Secara historis, Jawa-Islam memiliki tradisi intelektual yang kental. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan karya kasusastraan para pujangga yang dapat kita temui hingga hari ini. Utamanya, dalam bentuk suluk.

Secara terminologi, suluk dapat dipahami sebagai sebuah “laku” atau “lelaku” mengenai keberislaman. Suluk menjadi salah satu acuan atau semacam pedoman bagi masyarakat Jawa-Islam dalam menjalankan hidup sebagai seorang muslim dengan jalur sufistik atau tasawuf.

Penggambaran atas hal itu dapat dipahami dari salah satu pesan yang disampaikan oleh Ranggasasmita dalam karyanya, "Suluk Martabat Sanga" (Martabat Sembilan) yang menyatakan bahwa “untuk belajar tasawuf, maka perbanyaklah membaca suluk.”

Ini tidak terlepas dari rujukan-rujukan utama dalam mengubah suluk Jawa-Islam oleh para pujangga yang mengacu pada Al-Qur'an, hadis, ijma, dan qiyas. Beberapa pujangga kenamaan pun melakukan hal serupa, sejak Yasadipura I hingga Ronggowarsita III.

Peranan suluk sebagai panduan dalam bertasawuf dapat dipahami dalam aspek historis islamisasi masyarakat Jawa yang kental akan kebudayaan. Dengan tasawuf, nilai-nilai Islam dapat diterima tanpa mengubah kebudayaan masyarakat Jawa dan meresap ke dalam inti peradaban.

Ini artinya, suluk memberikan acuan berislam yang relevan dengan kebudayaan masyarakat Jawa karena dapat saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu, pembacaan suluk menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan, terlebih di era modern saat ini, sebagai salah satu upaya untuk merefleksikan kembali keberislaman kita yang tengah digempur oleh berbagai infiltrasi kebudayaan luar, baik westernisasi ataupun arabisasi yang tidak jarang memicu perseteruan di tengah masyarakat kita sendiri.

Dengan membaca suluk-suluk itu, dapat mengingatkan kembali metode keberislaman di masa lalu sekaligus jati diri kebudayaan masyarakat Jawa. Ini menjadi penting, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu peneliti Jawa-Islam yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk meneliti ratusan ribu naskah-naskah Jawa-Islam, Nency K. Florida, bahwa dengan memahami masa lalu, kita dapat menjalani masa kini dengan baik, dan dapat menyusun masa depan yang kebih baik.

Malang Sumirang

Salah satu suluk yang patut dibaca kembali adalah "Suluk Malang Sumirang" karya Raden Panggung, salah satu putra Sunan Kalijaga. "Suluk Malang Sumirang" digubah oleh Raden Panggung ketika dirinya diminta oleh Raja Demak saat itu untuk masuk ke dalam api guna membuktikan keyakinannya. Alih-alih terbakar, ia justru duduk dengan tenang sembari menuliskan kisah Malang Sumirang.

Melalui pembacaan atas suluk ini, di luar ajaran-ajaran tasawuf yang dituliskan oleh Raden Panggung, setidaknya terdapat hal penting yang patut direfleksikan dalam relasi keberislaman kita dalam masyarakat hari ini. Dalam suluk ini, refleksi atas islam dituliskan oleh Raden Panggung dalam bait berikut ini:

Pangrengeningsun duk rare alit // nora Islam dening wong sembahyang // tan Islam dening pangangge // tan Islam dening wektu // datan selam dening kulambi // tan selam dening tapa // ing pangrunguningsun //ewuh tegese wong Islam // datan selam dening anampik amilih // ing kalal klawan karam.

Dalam pemaknaan secara bebas, teks itu merefleksikan pemahaman Islam Raden Panggung secara pribadi sejak kecil. Alih-alih dapat memahami Islam dengan mudah, islam sebetulnya justru sangat sulit dipahami maknanya secara hakikat.

Seseorang menjadi Islam bukan hanya karena ia sembahyang, bukan karena perbuatan, bukan karena waktu atau dianggap Islam sejak kecil, bukan karena berpakaian sebagaimana para alim dan ulama atau berjubah bak orang-orang Arab, bukan bertafakur semata, bukan pula sekadar berbicara soal halal dan haram.

Meskipun Raden Panggung tidak memberikan makna Islam secara eksplisit, namun ia memberikan ciri-ciri orang yang telah memahami Islam dengan baik. Mereka yang telah memahami makna Islam, menurutnya, dalam dirinya memiliki kemuliaan hati atau “mulya wisesa jati kamulyan.”

Setiap tindakannya sangat lembut dan tidak menyakiti hati sesamanya. Tidak tersisa atau tertinggal dalam setiap perbuatannya selain kebaikan. Ini selaras dengan tujuan ilmu sejati sebagaimana diungkap oleh Sunan Kalijaga: mamangun hayuning bawana atau mempercantik kehidupan dengan tidak menyakiti hati sesamanya atau amemangun karyenak tyasing sesame. Hal ini lantaran hidup dijalankan atas dasar cinta, “esihe mangke panunggalira.”

Selanjutnya, dunia dianggap sebagai sebuah tempat sementara: urip mung mampir ngombe.  Lir sang Panji Angumbara // sajatine wus manthuk Koripan malih // mulya Putreng Jenggala. Hidup diibaratkan sebagai sebuah pengelanaan, di mana pada akhirnya, manusia akan kembali ke tempat awal dirinya tercipta. Ibarat seorang pangeran pengembara yang kembali ke istana dengan kemuliaan.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Raden Panggung mengingatkan tentang dua hal penting. Pertama, mengenal diri sendiri. Hal ini berpijak kepada sabda Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Ini adalah pedoman dasar bagi beberapa sufi dalam menjalankan hidup, seperti Jalaludin Rumi, Yazid Al-Bustami, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan masih banyak lagi. Kedua, ojo lali sangkan paraning dumadi. Ini bermakna, bahwa dalam hidup, jangan sesekali kita melupakan titik dari mana kita berasal, sebab di sanalah nantinya kita akan kembali.

Ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan Tuhan Sang Pecipta dan jati diri kebudayaan kita. Dengan demikian, untuk mengenal jati diri dan membekali manusia untuk bersiap kembali ke istana kemuliaan, kita dapat menjadikan kebudayaan sebagai instrumennya, salah satunya melalui suluk sebagai petunjuk laku pengembaraan.

Ini tidak bermaksud mengesampingkan pedoman beragama dalam hukum Islam, sama sekali bukan. Justru, sebagaimana disinggung sebelumnya, suluk ini menjadi instrumen untuk memahami hukum-hukum itu dengan lebih mudah sesuai kebudayaan setiap manusia tanpa menghilangkan nilai-nilai utamanya.

Berkebalikan dengan hal itu, saat ini banyak dijumpai fenomena-fenomena yang cukup mengkhawatirkan. Seringkali karena perbedaan dalam hal keberislaman kemudiaan timbul konflik antara sesama. Ini disebabkan karena adanya kesyirikan dalam pendapat. Dalam artian, banyak dari kita menuhankan pendapat sendiri dan menganggap yang berbeda sebagai hal yang keliru, bahkan salah sepenuhnya. Tentu ini tidak sejalan dengan hakikat keberislaman yang disinggung di atas.

Sebetulnya, fenomena semacam itu adalah polemik yang sudah terjadi sejak dulu, sebagaimana juga dituliskan dalam Malang Sumirang. Mereka disebut sebagai orang-orang yang berupaya memperoleh Tuhan Yang Sejati, namun tidak mengenal Tuhannya. Mereka mencari sesuatu yang tidak diketahui, “tan wruh kang ingulatan.” Mereka hanya bersandar dengan pemahaman sendiri, tanpa berguru kepada yang mengerti dan paham.

Lebih lanjut, mereka gemar membicarakan dosa orang lain, tanpa pernah memahami dosa-dosanya sendiri. Gemar mengkafir-kafirkan, tidak mempedulikan sesama dan memikirkan dirinya sendiri, serta merasa paling benar dan paham.

Alih-alih beranggapan bahwa dengan menjaga salat dan tidak pernah meninggalkan puasa akan menyelamatkan hidupnya, justru itu menjadi penyebab utama kesombongan dan segala keangkuhan yang menjadi berhala bagi dirinya sendiri, “akeh dadi brahala”. Demikianlah, kata Raden Panggung, orang yang masih mentah keberislamannya.

Situasi yang sebetulnya secara eksistensial masih sama itu, kembali menegaskan pentingnya pembacaan atas suluk-suluk peninggalan para pendahulu. Ini artinya, dengan membaca kembali suluk, secara tidak langsung kita dibawa pada pembacaan atas jati diri dan keberislaman kita. Dengan demikian, itu akan membantu kita dalam upaya untuk memperbaiki diri dan keberislaman kita di masa mendatang.

Penyunting: Nadya Gadzali