Pulau Sumbawa terkenal dengan keindahan sumber daya alamnya yang memikat. Dua etnis besar yang mendiaminya adalah Etnis Samawa dan Etnis Bima. Kedua etnis besar ini memiliki perbedaan dalam sistem pranata sosial, baik dari segi bahasa, adat istiadat, maupun seni budaya. Namun, dari segi mata pencaharian, umumnya kedua etnis ini menjadi pegawai, petani, pedagang, dan nelayan.
Masyarakat Etnis Samawa, melakoni berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada yang bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang, hingga wiraswasta. Hampir sebagian besar masyarakat desa di Kabupaten Sumbawa bermata pencaharian sebagai petani penggarap sawah di daerah agraris, khususnya di dataran tinggi yang terdapat sumber air untuk menanam padi.
Saat musim panen tiba, para petani menggunakan alat pertanian tradisional. Masyarakat Samawa menyebut alat pertanian tradisional itu dengan sebutan rantok. Kayu berbentuk persegi empat, tepat di bagian tengahnya terdapat lubang yang berfungsi untuk menumbuk padi dan mengubahnya menjadi beras.
Alat pertanian ini, pada masyarakat Jawa, dikenal sebagai lesung. Cara menggunakannya pun sama, hanya terdapat perbedaan bentuk, penggunaan, serta pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakatnya.
Rantok pada awalnya merupakan alat pertanian tradisional masyarakat Etnis Samawa. Seiring perkembangan zaman, rantok bertransformasi menjadi alat musik ritmis yang menghasilkan bunyi ketika dipukul bagian tubuhnya. Rantok termasuk jenis alat musik idiofon.
Permainan Rantok Interlocking
Sejak dahulu, masyarakat Etnis Samawa menggunakan rantok sebagai peralatan tradisional yang berfungsi untuk menumbuk padi di rumah-rumah warga. Jumianti mengatakan terakhir kali ia melihat warga yang masih menggunakan rantok ialah di Desa Moyo, sekitar tahun 1990.
Hal ini menunjukkan bahwa arus globalisasi telah menggeser teknologi tradisional. Jika semula rantok memerlukan tenaga manusia, kini telah menggunakan mesin giling padi.
Bentuk rantok biasanya persegi empat dengan panjang dan lebar bervariasi. Pada umumnya, panjang sekitar 1 hingga 2 meter dengan lebar 50 hingga 60 cm. Menurut masyarakat setempat, rantok terbuat dari pohon jati atau pohon asam yang diberi lubang di tengah, tergantung kebutuhan si petani.
Lubang di tengah biasa digunakan sebagai wadah untuk menumbuk padi agar terpisah dari sekam dan menjadi beras. Tentu pada proses menumbuk ini membutuhkan waktu dan banyak tenaga. Tak jarang, proses penumbukkan padi dilakukan oleh lima sampai enam orang perempuan dengan menggunakan alat penumbuk yang disebut deneng (sejenis tongkat terbuat dari batang kayu atau bambu dengan panjang sekitar 1,5 meter hingga 2 meter).
Dahulu kala, sekira pada tahun 1980, saat teknologi komunikasi belum secanggih saat ini, masyarakat Etnis Samawa telah memanfaatkan rantok sebagai media ekpresi komunikasi.
Ketika rantok dimainkan, benda ini menghasilkan bunyi ritmik yang bersahut-sahutan, sebagai penanda bahwa dalam waktu dekat akan digelar prosesi pernikahan yang ditentukan oleh pengurus adat desa setempat.
Selain itu, rantok biasa dimainkan oleh kaum perempuan pada sore hari, sembari melakukan kegiatan nuja yang berarti memberi tanda kepada masyarakat setempat agar datang membawa beragam jenis bantuan gabah, minyak tanah, kelapa, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya untuk mendukung acara pernikahan. Kegiatan ini merupakan wujud gotong royong warga desa setempat agar saling membantu sebelum upacara pernikahan.
Ide permainan rantok dimulai dari kebiasaan masyarakat Etnis Samawa menjelang upacara pernikahan, maka rantok dimainkan di depan halaman rumah. Kemungkinan, dari gagasan inilah rantok bertransformasi menjadi pertunjukan musik yang dikolaborasikan dengan alat-alat musik tradisi Etnis Samawa lainnya, seperti: sarune, gong genang, palompong, dan lain sebagainya.
Kolaborasi ini tidak terlepas dari peran aktif komunitas seni, guru seni, seniman, budayawan, serta dinas pariwisata dan kebudayaan setempat yang mengadakan pertunjukan musik garapan baru berbasis musik tradisi. Melalui perhelatan tersebut, antusiasme masyarakat semakin tinggi dalam menampilkan pertunjukan musik terbaiknya.
Hal ini juga didukung oleh karakteristik masyarakat Etnis Samawa yang terbuka serta kreatif dalam merespon perkembangan zaman di era globalisasi, namun tidak melupakan akar tradisi.
Senada dengan pernyataan Profesor Yasraf bahwa kreativitas tidak berlangsung di dalam pikiran seorang individu, tetapi di dalam interaksi antara pikiran seorang individu, konteks sosial budaya, dan lingkungannya (Yasraf:76). Hal ini menunjukkan bahwa setiap seniman dan budayawan Etnis Samawa menyelami dan mempelajari kesenian tradisional sehingga memiliki daya tarik bagi masyarakat dan dapat diterima, khususnya oleh generasi muda.
Faktanya, pertunjukan musik rantok selalu ditampilkan dalam momen-momen perhelatan tradisi, syukuran, dan perhelatan yang diadakan oleh pemerintah daerah setempat. Tujuannya, agar menarik perhatian masyarakat, wisatawan lokal dan mancanegara yang berkunjung ke Sumbawa.
Kini ,pertunjukan musik rantok mengalami modifikasi, baik penambahan alat musik seperti sarune, vokal, bahkan drama dan tari. Semua itu menjadi satu kesatuan komposisi pertunjukan musik rantok dengan seorang komponis tradisi yang melakukan pendekatan dengan metode reintrepretasi isu-isu kehidupan sosial masyarakat Etnis Samawa.
Dari segi musikal, komposisi rantok masih bersifat repetitif dengan teknik permainan interlocking atau permainan motif-motif ritem yang saling mengisi satu sama lain, dalam satu kesatuan irama yang berulang-ulang.
Permainan sarune pun menjadi alat musik melodis, memberi isian yang terkadang panjang dan terkadang pendek, selama pola ketukan ritem dimainkan. Sesekali sarune berhenti sejenak, lalu diisi dengan lawas atau sastra lisan Etnis Samawa yang menambah keindahan rantok, serta menjadinya pertunjukan musik yang kompleks.
Tak lupa, kostum pemain rantok juga mendapat perhatian dari seniman atau budayawan. Biasanya, menggunakan pakaian adat Etnis Samawa agar menambah daya tarik bagi penonton pertunjukan musik rantok. Tujuannya, agar penonton dapat menikmati pertunjukan musik rantok hingga selesai.
Peristiwa ini dibutuhkan sebagai wujud kesintasan teknologi pertanian yang kini mengalami transformasi menjadi alat musik pendukung seni tradisi. Tujuannya, tak lain memperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa rantok–sebagai alat pertanian–dapat berfungsi sebagai alat musik ritmis. Walaupun pada akhirnya, rantok hanya dimainkan saat pertunjukan. Namun setidaknya, rantok tetap dilestarikan hingga saat ini.
Generasi muda Etnis Samawa kini memiliki ketertarikan dan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pertunjukan musik rantok, terutama kaum perempuan. Hal ini dibuktikan dengan beredarnya video pertunjukan rantok Etnis Samawa di kanal YouTube dari berbagai desa yang ada di Kabupaten Sumbawa.
Peran aktif seorang seniman, pegiat seni, dan budayawan, mempengaruhi generasi keberlanjutan pertunjukan musik rantok di masa yang akan datang, Sebab, rantok sebagai teknologi tradisional semakin sulit ditemui, umumnya hanya digunakan dalam pertunjukan musik saja.
Penyunting: Nadya Gadzali