Sebagai provinsi dengan jumlah penutur bahasa Sunda terbanyak setelah Jawa Barat, bahasa Sunda Banten dinilai lebih orisinal. Pasalnya, di sana terdapat populasi suku pedalaman Badui yang dianggap sebagai penutur asli bahasa Sunda dan tidak mengenal undak usuk yang merupakan pengaruh dari bahasa Jawa pada kerajaan Mataram. Namun, sejauh ini belum ada kaidah baku terkait bahasa Sunda Banten, sehingga membuat eksistensinya tergeser, terabaikan, dan terlupakan.

Hal itu setidaknya dipengaruhi oleh kaidah bahasa Sunda yang masih menggunakan versi Priangan sebagai kurikulum pendidikan dan senarai istilah dalam bahasa Sunda Banten, sangat sulit ditemukan (termasuk di kamus-kamus besar). Padahal, banyak perbedaan antara bahasa Sunda Banten dan bahasa Sunda Priangan, baik dari segi dialek, kosakata, aturan, serta penggunaannya.

Bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda memiliki eksistensi yang cukup tinggi di kancah nasional. Berdasarkan hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa Jawa digunakan di lima belas provinsi di Indonesia, sedangkan bahasa Sunda digunakan di tujuh provinsi.

Meskipun bahasa Sunda digunakan di lebih dari dua provinsi, bahasa Sunda Banten secara khusus tidak digunakan di daerah lain, sedangkan bahasa Sunda Banten memiliki perbedaan bahasa mencapai 80% dari daerah lain. Perbedaan ini menyebabkan eksistensi bahasa Sunda Banten tidak banyak diketahui di tingkat nasional.

Penyebabnya, bisa pula karena ketidaktahuan masyarakat akan adanya bahasa Sunda Banten yang sedikit berbeda dengan bahasa Sunda Priangan, atau keengganan sang penutur dalam menyebarluaskan bahasa Sunda Banten karena dianggap tidak baku, kurang baik, atau terlalu “kasar”. Misalnya, ketika di ruang publik, orang Sunda (baik penutur Sunda Banten, maupun Sunda Priangan) cenderung menggunakan istilah hapunten daripada hampura untuk menyatakan kesopanan atau kehalusan, atau tara daripada tilok untuk menyeragamkan penggunaan kosakata.

Bahkan, “Tong Sarakah” sebagai salah satu lagu daerah provinsi Banten yang berbahasa Sunda pun menggunakan dialek Priangan, bukan dialek Banten. Padahal, kata tong bisa diganti dengan ulah dan kata sarakah bisa diganti hawek untuk menunjukkan orisinalitas dialek bahasa Sunda Banten.

Stereotip masyarakat—bahkan masyarakat asli Banten sendiri—yang beranggapan bahwa bahasa Sunda Banten itu kasar sudah terlanjur mengakar dan sulit dihilangkan. Padahal, sesungguhnya tidak ada bahasa yang kasar, karena bahasa bersifat netral.

Adapun faktor yang menjadikan bahasa dianggap kasar adalah perspektif penutur dan penggunaannya. Misalnya, kata “anjing” dalam bahasa Indonesia merujuk pada salah satu binatang yang menggonggong. Kata tersebut pantas dan layak disematkan kepada binatang tersebut. Namun, kata itu akan menjadi kasar dan tidak pantas bila disematkan kepada manusia. Begitu pula kata sejenisnya seperti “bagong”, “kambing”, dan “setan”.

Sama halnya dengan bahasa Sunda Banten. Walau secara teori, bahasa Sunda Banten tidak memiliki undak usuk (tingkatan bahasa), tetapi pada praktiknya, masyarakat penuturnya tetap menggunakan bahasa sesuai dengan lawan bicara atau kondisi pembicaraan. Walau di sejumlah tempat, termasuk Badui, kaidah tersebut nyaris belum berlaku.

Namun, sedikit demi sedikit masyarakat Badui mulai membedakan kosakata yang dipakai ketika berbicara dengan orang tua, sebaya, atau dengan yang lebih muda. Misalnya, orang Banten—termasuk Badui—biasa berdialog dengan teman sebaya atau orang yang lebih muda dengan ungkapan aing-sia. Namun, saat berbicara dengan orang tua berubah menjadi kami-kumanéh atau kula-anjeun.

Ungkapan aing-sia untuk teman sebaya tentu saja masih dianggap kasar oleh penutur Sunda Priangan. Mereka lazim menggunakan urang-manéh, bahkan terkadang lebih halus dengan ungkapan ab(d)i-anjeun. Walau sesekali juga ditemukan masyarakat Priangan mengatakan aing dengan sedikit malu-malu dan siah dengan tambahan huruf ha di akhir kata.

Beberapa masyarakat Priangan juga menganggap sapaan anjeun kepada orang yang lebih tua masih terhitung kasar. Sebagai gantinya, mereka menyapa dengan menggunakan kata salira. Kemudian, seperti yang telah diduga, standar halus dan kasar berpihak pada Sunda Priangan.

Sekali pun aing-sia terdengar biasa di Banten, tetapi tetap dinilai kasar oleh masyarakat Priangan. Padahal, tingkatan yang lebih kasar di Banten adalah ngaing dengan penekanan pada dengung huruf a dan dia dengan menekankan artikulasi huruf de.

Contoh ungkapan lain yang memiliki perspektif berbeda antara Sunda Banten dan Priangan adalah bikang-jalu. Bagi penutur Sunda Banten, ungkapan tersebut lazim digunakan kepada manusia dalam ranah pergaulan sebaya. Akan tetapi, orang Priangan menganggapnya sebagai istilah paling kasar untuk menyebut perempuan dan laki-laki. Bahkan, mereka menganggap bahwa bikang-jalu hanya ditujukan untuk binatang.

Masih banyak contoh lain yang memiliki perbedaan perspektif, seperti kotok yang dipahami sebagai ayam secara utuh oleh orang Banten, tetapi dipahami sebagai kotoran ayam oleh orang Priangan, atau éra yang dianggap kasar oleh penduduk Priangan ternyata dianggap halus oleh penduduk Banten, sementara isin menjadi halus di Priangan dan kasar di Banten. Namun, bahasa Sunda Banten seolah tidak memiliki panggung di dalam kancah bahasa Sunda secara nasional, bahasa Sunda yang dianggap baku hanya Priangan.

Selain dari pengaruh Kerajaan Mataram, polarisasi kasar-halus dan sentralisasi Priangan sebagai role model bahasa Sunda yang ideal juga dipengaruhi oleh kekuasaan Belanda pada masa kejayaannya di Nusantara. Telah mafhum bahwa Kesultanan Banten adalah rival Mataram yang berada di sebelah barat.

Nina H. Lubis dalam "Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800-1942" menyatakan bahwa masyarakat Banten boleh dibilang tidak terpengaruh oleh Mataram. Sementara itu, adanya perjanjian antara Mataram dan VOC, membuat kekuasaan Mataram atas seluruh wilayah Priangan berakhir. Hal itu setelah Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur pada 19-20 Oktober 1677 dan wilayah Priangan Tengah dan Barat pada 5 Oktober 1705.

Keruntuhan Mataram tersebut akhirnya menjadikan Gubernur Jenderal VOC menduduki wilayah Priangan secara utuh menggantikan posisi Sultan Mataram. Pada saat itu, Priangan dijadikan pusat pemerintahan bagi pemerintahan Belanda, sehingga bahasa resmi kenegaraan yang digunakan di daerah Priangan adalah Sunda Priangan.

Pada tanggal 10 Agustus 1815, Reza Dienaputra dalam "Sunda: Sejarah, Budaya, dan Politik", menjelaskan bahwa di bawah kepemimpinan Stamford Raffles, wilayah Tatar Sunda diperluas hingga dibagi menjadi empat wilayah karesidenan, yaitu Banten, Buitenzorg (Bogor), Cirebon, dan Priangan.

Sedangkan Ajip Rosidi, penulis buku "Hurip Waras: Dua Panineungan", menyatakan bahwa sentralisasi Priangan sebagai ibukota pemerintahan Belanda di Tatar Sunda, dan istilah Pasundan yang sering diidentikkan dengan Priangan tanpa Banten dan Cirebon serta tercemar oleh kasus Partai rakyat Pasundan pimpinan Musa Suriakartalegawa, menjadikan posisi bahasa Sunda Priangan semakin kuat dan bahasa Sunda Banten semakin terbelakang.

Reza Dienaputra memperkuat penjelasannya tentang Pulau Jawa, yakni bahwa pada tahun 1926, Pulau Jawa dibagi menjadi tiga provinsi, salah satunya adalah Jawa Barat yang merupakan pengganti dari Tatar Sunda. Provinsi Jawa Barat pada saat itu terbagi menjadi 5 karesidenan, 18 kabupaten, dan 6 kotapraja.

Sekali pun ibukotanya telah dialihkan dari Priangan ke Batavia, tetapi pengaruh Sunda Priangan tetap besar, karena sebelumnya telah muncul Paguyuban Pasundan yang menuntut Pemerintahan Kolonial Belanda untuk membentuk provinsi bernama Provinsi Pasundan. Artinya, sekali pun Belanda tidak mengabulkan tuntutan Paguyuban Pasundan dengan menamai provinsi buatannya menjadi Jawa Barat—alih-alih Pasundan—peran masyarakat Sunda yang didominasi oleh Priangan telah menggerus eksistensi masyarakat Banten dengan dialek bahasa Sundanya yang khas.

Hingga hari ini, setelah dua puluh tahun lebih Banten melepaskan diri dari Jawa Barat, ciri khas dan eksistensinya masih belum benar-benar diakui. Bahkan, eksistensi bahasa Sunda Banten kalah dibandingkan bahasa Sunda dialek Cirebon. Hal itu dikarenakan bahwa pada tahun 1985, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah merilis satu buku tentang struktur bahasa Sunda dialek Cirebon.

Bila Cirebon saja yang hingga sekarang masih tergabung dalam provinsi Jawa Barat telah memiliki struktur dan aturan baku terkait bahasa Sunda yang ada di sana, lantas apa yang menghalangi Banten untuk mengikuti jejak tersebut?

Dirangkum dari situs www.unpad.ac.id, apabila fenomena tersebut terus berlanjut, maka eksistensi bahasa Sunda Banten tidak hanya akan mengalami penurunan, lebih dari itu akan mengalami kepunahan, seperti halnya budaya Sunda secara umum yang kini sudah mulai ditinggalkan.

Terlebih, dewasa ini masyarakat Badui sebagai penutur asli bahasa Sunda Banten sudah mulai dikenalkan pada bahasa Indonesia dan bahasa asing, serta terpengaruh dialek Sunda Priangan, seiring meningkatnya wisatawan yang berkunjung ke sana. Maka, agar Badui tetap menjadi destinasi wisata kebudayaan—tanpa menghilangkan ciri khas berbahasanya—diperlukan adanya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bahasa Sunda Banten dalam bentuk kaidah baku, peraturan perundang-undangan, dan program lanjutan terkait bahasa Sunda Banten seperti pembinaan sumber daya manusia.

Kaidah baku tersebut mencakup senarai dan kamus berisi lema dan istilah dalam bahasa Sunda Banten, beserta aturan tata bahasanya di luar kaidah undak usuk milik Priangan, peraturan perundang-undangan mencakup peraturan daerah tentang pentingnya pemeliharaan dan penggunaan bahasa Sunda Banten, serta program lanjutan yang mencakup konsistensi pengkajian dan penelitian bahasa Sunda Banten dalam bentuk pertemuan ilmiah yang digelar secara berkala dan berkelanjutan.

Sejalan dengan kewajiban pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah untuk melakukan pemeliharaan, penyelamatan, dan pengembangan Objek Pemajuan Kebudayaan (untuk selanjutnya disebut OPK)—dalam hal ini bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda Banten. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 24 ayat 1 sampai 4, pasal 26 ayat 1 sampai 3, dan pasal 30 ayat 1 sampai 3. Selain itu, peraturan perundang-undangan terkait bahasa daerah juga mulai diinisiasi oleh Kantor Bahasa Banten, sehingga pemerintah daerah telah membuat rencana penyusunan perda Provinsi Banten tentang pelindungan bahasa daerah sejak tahun 2018 lalu, meskipun belum ada perkembangan lebih lanjut.

Bahkan, urgensi bahasa Sunda Banten tidak hanya dicetuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan juga dalam bentuk kaidah baku dan produk berkelanjutan sesuai Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Provinsi Banten. Kedua hal tersebut tercatat dalam rekomendasi Prakongres Kebudayaan II tahun 2018 terkait 25% indikator capaian perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Kongres Bahasa Lokal di Banten dan 20% indikator capaian sarana dan prasarana belajar bahasa Sunda Banten pada tahun 2024 mendatang.

Namun, sejauh ini Kantor Bahasa Banten sebagai salah satu lembaga pemartabatan bahasa daerah di Banten terhitung kurang cekatan dalam menyikapi problematika tersebut, wacananya hanya terkesan mendesak pemerintah provinsi di awal tanpa ada tindak lanjut, sehingga tidak terdengar lagi. Bahkan, para pemangku jabatan pun seolah enggan melestarikan bahasa Sunda dialek Banten dengan tidak menggunakannya dalam ruang lingkup pendidikan formal dan pemerintahan.

Terakhir, ajang pemilihan Duta Bahasa Provinsi Banten yang berada di bawah naungan Kantor Bahasa Banten dan seharusnya menjadi garda terdepan untuk mengampanyekan eksistensi bahasa daerah Banten—termasuk bahasa Sunda dialek Banten—justru tidak pernah terdengar kontribusinya. Pada saat pemilihan Duta Bahasa pun, pihak penyelenggara hanya mengedepankan keahlian dan penguasaan bahasa Indonesia dan asing, tetapi keahlian dan penguasaan bahasa daerah Banten sama sekali tidak dijadikan bahan ujian. Berbeda dengan pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat yang setiap tahun digelar dengan mengharuskan para peserta menguasai satu dari tiga bahasa daerah di provinsi Jawa Barat.

Semestinya, Banten sebagai provinsi tersendiri dan memiliki kebudayaan dan bahasa sendiri, mencontoh Jawa Barat dalam melestarikan bahasa daerahnya, termasuk bahasa Sunda Banten. Namun hingga kini, bahasa Sunda Banten hanya dibahas dalam forum resmi di provinsi Jawa Barat, menumpang pada eksistensi bahasa Sunda Priangan. Belum ada pertemuan dan penelaahan resmi antara peneliti bahasa dan budayawan lokal untuk membahas dan mengkaji eksistensi bahasa Sunda Banten secara khusus sebagai identitas daerah.

Penyunting: Nadya Gadzali