Dua abad lampau, Sir Thomas Stamford Raffles mengarsipkan sejumlah tempat, adat istiadat, kekayaan hayati, hingga sistem pertanian dan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk Pulau Jawa dalam History of Java, karya monumental yang memuat aneka informasi penting tentang Jawadwipa, sebutan lain bagi Pulau Padi (Pulau Jawa dalam Bahasa Sanskerta).

Sebelum menyandang gelar Lieutnant Governor of Java, mula-mula Raffles bekerja sebagai juru tulis di perusahaan Hindia-Timur Britania. Ekspansi politik Inggris kemudian mengantarkan Raffles pada tugas mengembalikan kemakmuran Pulau Jawa pada tahun 1811, ketika Kerajaan Inggris mengambil alih wilayah jajahan Belanda.

Keterlibatan Raffles dalam kehidupan masyarakat Jawa membuatnya satu langkah lebih dekat dengan kaum pribumi. Walau hanya bertahan hingga tahun 1815, namun dalam rentang waktu tersebut, ia berhasil mengarsipkan keadaan di Pulau Jawa, termasuk kompleks bangunan candi peninggalan Dinasti Syailendra di lereng Gunung Ungaran.

Narasi tentang bangunan bersejarah itu diberi tajuk “Reruntuhan di Ungarang”. Teks yang menggambaran sejumlah benda kuno, berupa reruntuhan candi dengan figur-figur yang telah rapuh, termasuk kendaraan perang Sang Suria: kereta kuda Dewa Matahari menurut kepercayaan Hindu.

Meski tak lagi utuh, Raffles menekankan bahwa peninggalan kuno yang terletak di Distrik Timur Cheribon tetap berhak mendapat perhatian sebagai karya seni. Distrik yang dimaksud merujuk pada kompleks bangunan candi di lereng Gunung Ungaran, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang.

Loten, seorang peneliti berkebangsaan Belanda diketahui lebih dulu menemukan Gedong Songo, yakni pada tahun 1740. Sedangkan pendataan Raffles terkait kompleks percandian di lereng Gunung Ungaran hanya mencatat sebanyak tujuh bangunan candi. Itu sebabnya, Gedong Songo semula bernama Gedong Pitoe.

Bangunan historis di lereng Ungaran tertulis secara gamblang dalam History of Java dengan nama Candi Banyu Kuning (Air Kuning). Candi dengan posisi membelah gunung (melintang) dan memiliki jalur yang sulit ditaklukan. Pasalnya, candi yang memiliki beranda cukup luas ini hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari kawah kecil gunung berapi, sehingga sejumlah tempat terasa begitu panas untuk dapat dilalui dengan selamat.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Gedong Pitoe adalah temuan Raffles. Namun, selepas menerbitkan naskah History of Java pada tahun 1817, penggalian informasi tentang situs bersejarah di lereng Gunung Ungaran kembali dilakukan oleh Belanda, seiring kekalahan Napoleon Bonaparte yang berimbas pada dikembalikannya negara jajahan Inggris kepada Belanda, termasuk Hindia Belanda (Indonesia saat itu).

Laksamana Jacob Pieter van Braam (1925), Friederich dan Hoopermans (1865), arkeolog Pieter Vincent van Stein Callenfels (1908), dan Knebel (1910) adalah sederet nama tokoh yang melakukan penelitian, publikasi, dan inventarisasi kompleks bangunan candi Gedong Songo.

Selepas ditemukannya dua candi lain oleh arkeolog van Stein Callenfells dan Knebel, Gedong Pitoe kemudian berganti nama menjadi Gedong Songo. Dalam makna leksikal, gedong berarti bangunan, sedangkan songo adalah hitungan sembilan dalam Bahasa Jawa.

Sejarah Singkat Candi Gedong Songo

Menurut catatan sejarah, Mataram Kuno terpecah menjadi dua kerajaan. Wangsa Sanjaya memerintah kerajaan Hindu di Jawa Tengah bagian utara. Sedangkan Śailendravamśa atau Wangsa Syailendra, mengampu kerajaan bercorak Buddha di Jawa Tengah bagian selatan.

Kendati Ungaran tercakup ke dalam pemerintahan Mataram Kuno bagian selatan, namun ikonografi Suria di kompleks percandian Gedong Songo tampaknya memiliki pertalian erat dengan tradisi Hindu yang dianut oleh Dinasti Sanjaya. Diperkuat oleh beberapa pendapat yang menyatakan bahwa candi Gedong Songo cenderung menunjukkan karakteristik bangunan peribadatan umat Hindu.

Dinasti Syailendra berdiri pada abad ke-8 Masehi dengan wilayah kekuasaan hingga ke Semenanjung Malaka. Prestasi ini diraih ketika tampuk kepemimpinan berada di tangan Sri Dharmatungga. Sedangkan Syailendra, pewaris takhta Dharmatungga, melanjutkan keberhasilan Mataram Kuno melalui kemampuan menaklukan wilayah Chenla (Kamboja).

Puncak kejayaan Wangsa Syailendra dicapai oleh Samaratungga, raja yang menggantikan Syailendra. Kurun waktu itu, di bawah kepemimpinannya, ilmu seni kian berkembang pesat. Kilau keberhasilan Samaratungga terpancar dalam kemegahan Candi Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang.

Namun, gejolak sosial dan politik yang terjadi di Jawa Tengah pada tahun 929 Masehi membuat Mpu Sindok berinisiatif memindahkan pusat pemerintahan Mataram Kuno ke Jawa Timur, tepatnya ke kawasan Gunung Semeru dan Gunung Wilis. Bergesernya pusat pemerintahan berujung pada ditinggalkannya sejumlah situs Mataram Kuno, salah satunya kompleks bangunan candi Gedong Songo.

Kesakralan Candi Gedong Songo

Berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Ambarawa dan 45 kilometer dari Kota Semarang, tepatnya di Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang—Gedong Songo menjelma situs bersejarah yang menarik minat wisatawan dan arkeolog. Pengaruh Dinasti Sanjaya yang mengilhami struktur bentuk serta elemen dekoratif pada bangunannya, membuat Gedong Songo terus bergeliat di jagat pariwisata dan penelitian kepurbakalaan.

Dibangun pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut, udara di sekitar kompleks percandian Gedong Songo berkesiur dalam suhu yang sejuk. Suhu udara berkisar 19 derajat celcius ketika saya menyambangi Gedong Songo dua tahun lalu. Kabut tipis tengah menyelimuti lereng Ungaran, jarak pandang di sepanjang jalur pendakian pun tampak mengabur.

Sekilas membayangkan kehidupan zaman pramodern yang memusatkan kegiatan spiritualnya di kawasan pegunungan. Dahulu, gunung adalah tempat yang disakralkan. Pemahaman bahwa dataran tinggi adalah tempat bersemayamnya para dewa, membuat sejumlah gunung dijadikan lokasi untuk menjalankan praktik pemujaan. Tak terkecuali, Gunung Ungaran yang diyakini sebagai tempat suci bagi pemeluk agama Hindu pada zaman Mataram Kuno.

Bangunan candi menggambarkan antusiasme kerajaan Mataram Kuno terhadap kekuatan transenden. Maka, dibangunlah candi sebagai replika Gunung Mahameru: objek vertikal perwujudan axis mundi. Representasi dunia manusia, alam arwah, dan kediaman para dewa (kahyangan). Konsep penyatuan tiga dimensi itulah yang kemudian mendasari berdirinya bangunan arkais Gedong Songo.

Sebagaimana dikutip dari Neliti, "Legenda dan Religi sebagai Media Integrasi Bangsa", Mircea Eliade menjelaskan tentang “Realitas yang Sakral" (dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion) bahwa kebudayaan pusat yang sakral itu ditandai dengan tiang, pilar, atau suatu objek vertikal lain yang menancap ke tanah dan menghadap ke langit untuk menyatukan tiga wilayah alam, yaitu langit, bumi, dan alam bawah. Tempat itu adalah axis mundi, yaitu perputaran alam semesta. Eliade juga menjelaskan tentang mitos kosmogoni bahwa, desa, kuil, dan rumah, merupakan imago mundi, yaitu penggambaran seluruh dunia sebagaimana dunia itu pertama kali dibentuk oleh dewa”.

Struktur Bangunan Candi Gedong Songo

Meski dikenal sebagai peninggalan Dinasti Syailendra, bangunan candi Gedong Songo justru lebih banyak menampilkan karakteristik ajaran Hindu yang dianut oleh Dinasti Sanjaya. Kecuali, candi Gedong II dan Gedong IV yang merepresentasikan struktur bangunan bercorak Buddha, yakni memiliki ukuran lebih lebar, menghadap ke timur, berhias Kalamakara, serta terdiri dari tiga bagian (Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu).

Deskripsi Gedong II/ Nadya Gadzali

Sedangkan Gedong I dan Gedong III adalah dua candi yang berhiaskan ornamen Hindu: menghadap ke Barat, serta memiliki relief sulur dan bunga Padma. Candi bercorak Hindu umumnya berbentuk lebih ramping dan terdiri dari tiga bagian, yakni Bhurloka, Bhuwahloka, dan Swahloka.

Meski sebagian simbol telah menjadi puing-puing, terutama pada bangunan candi Gedong VI hingga Gedong IX, namun beberapa motif pahatan dan pola hias candi masih dapat diidentifikasi. Semiotika Hindu juga dapat dikenali melalui keberadaan arca dewa Trimurti atau Ganesha, baik di luar maupun di dalam relung candi, seperti yang terdapat pada Gedong V.

Reruntuhan candi Gedong Songo, Puing-puing peradaban Mataram Kuno/ Nadya Gadzali

Sementara di antara Gedong III dan Gedong  IV, terdapat sumber air panas (kini pemandian air panas) yang selalu ramai dikunjungi wisatawan. Menurut keyakinan masyarakat setempat, asap dari sumber air panas (kawah) yang terletak di antara candi Gedong III dan IV adalah air mata Dasamuka yang diganjar tindihan Gunung Ungaran oleh Anoman.

Kecenderungan meyakini mitos membuat sejumlah tempat dihormati sebagai tempat sakral. Begitu pula dengan Gedong Songo yang tak hanya dimanfaatkan sebagai destinasi wisata, melainkan dirawat sebagai bangunan kuno yang memiliki kekuatan transenden. Itu sebabnya, Gedong Songo tak pernah sepi pengunjung, terutama pada gelaran ritual Resik Candi dan hari-hari besar umat Hindu.