Perbukitan yang menjulang tinggi, persawahan yang menghampar luas dan sumber air yang mengalir deras, mungkin itu yang patut menggambarkan kondisi geografis Desa Jajar kecamatan Gandusari kabupaten Trenggalek. Desa ini berada di sebelah selatan, berjarak 12 KM dari pusat kota dengan luas sekitar 531.137 Ha.

Secara administratif, desa ini memiliki 3 dusun, yaitu: Krajan, Kebon dan Mbelik. Namun secara kebudayaan, masyarakat di desa ini juga masih mengugemi konsep pedukuhan (dukuh). Walaupun tidak tercatat dalam wilayah administratif desa, namun kedudukannya masih bagian dari desa.

Nama-nama dusun tersebut merupakan sublimasi dari nama-nama dukuh yang telah ada sebelumnya. Terdapat sebanyak 11 pedukuhan di Desa Jajar, yaitu: Trobasan, Karang, Kebon, Nglumpang, Tretes, Ngasinan, Ngelo, Krajan, Ngepoh, Klatak dan Mbelik. Sampai hari ini, masyarakat masih menggunakan penyebutan dukuh sebagai identitasnya.

Cerita Tutur Sejarah Desa

Ada beberapa versi terkait bagaimana berdirinya Desa Jajar yang ditututurlisankan. Versi pertama, kaitannya dengan keberadaan punden desa yang disebut dengan Punden Sarean. Punden Sarean ini sebenarnya bukanlah sebuah makam, melainkan sebuah sumber air.

Penamaan ‘sarean’ di sini tidaklah merujuk pada istilah lain untuk makam atau perkuburan. Tetapi, konon katanya sumber air tersebut merupakan tempat istirahat seorang pelancong. Sebagaimana istilah “sarean” yang berasal dari kata sare (tidur) yang berarti tempat tidur atau tempat istirahat. Boleh jadi pelancong tersebut adalah yang menemukan sumber mata air tersebut yang hingga saat ini masih mengaliri rumah masyarakat di Desa Jajar.

Adapun versi lainnya, sejarah Desa Jajar bermula dari tokoh yang berasal dari Tembayat, Jawa Tengah, yaitu Mbah Ngabdurrohman dan Mbah Joyogati pada tahun 1700-an. Mereka mengembara dari Tembayat menuju ke arah timur yang boleh jadi tempat mampir singgah di Trenggalek.

Mbah Ngabdurrahman dan Mbah Joyogati kemudian menemukan Pohon Lo yang berjajar, yang kemudian daerah tersebut dinamakan Desa Jajar. Meskipun pohon tersebut sudah tidak ada, tetapi kemungkinan masih dapat dilacak jejaknya lantaran terdapat daerah pedukuhan di Desa Jajar yang bernama “Ngelo” yang ditengarai berasal dari nama pohon tersebut.

Versi lainnya, adanya kuburan tua yang disebut masyarakat sebagai kuburan dari Mbah Sarito atau yang dikenal dengan nama Mbah Sari. Kuburan tua tersebut berada di tengah sawah. Mbah Sari diyakini dulunya merupakan pasukan Diponegoro.

Pasca perang Jawa, tidak sedikit laskar Diponegoro yang melarikan diri ke arah timur yang kemudian membabad dan mendirikan desa-desa kecil. Jika memang demikian, boleh jadi keberadaan Mbah Sari di Desa Jajar diperkirakan sekitar pertengahan tahun 1800-an.

Potensi Alam dan Masyarakat Mandiri

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Jajar merupakan desa yang mempunyai kekayaan alam yang luar biasa. Sawah yang menghampar luas, perbukitan yang menjulang dan sumber air yang mengalir deras. Semua kekayaan alam itu membentuk dan menghidupi masyarakat Desa Jajar. Seperti salah satu sumber air yang disebut dengan Sarehan.

Sumber air Sarehan merupakan sumber air yang menghidupi masyarakat Jajar, karena sumber air tersebut yang dialirkan ke rumah-rumah warga melalui selang-selang yang kemudian digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga bisa dikatakan masyarakat Jajar masih menggantungkan kehidupannya pada alam.

Alam (bumi) sendiri secara filosofis juga disebut ibu bumi. Sebagaimana sifat ibu yang merawat dan memberi, alam juga merawat dan memberi manusia apa-apa yang dibutuhkan untuk hidup. Maka selayaknya, manusia merawat alamnya, alam pedesaan yang masih asri dan lestari. Jangan sampai alam dieksploitasi sebagai komoditas dagang yang justru akan merugikan manusia di kemudian hari.

Melihat potensi alam yang melimpah, menjadikan mata pencaharian sebagaian besar masyarakat Jajar bertani dan bercocok tanam. Petani di Desa Jajar mayoritas menanam padi dan jagung, sedang tetumbuhan yang cocok ditanam di Desan Jajar adalah pala kependhem dan pala gumandul.

Pala kependhem yang dimaksud adalah sejenis umbi-umbian, sedangkan pala gumandul adalah buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Selain bertani dan bercocok tanam, sebagian masyarakat Jajar lainnya menjadi peternak. Tentunya rata-rata beternak sapi dan kambing. Pakannya adalah rumput dan daun, atau yang biasa disebut rambanan yang diambil dari wana (hutan), mengingat perbukitan yang ditumbuhi berbagai tanaman.

Hal di atas menunjukkan bagaimana cara masyarakat pedesaan masih bisa mengolah dan memanfaatkan alam sesuai kebutuhan. Selain itu, beberapa hasil alam lainnya juga akan diolah menjadi produk baru. Seperti olahan pisang yang dijadikan sale pisang dan kripik pisang.

Olahan bambu akan menjadi reyeng, sesek dan betek atau kuliner yang unik di Desa Jajar, yaitu cukdeh atau “Pincuk Lodeh,” sajian lontong dengan sayur lodeh yang dibungkus dengan daun pisang yang dirangkap dengan daun jati. Ini adalah makanan tradisional khas Desa Jajar yang tidak mungkin ditemukan di tempat lain.

Apa yang disajikan di atas merupakan interaksi antara manusia dengan alam. Andaikan interaksi tersebut semakin intensif, maka akan melahirkan masyarakat mandiri, masyarakat yang mampu mengolah kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kearifan Lokal

Desa Jajar masih erat dalam memegang teguh kebudayaannya. Itu merupakan bentuk nguri-nguri warisan adiluhung dari para leluhur mereka. Salah satu budaya yang masih lestari di Desa Jajar adalah Tiban, tradisi memanggil hujan dengan cara menggelar pertandingan cambuk.

Cambuk yang digunakan terbuat dari beberapa lidi aren yang dirangkai menjadi satu atau yang biasa disebut ujung. Tiban biasanya dilaksanakan saat musim kemarau atau ketigo. Folklore yang diyakini masyarakat adalah semakin banyak cambukannya, maka hujan akan semakin deras. Namun, dewasa ini Tiban lebih dipandang sebagai hiburan rakyat dan tidak selalu dilaksanakan saat musim kemarau.

Kemudian ada pagelaran Megengan Show yang dilaksanakan setiap menjelang bulan suci Ramadhan. Megengan Show bermula dari keresahan masyarakat Jajar akan hilangnya seni dan budaya akibat arus globalisasi. Maka dari itu, diinisiasi membuat pagelaran yang menampilkan pertunjukkan seni dan budaya yang dikemas dalam Megengan Show.

Selain itu, Megengan Show merupakan bentuk kegembiraan dalam menyambut bulan suci ramadhan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh An Nasa`i yang berbunyi, "Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka". Sehingga bisa dikatakan bahwa Megengan Show merupakan akulturasi antara nilai-nilai Islam dan Jawa.

Selanjutnya ada jamasan atau mandi jamas. Jamasan merupakan ritual mandi sebelum memasuki bulan suci ramadhan yang ada di Desa Jajar. Ritual jamasan mirip dengan tradisi padusan di beberapa daerah. Tujuannya adalah untuk membersihkan jasmani dan rohani untuk memasuki bulan yang suci. Karena pada dasarnya, manusia tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka dari itu, diperlukan sebuah laku menjamas diri. Sebagaimana pusaka, jika manusia tidak dijamas, akan hilang sisi keramatnya.

Kemudian, di Desa Jajar juga terdapat selawat ikonik di Bulan Ramadhan, yaitu salalahuk. Salalahuk biasanya dikumandangkan setelah salat tarawih dengan diiringi pukulan bedug. Salalahuk secara bahasa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, “shallallahu” yang kemudian dilafalkan oleh orang Jawa menjadi salalahuk. Isi dari selawat ini juga tentang ajaran agama berbalut lagu berbahasa Arab dan Jawa. Juga terselip pujian kepada Nabi Muhammad SAW serta doa-doa keselamatan.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan salalahuk itu diajarkan. Ketika penulis bertanya kepada para pelantun salalahuk yang sudah berusia sepuh, jawabnya salalahuk sudah ada sejak mereka masih kecil. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa selawat adalah ajaran Walisanga. Tentunya, salalahuk merupakan peninggalan berharga dari para pendahulu yang dengan kreativitasnya mampu merangakai nilai-nilai Islam dalam kemasan lokal, tanpa mengurangi esensi dari nilai yang diajarkan.

Penyunting: Nadya Gadzali