Etnis.id - Penampilannya sederhana, bahkan cenderung eksentrik untuk ukuran seniman seusianya. Tidak pernah bersepatu, rambutnya panjang terurai, memakai celana kain dan baju yang terlalu besar, seolah kedodoran, tak pas dengan ukuran bentuk tubuhnya yang kurus.

Dari situ kita dapat melihat tentang kebebasan, sebuah upaya untuk tak mengungkung tubuh dari sesaknya baju dan ukuran ideal tentang gaya penampilan selayaknya manusia kiwari. Siapa pun diajaknya berdiskusi. Tak pernah pilih-pilih dalam bergaul. Karena itu ia dikenal dengan seniman yang ramah, jauh dari kata sombong, apalagi pongah.

Suprapto Suryodarmo atau Mbah Prapto, begitulah biasa ia dipanggil. Ia sudah sejak lama "memberontak” dalam dunia seni, khususnya tari. Ia menolak atau mencoba memberi alternatif lain dalam “berjoget”. Mendekonstruksi pembakuan atau klaim sepihak atas gerak.

Akibatnya, ia lebih memilih meninggalkan dunia kampus seni (ASKI Surakarta) sebagai pengajar, meraih jalan sunyi, bergelut dengan keheningan sebagai seniman yang membawa konsep tentang “Joget Amerta”.

Sebuah gaya seni yang sekilas terlihat main-main, namun sejatinya sesak dengan lapis-lapis makna. Joget itu membebaskan tubuh dari ikatan-ikatan kultural yang membelenggu. Bukankah selama ini tubuh mencoba dibakukan menjadi arsitektur gerak lewat jenis-jenis tarian?

Tari itu kemudian dilabeli dengan nama-nama, mengandung hasrat kepemilikan dan pengakuan. Gerak tubuh menjadi terpenjara. Lalu muncullah ribuan jenis tarian dengan gerak yang telah “dipatenkan”.

Joget Amerta lahir dan berupaya mengembalikan tubuh pada kodratnya. Pesannya, menari tak harus menuruti semua klaim itu. Bergeraklah dengan bebas. Ikuti detak jantungmu, embusan arah angin, suara-suara sekitar, serta ke mana pun tangan dan kakimu hendak melangkah.

Dari peristiwa yang demikian, akan ditemukan sebuah puncak kenikmatan, bukan untuk orang lain, tapi pada diri sendiri. Suprapto mengingatkan pentingnya hayatan ke dalam (inner), bukan melulu ke luar (beyond).

Penari seringkali terikat berbagai gerak yang meng-institusional--kata lain dari melembaga. Gerak tubuh kemudian dinilai indah dan tidaknya. Penelaian itu dilakukan oleh orang luar (outsider), tanpa pernah mempertimbangkan suara batin dari para penarinya. Mereka menari bukan untuk dirinya, tetapi membahagiakan mata yang melihat.

Mbah Prapto sebaliknya, bergerak untuk kebahagiaan dan pendewasaan diri. Gaya menarinya terkesan bebas, tak beraturan atau bahkan menolak pakem. Joget Amerta mencoba menumbuhkan kepekaan tubuh pada apapun yang terjadi di sekelilingnya.

Ia telah melintas dan melepaskan diri dari ikatan-ikatan struktural tubuh. Suprapto menempatkan tubuh sebagai resonansi semesta. Dengan demikian, gerakannya akan selalu berbeda, tergantung sejuah mana tubuh mampu menangkap respons pada alam yang memberikan umpan.

Joget Amerta sudah dilakukan Suprapto sejak puluhan tahun, bahkan sebelum (senam) Yoga menjadi gaya hidup manusia Indonesia dewasa ini. Joget Amerta
mengantarkan nama Mbah Prapto dikanal di pelbagai penjuru dunia.

Saban tahun, ia tercatat memberikan workshop di banyak negara. Siapa pun bisa berjoget Amerta, tapi tidak pada sesiapa, selain Mbah Prapto, yang mulanya menemukan keintiman antara tubuh, alam dan Sang Pencipta.

Ia lebih menggemari keheningan, sebab di titik itu, mungkin ia menemukan kedamaian batin. Wajar bila Mbah Prapto menggemari candi-candi, yang baginya adalah wujud dialog sunyi antara manusia dengan liyan.

Ia pun menggagas acara bertajuk Srawung Seni Candi yang rutin digelar saban tahun di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Candi adalah sebentuk pengekalan tentang kesetiaan, pada yang sunyi, jalan bersatunya manusia dengan Tuhannya (manunggaling kawula gusti).

Tumpukan batu itu menggoreskan peristiwa penting, sebuah pencarian laku spiritual yang meditatif. Pun demikian dengan joget Amerta, segala gerak yang ditorehkan tubuh adalah jalan menuju yang “tak diketahui” (the unknown)--pengembaraan mencari jati diri.

Sebagaimana kisah Dewa Ruci dalam jagat pewayangan, bahwa Tuhan telah menubuh dalam diri, tergantung bagaimana manusia menemukan jembatan untuk berkomunikasi denganNya. Bila manusia zaman dulu lewat tumpukan batu atau candi, maka Mbah Prapto lewat tubuh dan gerak.

Setidaknya itulah kesimpulan pengakuan 30 praktisi tari dari berbagai penjuru Eropa kepada Mbah Prapto, dikisahkan dalam buku yang berjudul sangat prosais, Embodied Lives: Reflections on the Influence of Suprapto Suryodarmo and Amerta Movement (2014).

Kata embodied lives (kehidupan yang mewujud) adalah bentuk nyata bahwa gerak tidak dihasilkan dari laku mekanikal ketubuhan manusia, tapi dari “yang transendental”, “meng-ada” menjadi sebuah kehidupan yang arif.

Mbah Prapto mampu menguasai emosi, intonasi, serta gaya bicaranya pelan-lirih dan penuh senyum. Barangkali itulah efek dari joget Amerta, sebagai detoksinasi dari segala hal yang gaduh, konfliktual dan antagonistik.

Konsistensinya pada laku hidup yang dijalani bukannya tanpa halangan. Awalnya ia sering dihujat dan dicaci, bahwa joget Amerta tidak lebih dari sekadar gerakan bebas sederhana (ngolet) yang siapa pun bisa melakukannya.

Tapi satu hal yang dilupakan, bahwa kesederhanaan itu adalah puncak kompleksitas, mengandung konsekuensi bagi terbentuknya “ruang kosong-hampa” pada tubuh. Gerakan joget Amerta sangat pelan, tapi ramai di alam imajinasi. Hal demikian membutuhkan konsentrasi dan kepekaan yang total, dibanding (misalnya) dengan gerak-tarian yang sekadar dihapal, bagus, tapi tak bernyawa.

Di keheningan malam, Mbah Prapto terlihat sendiri, bergerak dengan sesekali mata
tertutup, hingga sampai pada titik kulminasi, bahwa kehidupan dunia ada batasnya. Dan batas itu telah tiba.

Segala gerak Amerta yang kontemplatif telah menemukan muaranya. Muara itu adalah kematian. Ia pun pergi di usia ke 74 tahun, pada 29 Desember 2019. Suprapto Suryodarmo, seniman yang tak hendak mewariskan tarian, tapi ikhtiar pencarian
Tuhan secara terus-menerus lewat gerak.

Selamat jalan Mbah Prapto.

Editor: Almaliki