Seren Taun adalah salah satu upacara adat yang digelar di Jawa Barat. Peristiwa budaya ini berlangsung selama satu pekan dan sudah menjadi calender event bagi masyarakat adat Sunda yang masih menjalankan tradisi nenek moyang di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.

Seren Taun dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat agraris Sunda di Desa Cigugur. Keberadaan upacara adat Seren Taun begitu sarat akan unsur romantika, serta berkaitan erat dengan kepercayaan Sunda Wiwitan.

Ruang Jinem, tempat pelaksanaan upacara adat Seren Taun/ Yatno Kartaradjasa

Seperti kita ketahui, kepercayaan lokal tidak pernah diakui sebagai suatu keyakinan oleh pemerintah. Namun, masyarakat adat di Desa Cigugur masih tetap menjalankan upacara adat Seren Taun sejak tokoh spiritual Sunda Wiwitan—Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat (1822–1939) yang kemudian dilanjutkan oleh putranya—Pangeran Tedja Buwana dan diteruskan oleh cucunya Pangeran Djatikusuma.

Dari waktu ke waktu, upacara adat ini mengalami pasang surut. Kelurahan (desa) Cigugur yang berada di kaki Gunung Ciremai (3.813 mdpl) ini berketinggian sekitar 700–800 meter di atas permukaan air laut. Jumlah penduduknya berjumlah sekitar 9.730 jiwa, yakni terdiri dari 2.349 kepala keluarga yang tersebar di 15 RW dan 42 RT di luas wilayah 661.122 hektar.

Mayoritas penduduk di Kelurahan Cigugur melakukan pekerjaan sebagai petani dan penggarap lahan, serta menjalankan usaha peternakan sapi perah. Di samping itu, ada yang memproduksi makanan kecil atau produksi pembuatan peuyeum ketan (tape ketan).

Seperti umumnya etnis Sunda di Jawa Barat yang menggarap lahan pertanian dan menjalankan usaha pertanian, maka banyak pula bermunculan bentuk-bentuk kesenian etnis Sunda yang berkaitan dengan kehidupan agraris, di antaranya adalah Seren Taun.

Upacara adat Seren Taun tidak hanya digelar di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan saja, melainkan di Sukabumi, Sumedang Larang, Kampung Naga, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok Sukabumi, Sindang Barang Pasir Eurih Kabupaten Bogor, Kanekes Lebak Banten, dan Ciptagelar.

Uniknya, pelaksanaan upacara adat Seren Taun di Desa Cigugur tak hanya diikuti oleh penganut Sunda Wiwitan saja, tetapi juga oleh penganut agama lain, seperti Islam, Kristen Katolik, Hindu, Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan agama Buddha.

Prosesi Seren Taun yang dihadiri oleh pengunjung dari berbagai daerah/ Yatno Kartaradjasa

Sempat Dilarang oleh Pemerintah

Di era Orde Baru, upacara adat Seren Taun sempat dilarang oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat No. 44/1982. Maka Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan pun melarang pelaksanaan upacara adat Seren Taun.

Seiring berjalannya waktu, Seren Taun di Desa Cigugur kembali bergeliat. Terlebih setelah lengsernya Presiden Soeharto, bergulirnya reformasi 1998, serta kegigihan P. Djatikusumah selaku sesepuh adat Sunda Wiwitan yang memberikan pencerahan kepada budayawan dan agamawan.

Makna Seren Taun

Seperti upacara adat lainnya, Seren Taun juga memiliki makna filosofisnya tersendiri. Pelaksanaan Seren Taun diawali dengan penentuan tanggal menurut kalender Saka Sunda yang jatuh pada tanggal 22 Rayagung 1954 , atau yang bertepatan dengan tanggal 1 Agustus 2012. Makna dari Seren Taun menurut P. Djatikusumah, selaku sesepuh masyarakat adat Sunda Wiwitan, tradisi ini dilaksanakan setahun sekali sebagai manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sesepuh Adat masyarakat Sunda Wiwitan: P. Djatikusumah dan Emilia Djatikusumah/ Yatno Kartaradjasa

Upacara adat Seren Taun begitu sarat akan makna. Setiap tahun orang-orang menghadiri Seren Taun di Desa Cigugur. Masyarakat agraris Sunda dari seluruh penjuru tatar Sunda, bertemu dalam satu wadah. Masyarakat adat dari berbagai Kabupaten di Jawa Barat seperti dari Kabupaten Garut, Sumedang Larang (Ranca Kalong) Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Kabupaten Bandung, dan masyarakat Bumi Segandu Losarang Indramayu.

Masyarakat adat Sunda yang masih melaksanakan ritual Sunda Wiwitan, mengungkapkan rasa syukur atas panen yang berlimpah di tahun yang lalu dan berharap di tahun depan Tuhan akan melimpahkan hasil panen yang lebih baik. Seren berarti menyerahkan dari tahun yang terdiri dari dua belas bulan, dapat diartikan sebagai upacara penyerahan hasil panen, serta memohon berkah dan perlindungan untuk tahun yang akan datang.

Upacara ini diawali dengan upacara ngajayak (menjemput) pada tanggal 18 Rayagung. Ngajayak dalam bahasa Sunda berarti menerima dan menyambut. Sedangkan bilangan 18 yang diucapkan dalapan welas, berkonotasi welas dan asih yang artinya cinta kasih, serta kemurahan Tuhan yang telah menganugerahkan kehidupan bagi umatnya di penjuru bumi.

Sedangkan puncak acara tanggal 22 Rayagung dimaknai sebagai rangkaian 20 dan 2, melambangkan padi yang ditumbuk berjumlah 20 kwintal dan 2 kwintal digunakan sebagai benih. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat agraris Sunda tidak dapat dipisahkan dengan kisah legenda Dewi Sri, sang pemberi kesuburan dan utusan jabaning langit yang turun ke bumi.

Dalam keyakinan Sunda Wiwitan, angka 20 merefleksikan unsur anatomi tubuh manusia, yaitu getih (darah), daging, bulu, kuku, rambut, kulit, urat, polo atau otak, bayah atau paru, ari atau hati, kalilimpa atau limpa, mamaras atau maras, hamperu atau empedu, tulang, sumsum, lamad atau lemak, gegembung atau lambung, peujit atau usus, ginjal, dan jantung.

20 sifat tersebut menyatukan organ dan sel tubuh dengan fungsi yang beraneka ragam. Jasmani dipandang sebagai struktur hidup yang memiliki proses, seperti hukum adikodrati yang menjelma jirim (raga) dan jisim (nurani). Sedangkan bilangan 2, mengacu pada pengertian bahwa kehidupan siang dan malam, suka duka, dan lain sebagainya.

Dalam upacara Seren Taun inilah dikisahkan cerita klasik sastra Sunda, seperti kisah Pwah Aci yang juga dikenal dengan Dewi Sri, tokoh yang melegenda dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat agraris Sunda. Maka tidak mengherankan jika Seren Taun tiba, pembuatan wayang padi (wayang yang terbuat dari padi) akan dijadikan cenderamata bagi pengunjung, terutama pejabat, wisatawan dalam negeri, dan turis mancanegara.

Prosesi Upacara Adat Seren Taun/ Yatno Kartaradjasa

Rangkaian Upacara Adat Seren Taun

Upacara adat Seren Taun yang diselenggarakan selama tujuh hari (sepekan), sarat akan gelaran budaya dan seni, dialog budaya, pertanian, serta pertukaran informasi tentang hasil panen yang dihasilkan tahun lalu. Hampir sepekan itulah Gedung Paseban Tri Panca Tunggal yang dibangun pada tahun 1840 yang terletak di jalan Raya Cigugur, ramai dikunjungi oleh masyarakat Sunda, budayawan, seniman, juga agamawan dari berbagai daerah di Indonesia.

Gedung Paseban Tri Panca Tunggal/ Yatno Kartaradjasa

Bersyukur kepada Tuhan bahwa tahun ini, hasil panen lebih baik. Dalam ungkapan syukur itu kemudian direkflesikan lewat beragam kesenian dan prosesi ritual Seren Taun yang meliputi:

Ngajayak

Prosesi ini diikuti oleh rombongan dari empat penjuru yang terdiri dari lulugu barisan muda-mudi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang membawa padi serta buah-buahan menuju lokasi upacara.

Ngajayak yang dibawa oleh rombongan dari berbagai penjuru/ Yatno Kartaradjasa

Ngareremokeun

Ritual ini dilakukan pada malam puncak Seren Taun. Bertemu energi hidup dari Sang Hyang Asri Pwah Aci, yang disimbolkan dalam kekuatan tumbuhnya pucuk pohon dan kesuburan tanah. Ritual ini diiringi permainan angklung buncis dari Kanekes.

Kidung Spiritual

Upacara ini, dilakukan setelah seluruh undangan dan para pejabat menyaksikan beberapa pentas tari. Tari Buyung ciptaan Ibu Emalia P. Djatikusumah merupakan ikon acara ini. Disusul beberapa tari lainnya seperti Tari Ponggawa. Kidung Spiritual adalah doa yang dipanjatkan bersama-sama dengan seluruh pemeluk agama yang ada di Cigugur.

Nutu (menumbuk padi)

Puncak dari Upacara Adat Seren Taun adalah menumbuk padi secara bersama-sama dengan masyarakat adat dan seluruh peserta yang hadir. Diawali oleh Sesepuh Adat masyarakat Sunda Wiwitan, P. Djatikusumah, pejabat daerah (Bupati), beserta seluruh undangan yang hadir.

Tampak kesatuan yang utuh ketika menumbuk padi bersama. Nilai-nilai kebangsaan begitu terasa. Pejabat dan seluruh lapisan masyarakat memiliki keyakinan yang berbeda. Pemeluk agama Islam, Nasrani, Hindu, Buddha, dan Sunda Wiwitan menumbuk padi bersama.

Spirit kebersamaan dalam tradisi Seren Taun: menumbuk padi (nutu) bersama-sama/ Yatno Kartaradjasa

Pada malam puncak gelaran Seren Taun, kesenian-kesenian tradisional etnis Sunda datang dari berbagai daerah di Jawa Barat. Bahkan, ada yang berasal dari luar etnis Sunda, ikut menyemarakan upacara adat Seren Taun. Kelompok seni tradisional Sunda itu antara lain:

Gondang

Seni paduan kawih Sunda yang terdiri dari Ibu-ibu masyarakat adat. Menampilkan kecerian dan rasa syukur pada saat menumbuk padi dengan alu dan lesung, sembari diiringi musik tradisional.

Angklung Buncis

Kesenian tradisional ini berasal dari Kanekes, Banten. Didukung oleh 50 orang warga Kanekes, angklung buncis menggambarkan keceriaan masyarakat petani dalam menyambut hasil panen, serta rasa syukur atas rezeki yang diperoleh. Berharap di tahun depan, Tuhan akan memberikan berkahnya melalui hasil pertanian yang berlimpah.

Tari Buyung

Tarian khas masyarakat Desa Cigugur ini merupakan hasil olah pikir dan olah rasa dari Ibu Emilia Djatikusuma (Ibu Sepuh). Tarian ini menggambarkan kegiatan perempuan Desa Cigugur saat mengambil air untuk keperluan sehari-hari.

Buyung adalah tempat untuk mengambil air. Kegiatan wanita desa inilah yang menginspirasi Ibu Emila Djatikusumah, sehingga melahirkan Tari Buyung yang kemudian menjadi tarian ikonik perayaan Seren Taun.

Tari Buyung ciptaan Ibu Emilia Djatikusumah/ Yatno Kartaradjasa

Pesta Dadung

Pesta Dadung ialah syukuran bagi para petani dan anak-anak gembala. Dadung artinya tali, kemudian ditalikan dengan lantunan rajah yang mengandung makna adanya kesinambungan dalam menjaga dan merawat alam dari generasi ke generasi.

Upacara Adat Seren Taun di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat ini bagaikan semaian budaya bangsa yang terserak. Beberapa daerah di Jawa Barat yang mayoritas adalah etnis Sunda, menggelar keseniannya masing-masing, seperti Kabupaten Sumedang Larang dengan Tarawangsa yang tergolong sangat buhun (kuno).

Masyarakat etnis Sunda agraris ini, tentu akan menerima kehadiran seni dari etnis lainnya, sebagai etnis yang termasuk egaliter. Beberapa kesenian di Jawa Barat hidup berdampingan dengan seni Sunda dan tidak saling menjatuhkan. Seren Taun berhasil menciptakan semangat bangkitnya kebudayaan daerah.

Yayasan Tri Mulya sebagai penyelenggara hajat besar masyarakat agrais Sunda ini, selayaknya diapresiasi oleh khalayak. Sebagai peristiwa budaya yang tetap eksis di tengah masyarakat global yang modern di era milenial, Seren Taun adalah wajah budaya kita yang sesungguhnya. Budaya dalam pengertian luas, yakni hidup berdampingan di tanah leluhur bernama Indonesia.

Rajah

Sampurasun ka rumuhun. Ka Hyang Perbu Silih Wangi. Nu murwa di Pajajaran. Pangauban seuweu-siwi. Nu gelar di tatar Sunda. Muga nebarkeun wawangi. Ngembatkeun jalan laratan. Papadang lahir jeung batin. Maluruh jatining hurip. Milari jisim teu jirim. Mapay uga nu waruga. Panonoban pangacikan. Nu ditutup ku mandepun. Nu geus heubel nyumput buni. Nyumput buni dinu caang. Mun teu surti hamo panggih. Da puguh kaliliwatan da puguh haleuang urang.

Ahung…

Artinya: Salam kepada leluhur. Kepada Hyang Prabu Siliwangi. Yang mengawali Pajajaran. Bersama-sama para keturunan. Anda memiliki gelar di tanah Sunda. Semoga menebarkan aroma. Melawan jalan yang buruk. Lapang lahir dan batin. Maluh adalah inti dari kehidupan. Mencari raga yang tak tampak. Mencari tanda dalam raga. Panonoman pangacikan. Yang ditutup oleh pencarian. Yang sudah kuno menyembunyikan diri. Tersembunyi di balik cahaya. Jika tidak mengerti bahasa isyarat. Pasti tersampaikan lewat nyanyian kita.

Hormat...

Penyunting: Nadya Gadzali