Anggapan pemali sebagai hal yang mengada-ada disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya, karena pemali kerap dipandang sebagai hal yang tidak masuk akal atau irasional.
Utari (2018) dalam artikel penelitiannya tentang pemali di daerah Kediri, menyebutkan bahwa, pemali adalah mitos tentang larangan-larangan yang diujarkan oleh orang tua dari pesan-pesan nenek moyang terdahulu.
Oleh sebab itu, di antara golongan masyarakat tertentu, ada yang menganggap pemali sebagai perbuatan sesat, atau termasuk syirik alias menyekutukan Penguasa Semesta. Pemali dianggap mempercayai selain Tuhan, maka mempercayai pemali merupakan bentuk syirik.
Anggapan tersebut membuat produk budaya seringkali dianggap merusak akidah. Padahal, di dalam tulisan saya sebelumnya tentang "Tradisi Mantu Kucing di Pacitan, Melunturkan atau Mempertebal Iman?" menyebutkan bahwa, kebudayaan seharusnya mempertebal keimanan, bukan justru melemahkan akidah. Alasannya, terdapat kandungan ajaran agama di dalam pemali.
Pemali adalah wujud akidah Islam berbasis kearifan lokal yang mampu merefleksikan ajaran-ajaran agama Islam, sesuai dengan kebudayaan di masing-masing daerah.
Dapat dibuktikan dengan beberapa contoh pemali di bawah ini:
Pemali tentang larangan makan di depan pintu untuk seorang gadis, karena dianggap dapat menyebabkan lelaki yang hendak melamarnya mengurungkan niat. Pemali ini berasal dari Desa Mojosari, Kecamatan Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Sekilas, larangan itu tidak memiliki korelasi dengan dampak yang ditimbulkan bagi si pelanggar. Makan di depan pintu tidak ada kaitannya dengan jodoh. Namun, jika dicermati dengan lebih saksama, terdapat akidah Islam yang terkandung dalam pemali tersebut.
Syariat Islam di dalam karya imam Zarnuji yang berjudul Ta’limul Muta’allim menyebutkan bahwa, duduk di beranda pintu merupakan satu di antara banyak hal yang dapat menghambat rezeki. Sedangkan lamaran atau pinangan juga termasuk bentuk rezeki.
Rezeki tidak selalu hal yang berbentuk materi. Jodoh yang baik juga termasuk rezeki. Untuk itu, pemali tentang larangan makan di depan pintu adalah hal yang sesuai dengan akidah Islam dan bukan sesuatu yang mengada-ada.
Pemali selanjutnya ialah larangan bagi anak-anak berkeliaran di luar rumah menjelang waktu magrib agar tidak diculik oleh Wewe Gombel. Pemali ini berasal dari masyarakat Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Namun, beberapa daerah di Jawa Timur juga memberlakukan pemali ini.
Larangan berkeliaran (bermain dan sejenisnya) menjelang waktu magrib dan penculikan oleh setan seperti Wewe Gombel, dianggap oleh sebagian orang sebagai hal yang mengada-ada atau terlalu berlebihan. Hal ini disebabkan oleh wujud Wewe Gombel yang belum bisa dibuktikan kebenarannya, sehingga generasi muda saat ini sulit untuk mempercayainya.
Di dalam ajaran akidah Islam, pemali tersebut mengandung pesan kewajiban untuk menunaikan salat magrib. Berkeliaran menjelang waktu magrib adalah perbuatan yang rentan untuk meninggalkan salat magrib, karena waktu magrib adalah waktu yang singkat di antara salat-salat yang lain.
Pemali tentang larangan keluar rumah menjelang magrib, kemudian dikaitkan dengan penculikan oleh sosok gaib Wewe Gombel. Seseorang yang meninggalkan kewajiban salat dianggap telah terjatuh ke dalam perangkap setan, karena setan memang bertugas untuk menyesatkan manusia.
Untuk itu, tidak berkeliaran menjelang magrib adalah anjuran untuk menjalankan salat magrib. Sedangkan penculikan oleh setan (Wewe Gombel) adalah analogi tentang manusia yang terjerumus ke dalam perangkap setan, lantaran telah melanggar sebuah larangan (pemali).
Pemali terakhir yang dibahas dalam tulisan ini ialah larangan menebang pohon bambu sebanyak tiga kali dalam seminggu. Larangan ini juga berasal dari masyarakat di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan yang seringkali dianggap oleh masyarakat—khususnya generasi muda—hanya sebagai anjuran untuk melindungi alam dari pengrusakan oleh manusia. Padahal, pemali ini juga mengandung ajaran Islam yang cukup mendalam.
Imam Abu Dawud dan Imam Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi: “Sayangilah Ciptaan-ciptaan Tuhan yang ada di Bumi, maka Penduduk Langit akan menyayangimu”. Maka, pembatasan dalam menebang bambu merupakan implementasi anjuran Rasulullah SAW dalam hadits di atas.
Menjaga dan menyayangi alam bukan hanya sebatas menjaga keseimbangan hidup, melainkan anjuran menegakkan syariat Islam. Pemali yang telah dipelihara di dalam masyarakat, selain sebagai kontrol sosial, juga merupakan usaha menguatkan pilar-pilar agama dengan cara yang otentik Indonesia, bukan diadopsi dari pengaruh dari budaya Arab, maupun kultur dunia Timur.
Sebab, kita adalah orang Nusantara, maka sudah selayaknya menghidupkan Islam dengan ciri khas Nusantara, agar ajaran-ajaran agama dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, serta dapat menganggap pemali sebagai sebuah jalan untuk mengimplementasikan akidah-akidah Islam berbasis kearifan lokal.
Penyunting: Nadya Gadzali