Etnis.id - Mendengar kata sate, kita semua barangkali setuju, bahwa makanan ini difavoritkan oleh masyarakat Indonesia. Klaim ini dapat kita lihat dari realitas, bahwa sate bisa diterima oleh pelbagai macam usia dan profesi.

Selain memiliki cita rasa yang enak, harga sate juga terjangkau. Beberapa sate dipercaya memiliki kandungan gizi yang dapat menambah stamina maupun vitalitas pria. Selain itu, ada juga yang dihubungkan dengan bingkai adat dan ritual keagamaan. Seperti sate lilit.

Sate lilit berasal dari Bali. Makanan ini kebanyakan dibuat sewaktu perayaan hari raya suci seperti galungan, kuningan, piodalan, prosesi ngaben, pernikahan dan
upacara-upacara keagamaan sejenis. Hampir di setiap sesaji (banten upakara) berisikan sate lilit.

Sate lilit biasanya tampak berjajar dengan jenis sate lain, seperti sate asem (terbuat dari potongan daging babi yang goreng dengan bumbu rempah), sate nyuh (terbuat dari daging babi atau ayam dicincang halus yang dicampur dengan parutan kelapa dan bumbu rempah).

Ngelilit sate/Etnis/I Komang Kusuma Adi

Dalam kultur kepercayaan umat hindu Bali, sate lilit adalah perlambang laki-laki (purusa) sebagai simbol persatuan dan kemakmuran. Kata “lilit”  merupakan kependekan dari kata makilit yang berarti saling mengingat.

Bagi orang Bali, ada keyakinan yang senantiasa menuntun masyarakat untuk berbagi dan menjaga hubungan sebagaimana tertuang dalam konsep tri hita karana (hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam). Selain itu, adat dan istiadat senantiasa memupuk kepribadian, moral, sikap, tingkah laku, hingga kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai umat yang telah diatur dalam hukum adat yang disebut awig-awig.

Mengenai sate lilit, makilit pada adonan sate menggambarkan tentang kesatuan rasa antara olahan daging dengan bumbu rempah yang dililitkan kemudian dibentuk sate. Daging yang diolah adalah ayam dan juga babi yang sudah dicincang halus.

Bumbu rempahnya terdiri dari  laos, kencur, kunyit, jahe, daun salam, bawang putih, bawang merah, lengkuas, wangen, garam, gula aren, dan terasi. Campuran dari ke semua bumbu ini, pada gilirannya disebut base gede  atau base genep.

Lalu bagaimana, kok ada adonan sate? Bagaimana cara membuatnya? Begini, pertama, olahan daging dicampur dengan terasi hitam yang dicairkan kemudian diolah bersama jeruk sambal. Setelahnya, dimasukanlah santan kelapa, lalu base gede secukupnya.

Bumbu rempah sate lilit/Etnis/I Komang Kusuma Adi

Adonan yang sudah siap lalu dililit pada potogan bambu (katik) yang dibentuk sedemikian rupa. Cara melilitkannya adalah dengan menempelkan adonan pada ujung bambu, lalu diputar secara perlahan dengan arah yang berlawanan, sambil menekan dan merapikan adonan, sampai berukuran sejempol tangan orang dewasa. Jika begitu, sate siap dipanggang di atas bara api.

Pada setiap kegiatan upacara, sate lilit dibuat dalam jumlah banyak. Tergantung dari keperluan mangge luhur dan mangge teben. Sate mangge luhur adalah jumlah sate yang khusus diperuntukan untuk bebanten atau sajen upacara. Sedangkan sate mangge teben adalah jumlah sate yang akan dibagikan kepada seluruh warga masyarakat.

Sate mangge teben secara jumlah cenderung lebih banyak dibandingkan dengan sate mangge luhur, dikarenakan jumlah masyarakat yang membantu proses sebagai penerima upah (paice), maupun sanak saudara sebagai penerima sedekah (jotan) juga banyak.

Pada pembagian paice, sate lilit mangge teben  akan digabung dengan lawar barak (terdiri dari parutan kelapa yang dicampur bersama darah segar dan bumbu rempah), lawar belimbing (terdiri dari daun buah belimbing muda yang dicampur bersama bumbu rempah) dan lawar gecok (terdiri dari  kacang mentah, parutan kelapa muda dan bumbu rempah) yang kemudian dibungkus menjadi satu
dengan menggunakan ayaman daun enau (aledan).

Satu aledan terdiri dari 3 sampai 6 sate lilit dan untuk satu kepala keluarga sebagai kelimpahan dari Sang Maha Pencipta/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan pada pembagian jotan, jumlahnya dan porsinya cenderung lebih sedikit atau setengah dari paice. Jotan bersifat pribadi yang pada praktiknya menyesuaikan dengan tingkat kebahagiaan dan hubungan antarpersonal.

Membakar sate lilit/Etnis/I Komang Kusuma Adi

Sate lilit umunya dibuat oleh para lelaki (deha). Bagi mereka, sudah menjadi kewajiban untuk bisa membuat sate lilit, terlebih secara resmi sudah sah dan masuk dalam organisasi desa (medesa). Tahapan pembuatannya sendiri dimulai dari proses pembentukan batang bambu sate (mengkarya katik), bumbu rempah (mebat base), meracik adonan (ngadonin), melilit adonan (ngilit sate), manggang sate (ngebet), hingga penyajian (metanding).

Untuk mereka yang baru dalam medesa dan sebelumnya tidak pernah terlibat dalam pembuatan sate lilit, maka penting untuk mengikuti setiap proses penciptaannya. Mengingat segala komponen sate lilit tidak dibuat asal-asalan. Seperti misalnya pada pembuatan katik sate. Bentuk idealnya dalam adat adalah batang bambu tidak lebih dari dua jengal tangan dewasa. Seluruh bagian diperhalus. Setengah badan katik dibentuk lebih lebar dan sebagiannya lagi dibentuk lebih kecil.

Proses penghalusan bumbu sate lilit/Etnis/I Komang Kusuma Adi

Sisi katik yang lebih lebar pada ujungnya, dibuat semacam potongan kecil sebagai tanda kepala. Katik sate lilit sendiri berbeda dengan sate nyuh dan sate asem. Sate nyuh memiliki sisi yang sama dari ujung sampai bawah, sedangkan sate asem memiliki ujung katik yang sangat sangat runcing.

Bagi mereka yang belum bisa melakukan hal itu, biasanya akan disindir. Namun bukan untuk merendahkan dan menjatuhkan martabat. Sindiran itu cenderung mendorong orang untuk belajar agar tidak kalah dengan yang lain (jengah).

Seperti sindiran yang berbunyi, “Sing nawang lek awak sube megame tue, sing bise nang mubut katik sate. To nake tulih I wayan aeng alus pegaene (tidakkah merasa malu, sudah tua dan berkeluarga, sebatas membersihkan serat bambu sate tidak bisa. Itu lihat si Wayan, halus dan bagus sekali hasil buatannya)."

Sejatinya, pesan di balik kalimat sindiran tersebut mengingatkan bahwa sebagai seorang yang telah memilih jalan hidup berkeluarga dan bermasyarakat, hendaknya mawas diri dan ketika menyadari kekurangan senantiasa belajar, terlebih ada kaitannya dengan melestarian warisan budaya leluhur.

Pesan semacam itu, sesungguhnya banyak terselip di balik makanan-makanan tradisi masyarakat. Namun, barangkali di antara kita telah menyadari bahwa seiring kemajuan zaman, banyak sekali makanan tradisi secara perlahan dijauhi dan ditinggalkan oleh masyarakat dengan berbagai alasan.

Jika pun masih ada wujudnya, mungkin generasi saat ini sudah tidak lagi mengenali resep dan proses pembuatannya. Padahal banyak makanan tradisi tidak mengandung zat perasa makanan (MSG), serta tradisi tidak semata berbicara soal cita rasa enak di lidah.

Sate Lilit dengan base gede-nya yang terdiri rempah-rempah dengan berbagai jenis dan rasa, mengajarkan bahwa kenikmatan, keharmonisan dan persatuan hidup bernegara bukan dibangun oleh kebenaran yang tunggal, melainkan keberagaman yang tunggal (bhineka tunggal ika).

Pengetahuan mengenai keberagamaan yang tunggal bisa dilakukan tempat mana pun, dengan terlebih dahulu merubah perspektifnya. Sebagaimana proses pembuatan sate lilit yang memperlihatkan, bahwa pura maupun tempat kegiatan adat lainnya tidak semata menjadi ruang interasi spiritual dengan Tuhan yang Maha Esa, tetapi juga menjadi ruang pendidikan dan komunikasi antarsesama.

Jika upaya ini dilakukan, niscaya persatuan dan keharmonisan hidup tercipta dan terpelihara. Senada dengan Alim Markus dengan demikian “Mari cintai produk-produk Indonesia”. Karena tradisi sejatinya juga bukan beban kehidupan, melainkan perban atas luka-luka kehidupan.

Editor: Almaliki