Ada pemandangan yang menarik saat berada di tengah kemacetan daerah Kertajaya, yakni adanya patung berupa Reyog Ponorogo, Kelono Suwandono, dan Warok. Patung itu terletak di depan Gang Kertajaya V. Patung yang bukan sekedar hiasan gapura momen tujuhbelasan, melainkan penanda daerah dari Kelompok Seni Reyog Singo Mangku Joyo. Daerah Kertajaya juga terkenal dengan sebutan Gang Reyog.
Bermarkas di Jalan Gubeng Kertajaya V/8, Kota Surabaya, grup kesenian tradisional asli Ponorogo ini sudah eksis sejak tahun 1951. Saat ini dipimpin oleh Sugiharto, pria berambut putih yang merupakan pimpinan generasi ke-3 dari grup kesenian asli Ponorogo ini.
Reyog ialah kesenian asli dari Ponorogo. Diakui juga bahwa seluruh anggota dari grup ini memang masih keturunan Ponorogo. Mereka adalah The Ponorogoans yang tinggal di Surabaya.
Diceritakan oleh Sugiharto, atau yang akrab disapa Giarto, bahwa grup ini didirikan sejak tahun 1951 oleh kakek buyutnya, yaitu Mbah Wadyo. Dipilihnya daerah Kertajaya, yang merupakan pusat kota Surabaya lantaran ingin menunjukkan eksistensi Reyog Singo Mangku Joyo di tengah Kota Metropolitan Surabaya.
Pria yang merupakan warga asli Kertajaya V ini menceritakan bahwa grup Reyog Singo Mangku Joyo ini mayoritas beranggotakan orang-orang yang masih memiliki pertalian keluarga. Singo Mangku Joyo saat ini memilik 52 orang anggota tetap, dari anak-anak hingga dewasa. Anggota itu memiliki tupoksinya sendiri-sendiri. Ada yang menjadi Reyog, Kelono Suwandono, Warok, Bujang Ganongan, Jathil, maupun menjadi pengiring musiknya.
Dituturkan pula oleh Giarto, bahwa grup reyog ini sempat menghadapi banyak hambatan. Pada tahun 80-an, Singo Mangku Joyo sangat kesulitan mencari anggota. Reyog sebagai kesenian tradisional Jawa ketika itu seringkali dikaitkan dengan setan, klenik, dan hal-hal berbau mistis lainnya.
Masyarakat di sekitar Kertajaya pun waktu itu tidak suka dengan eksistensi mereka, tapi berkat sosialisasi yang baik antar warga dan Kelompok Seni Singo Mangku Joyo, Kertajaya V saat ini justru disematkan nama Gang Reyog oleh masyarakat Surabaya.
Berbeda dengan dulu, kesenian Reyog saat ini sangat diminati. Dulu, tidak banyak orang yang tertarik pada Reyog, sebab terlanjur menganggap kesenian Reyog sebagai praktik mistis. Sekarang, masyarakat turut menggeluti Reyog yang begitu sarat akan unsur seni dan budaya, kearifan lokal, serta ilmu kanuragan.
Banyak yang mempelajari Reyog dari kalangan siswa hingga mahasiswa, baik dari sisi olah tubuh, kanuragan, maupun seninya. Oleh karena itu, kelompok seni yang sekarang dibina oleh PLN Distribusi Jawa Timur ini mulai kembali diminati. Beberapa waktu lalu, klaim oleh Malaysia membuat banyak orang tertarik untuk menggeluti kesenian Reyog.
Kelompok Seni Reyog Mangku Joyo diketahui memiliki sederet prestasi, ditandai dengan banyaknya piala yang diperoleh, hingga Giarto tidak memiliki tempat lagi untuk menyimpannya. Beberapa piala yang paling berkesan dan terkenang tentu saja tetap disimpan, di antaranya juara umum Liga Reyog Internasional 1995. Membuat harum nama Surabaya, grup ini menyisihkan Ponorogo sebagai tuan rumah kesenian Reyog. Piala-piala yang berjejer di rak Gang Reyog membuktikan bahwa eksistensi grup ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Singo Mangku Joyo memang bertransformasi dan mengikuti perkembangan zaman. Meski tidak sampai meninggalkan pakem, namun Singo Mangku Joyo menambahkan unsur kesenian lain, seperti Tari Remo, Jaranan, Silat, dan Breakdance dengan penataan musik yang lebih variatif.
Singo Mangku Joyo memang tidak pernah kehabisan jadwal pertunjukan. Setiap bulannya, rata-rata satu hingga empat kali tampil. Digelarnya pertunjukan Reyog di Balai Pemuda setiap minggu pagi berarti penghidupan bagi grup Singo Mangku Joyo. Selain itu, undangan sebagai penampil untuk menyambut tamu dari Luar Negeri juga membuat Singo Mangku Joyo tidak pernah sepi panggung. Seperti pada tahun 2016 lalu, ketika Surabaya menjadi tuan rumah bagi The Third Session of The Preparatory Committee for Habitat III (PrepCom3) yang menghadirkan ratusan Reyog sebagai penyambut acara tersebut.
Meski begitu, mengelola kelompok seni Reyog tidak semudah yang dibayangkan. Pak Giarto menjelaskan ihwal perawatan properti Reyog yang tidak murah. Untuk bulu meraknya saja, bisa sampai ratusan juta rupiah. Yah, satu bulu merak (yang banyak diimpor dari China maupun India) itu harganya Rp. 10.000. sedangkan yang dibutuhkan untuk satu kepala Reyog adalah 110 helai bulu merak.
Begitu juga dengan tempat latihan. Tidak mudah mencari ruang yang luas untuk berlatih Reyog di kota metropolitan terbesar di Jawa Timur. Dulu, Singo Mangku Joyo biasa berlatih di sebuah taman yang terletak di tengah Jalan Kertajaya. Kini taman itu sudah tidak ada. Pelebaran jalan menjadi alasan dibebaskannya lahan yang semula merupakan tempat Singo Mangku Joyo berlatih.
Menjadikan Taman Budaya Jawa Timur Genteng Kali sebagai tempat latihan merupakan solusi yang sulit terealisasi. Selain jaraknya yang jauh, sebagai tempat seluruh kesenian di Surabaya, Taman Budaya Jawa Timur juga memiliki jadwal yang padat. Sedangkan antrean giliran untuk latihan, terkadang juga membuat jengkel, karena tidak memiliki prosedur yang jelas.
Giarto menjelaskan, saat ini memang sulit jika ingin menjadikan Reyog sebagai mata pencaharian. Upah satu kali pertunjukan Reyog, dibagi 42 orang pemain Reyog, tentu tidaklah seberapa besarnya. Oleh karena itu, Singo Mangku Joyo juga hidup dengan berjualan aneka cenderamata khas Ponorogo untuk bertahan hidup. Beberapa anggota Singo Mangku Joyo lain pun menjadi wiraswasta untuk menyambung hidup di Surabaya. “Reyog itu asli Ponorogo, Mas. Meskipun saya tinggal di Surabaya atau di Kutub Utara sekalipun, saya akan terus melestarikannya. Karena tugas melestarikan selalu ada dalam tiap darah keturunan Ponorogo.” pungkasnya.
Semangat Giarto untuk melestarikan kesenian Reyog memang patut diapresiasi. Ia terus bertahan di tengah laju zaman. Gang Reyog terus eksis di antara bangunan-bangunan tinggi menjulang yang terus dibangun di Surabaya. Patung Reyog di sisi jalan tetap berdiri tegak meski dikepung debu jalanan dan asap knalpot. Gang Reyog adalah gambaran tradisi yang tidak pernah menyerah di tengah pesatnya pembangunan kota metropolitan.
Penyunting: Nadya Gadzali