mimbar musala menghadap ke selatan adalah satu dari sekian banyak keunikan yang terdapat di Pantai Ngobaran. Sebagaimana arah kiblat, Islam telah menetapkan aturan yang seragam bagi umatnya di seluruh dunia, yakni salat menghadap ke bangunan suci Ka'bah yang berada di Masjidil Haram. Bagi muslim di Indonesia, patokan arah kiblat menghadap ke sekitar barat laut atau titik terbenamnya matahari.

Sementara di Pantai Ngobaran, mihrab atau mimbar imam dibangun menghadap ke laut lepas. Legenda setempat menunjukkan bahwa bangunan ini merupakan wujud sinkretisme aliran Kejawan yang diilhami oleh Bondan Kejawan, putra Prabu Brawijaya V dan pengaruh ajaran Islam. Namun, pengunjung tak perlu khawatir, sebab di musala ini juga terdapat petunjuk arah kiblat yang sesuai dengan syariat Islam.

Perpaduan air asin dan air tawar

Saat laut sedang surut, pengunjung dapat berswafoto di atas batuan karang. Mereka berpijak di atas hamparan alga yang tumbuh di atasnya. Siang hari adalah waktu yang tepat untuk beraktivitas di tepi pantai.

Sejumlah warga pun tampak mendekat ke arah batuan karang. Mereka hendak berburu aneka biota laut. Khususnya, kerang dan landak laut. Dua kekayaan hayati yang menjadi potensi kuliner di Pantai Ngobaran.

Sekilas, tak ada yang berbeda. Suasana seperti ini lazim ditemui di daerah pesisir. Tetapi jika menilik lebih dekat ke sela-sela batuan karang, di sana akan tampak keunikan Pantai Ngobaran berupa mata air tawar yang berasal dari Lepasan Air Tanah Bawah Laut (LATBL).

Sumber mata air tawar di tepi Pantai Ngobaran/Nadya Gadzali

Tak semua wilayah pesisir menyimpan kekayaan sumber daya alam hidrogeokimia lepasan air tanah. Pasalnya, LATBL merupakan sistem aliran air bawah tanah yang dominan di daerah karst, sebagaimana yang terdapat di wilayah Gunungkidul. Airnya tampak jernih meski kontaminasi kandungan garam dari air laut menjadikannya sedikit payau.

Dalam penelitian Adelide Asriati Sekal, mahasiswa fakultas Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, terungkap bahwa lepasan air tanah di Pantai Ngobaran memiliki kualitas baik. Kandungan ion kalsium dan ion bikarbonat yang mengalami freshning membuat mata air tawar di Pantai Ngobaran dapat dikelola sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air bersih untuk daerah sekitarnya.