Tema sistem kekerabatan patrilineal atau matrilineal selalu menjadi topik menarik untuk selalu dikaji dan dibahas ulang, baik dari segi sosial, ekonomi, politik, seni dan budaya. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran ilmu pengetahuan yang selalu terbuka dalam memperhatikan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.

Aturan adat istiadat yang pada awalnya ketat sesuai aturan yang berlaku, dapat beradaptasi dengan situasi kondisi terkini, tergantung kebijakan tokoh adat setempat. Tujuannya, tak lain ialah agar adat menjadi lentur ketika berada di persimpangan untuk menemukan solusi yang tepat melalui jalan tengah.

Peristiwa ini terbukti dalam semangat tradisi lampau yang diadopsi menjadi pasca tradisi. Kadang kala, hilangnya nilai-nilai dan batas-batas normatif sosial membuat kesetaraan gender menjadi isu yang menarik untuk ditampilkan oleh kaum-kaum intelektual di setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Salah satu penyebab lahirnya feminis yakni disebabkan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan. Deskriminasi dapat berupa ucapan, tindakan, hingga perlakuan yang dialami oleh kaum perempuan sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman, tekanan, dan intimidasi.

Pada masyarakat Batak yang notabene merupakan etnis patrilineal dengan sistem kekerabatan adat istiadat yang didominasi oleh kaum pria, hal ini disebabkan marga atau klan diwariskan pada kaum pria. Hanya kaum pria yang dapat mewariskan marga tersebut kepada generasi penerus, yakni kepada anak lelakinya.

Tak heran, anak laki-laki dalam keluarga Batak selalu mendapat perlakuan khusus dari kedua orang tuanya. Perlakuan khusus itu terlihat dari upaya yang dilakukan oleh bapak dan ibu yang memfasilitasi anak lelakinya agar dapat meraih pendidikan tinggi.

Peristiwa ini juga digambarkan melalui lagu-lagu pop daerah Batak yang menceritakan kasih sayang seorang ibu kepada anak lelakinya, agar kelak dapat mengharumkan nama keluarga. Misalnya, pada lagu Batak yang berjudul “Anakku Naburju" yang artinya “Putraku yang Terbaik”. Lagu ini memberikan doa dan nasehat kepada putra yang sedang menuntut ilmu di tempat jauh agar belajar dengan sungguh-sungguh dan meraih cita-cita.

Begitu juga dengan lirik lagu “Anakkon Hi do Hamoraon di Au”. Lagu ini bercerita tentang kasih sayang orang tua kepada anaknya, sekaligus motivasi bagi anaknya agar bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan segera menggapai cita-cita. Sebab, anak merupakan harta terindah ciptaan Sang Khalik untuk dididik, dirawat, dan dijaga hingga tumbuh dewasa.

Senada dengan apa yang dinyatakan oleh masyarakat Batak yang tinggal di daerah pedesaan. Apabila seorang perantau pulang ke kampung halaman pada Hari Raya Idul Fitri atau Perayaan Masehi, pertanyaan yang pertama ditujukan kepada para perantau ialah sudah berapa anakmu? bukan pertanyaan sudah berapa banyak hartamu. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa anak adalah harta yang paling berharga bagi etnis Batak.

Perempuan dalam sistem kekerabatan patrilineal etnis Batak memang tidak terlalu menonjol dalam setiap upacara adat. Namun, bukan berarti perempuan tidak dibutuhkan dalam praktek upacara adat Batak. Perempuan dibutuhkan sebagai pelaksanaan adat istiadat kehidupan sehari-hari. Misalnya, tradisi itak gurgur atau sattan siborgo-borgo yang dilakukan oleh seorang ibu perempuan Batak kepada pengantin baru sebagai tanda rasa syukur telah memberi kesejukkan dan kedamaian, sehingga bahtera rumah tangga anak-anaknya dapat berjalan damai dan tenang.

Begitu pula dengan parhobas yang berarti panitia persiapan yang melayani acara adat istiadat etnis Batak, seperti menghidangkan makanan yang dikerjakan oleh kaum pria dan wanita secara bersama-sama selama prosesi berlangsung. Dalam praktik kehidupan sosial patrilineal etnis Batak, peran kaum perempuan sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak. Seorang ibu membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang agar kelak anaknya berhasil dan menjadi orang sukses yang membanggakan keluarga.

Sesuai dengan falsafah etnis Batak tentang “hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), hasangapon (kehormatan). Ketiga falsafah yang diterapkan oleh etnis Batak itu bermanfaat untuk meraih kemakmuran dan kesejahteraan. Hamoraan yang berarti kekayaan berarti bagaimana seorang etnis Batak selama menjalani kehidupan tidak mengalami kekurangan dari segi materi. Demi kelangsungan hidup keluarganya, maka ia harus ulet, rajin, tekun, dan bekerja keras.

Hagabeon berarti keturunan, yakni bagaimana seorang etnis Batak harus memiliki keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan, agar dapat mewarisi marga atau klannya, terutama anak laki-laki. Perjalanan membesarkan anak tentu membuat peran seorang ibu menjadi penting untuk mendidik anaknya, agar kelak menjadi orang bermanfaat yang mengharumkan nama keluarga dan bangsa.

Hasangapon berarti kehormatan. Bahwa seorang etnis Batak harus menjaga kehormatan dan nama baik keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Sebab melalui kehormatan ini, nama baik keluarga dapat ditanamkan melalui perilaku yang baik dan sopan santun, seperti nama-nama panggilan khusus yaitu martutur berarti bersilsilah berdasar garis keturunan. Selain itu, menjaga nama baik keluarga juga tercermin dari setiap tindakan, agar tidak melakukan perbuatan hukum.

Ketiga falsafah di atas tentu menjadi bekal kedua orang tua etnis batak dalam membesarkan anak-anaknya. Di mana peran bapak dan ibu menjadi penting dalam merawat dan mendidik anaknya kelak. Tak jarang, perempuan batak membesarkan anak-anaknya dengan begitu tekun dan telaten, sehingga terkadang ia pun ikut bekerja membantu perekonomian keluarga.

Keterlibatan perempuan dalam sistem patrilineal memang tidak digambarkan secara eksplisit, namun secara implisit seorang ibu menyanyikan lagu Batak berjudul “Butet” ciptaan Siddik Sitompul yang memiliki makna mendalam sebagaimana seorang ayah yang sedang berperang dan merindukan anak perempuannya, serta memberikan nasehat kepada anak perempunnya, agar kelak dapat bekerja sebagai seorang palang merah yang mengobati atau menolong orang-orang yang terluka dalam perang.

Lagu ini merupakan lagu lamentasi atau ratapan perjuangan seorang ayah yang ingin bertemu anak perempuannya. Berikut ini adalah lirik lagunya:

Butet… di pangungsian do amangmu ale butet. Da margurilla da mardarurat ale butet. Da margurilla da mardarurat ale butet. Butet, tibo do mulak au amangmu ale butet. Musutaii ikkon saut do talu ale butet. Musutaii ikkon saut do talu ale butet. I… doge doge doge i dogei… doge doge. I… doge doge doge i dogei… doge doge.

Butet, sotung ngolngolan ro hamuna ale butet. Paima tona manang surat ale butet. Paima tona manang surat ale butet. Butet...haru patibu ma magodang ale butet. Asa adong da palang merah ale butet. Da palang merah ni negara ale butet. I… doge doge doge i dogei… doge doge. I… doge doge doge i dogei… doge doge.

Artinya:

Butet…di pengungsiannya ayahmu oh butet. Mengikuti perang gerilya yang darurat oh butet. Mengikuti perang gerilya oh butet. Butet, segera akan pulang oh aku ayahmu oh butet. Musuh kita harus segera kalah oh butet. Musuh kita harus segera kalah oh butet. I... doge doge doge i dogei… doge doge. I… doge doge doge i dogei… doge doge.

Butet…jangan bersedih hati kalian, oh butet. Menunggu pesan atau surat oh butet. Menunggu pesan atau surat oh butet. Butet… semoga lebih cepat besar oh butet. Agar ada yang menjadi palang merah oh butet. Palang merah untuk negara, oh butet. I… doge doge doge i dogei... doge doge. I… doge doge doge i dogei… doge doge.

Lirik lagu itu menjelaskan bahwa seorang ibu etnis Batak berperan aktif dalam membesarkan serta memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak-anaknya di kehidupan sosial sistem patrilineal. Walau pada akhirnya, marga atau klan hanya diwariskan oleh sang ayah berdasarkan aturan adat istiadat. Namun, ibu sungguh seorang perempuan yang selalu dihormati, dihargai, disanjung, dan dijaga marwahnya oleh masyarakat etnis Batak.

Peran aktif seorang ibu dinyatakan melalui pendidikan terbaik bagi putra-putrinya melalui nasihat yang mengarahkan dan memotivasi, serta doa. Tujuannya, agar kelak anak-anak tersebut dapat meraih masa depan, sesuai dengan apa yang dicita-citakan, serta dapat membanggakan keluarga dan marganya.

Penyunting: Nadya Gadzali