“Kepakan tangannya melahirkan riang, iramanya menyuarakan keindahan, keselarasannya melukiskan kebersamaan. Puji syukur terpanjatkan hampir setiap waktu, penjagaan atas anugerah dengan coretan indah, teriring lewat lantunan  serta gerak tangan yang menyibakkan ungkapan rasa”

Suara gemericik air terdengar sejak kaki ini menginjak pematang sawah. Jaraknya masih cukup jauh dari tempat kaki ini berdiri. Kemudian langkah ini mendekat ke sumber suara gemercik aliran air itu, irama samar-samar terdengar. Tampak sejumlah perempuan paruh baya sedang bermain air dengan riang, berbalut selembar kain di tubuhnya, baju yang akan dibasuh menumpuk di tepian, nyanyian terdengar indah. Sesekali, anak-anak menimbrungi ibu-ibunya yang sedang bermain dan bernyanyi itu.

Situasi yang terasa damai di hati itu masih dapat dilihat di Desa Pluneng, Klaten. Usai mencuci baju, ibu-ibu melepaskan lelah dengan bernyanyi dan bermain musik dengan media air. Kiranya, menjadi sebuah keberuntungan bagi saya, dapat hadir melihat keindahan semacam ini.

Bukan sebuah pertunjukan musik, namun musik yang menemani pertunjukan kehidupan di sana. Tepukan tangan memecah  air sehingga melahirkan bunyi. Bunyi yang ditata oleh pemain, melahirkan estetika yang sangat menenangkan. Mereka menyebut aktivitas tersebut dengan nama kesenian ciblon.

Selaras dengan Alam

Kesenian adalah produk kebudayaan yang diperoleh dari pengejawantahan pikiran manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Hidup dengan keadaan geografis yang dikelilingi sumber mata air, akan melahirkan pola keseharian yang banyak memanfaatkan media air. Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat yang tinggal di Desa Pluneng. Mereka menggunakan air sebagai instrumen musik yang bernama ciblon.

Ciblon yang hanya dapat dimainkan dengan media air dan menjadi istimewa lantaran memiliki ciri khas tersendiri. Selain mengandung unsur estetis, kesenian ini ditujukan untuk menjaga keberadaan sumber mata air.

Selain penjagaan terhadap alam, bunyi yang dihasilkan oleh ciblon menjadi perwujudan interaksi antara manusia dengan alam. Melalui bunyi yang dihasilkan, manusia akan menyadari berkah alam dalam bentuk sumber mata air. Kesenian yang tertinggi adalah yang paling setia menyalin alam itu (Abdullah, 1980), sedangkan menurut Plato, karya seni hanyalah tiruan dari realita yang ada: realita yang ada adalah tiruan (mimesis) dari yang asli.

Pola-pola semacam ini merupakan coretan leluhur yang banyak ditemukan pada fenomena lain. Pola-pola komunikasi dengan alam yang terjalin, menjaga keberadaan alam, memanfaatkan keberadaan alam, serta hidup berdampingan dengan alam, hal-hal tersebutlah yang layak untuk diperjuangkan dewasa ini.

Selaras dengan Sesama Manusia

Kesenian ciblon tidak dapat dimainkan sendiri, karena terdapat pola-pola tertentu agar menciptakan harmoni. Dalam memainkannya, setidaknya harus dibawakan oleh empat orang: dengan memainkan pola yang berbeda-beda. Bahkan, terkadang dimainkan lebih dari sepuluh orang.

Selain itu, masyarakat Pluneng umumnya memiliki mesin cuci. Namun, mereka lebih memilih untuk mencuci di area sumber mata air. Alasannya, agar mereka dapat memainkan ciblon. Hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja, karena secara kontekstual, adanya kesenian ciblon dapat menyatukan masyarakat dalam satu wadah. Saat menyaksikan permainan ciblon, mereka saling bergurau dan tampak riang.  

Jika dianalogikan, ciblon ibarat “cawan lebur” yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat di tengah kesibukan masing-masing. Lebih dari itu, mampu merekatkan kerenggangan sosial yang terjadi.

Selaras dengan Tuhan

Salah satu hal yang dinantikan oleh masyarakat Pluneng setiap tahun adalah gelaran “syukuran banyu” di Umbul Tirtomulyono (sering disebut Umbul Pluneng). Gelaran ini ditujukan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah air yang melimpah di desa tersebut.

Sajian utama yang akan dihadirkan adalah kesenian ciblon. Menurut mereka, ungkapan rasa syukur atas anugerah air yang dilimpahkan adalah dengan memanfaatkan sambil menjaganya. Ciblon menjadi salah satu wujud rasa syukur masyarakat Pluneng.

Meskipun, gelaran “syukuran banyu” belum lama dilakukan, namun antusiasme masyarakat begitu tinggi. Panjatan doa selalu dilantunkan dalam pelaksanaan “syukuran banyu” ini. Harapan akan kelangsungan sumber mata air terus dipelihara, agar kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi.

Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Desa Pluneng tidak lantas hanyut atas anugerah yang telah Tuhan berikan. Ciblon menjadi cara utama dalam mengucapkan rasa syukur sekaligus menjadi simbol keselarasan antara masyarakat, alam, dan Sang Pencipta.

Upaya untuk menciptakan keharmonisan tentu tidak mudah. Namun, penjagaan harus selalu dilakukan. Ciblon menjadi bukti keharmonisan tersebut. Sudah selayaknya kita menjadi bagian yang turut mendukung kesenian ini. Tentu saja, dengan keyakinan bahwa ketentraman dan keselarasan akan selalu menyertai kehidupan manusia.

Penyunting: Nadya Gadzali