“Serambi Makkah” adalah nama yang dipintal dari geopolitik Nusantara lama. Sebutan itu merujuk pada kondisi kawasan maritim 3 abad silam, ketika kaum muslimin melancong dari negeri-negeri di timur, untuk melakukan ziarah haji ke Makkah.

Istilah tersebut lahir membayangi perjalanan laut yang panjang dan penuh risiko. Dengan menaiki kapal layar dan melewati penghabisan kota-kota di ujung barat Sumatera, para kembara haji pelan-pelan bergerak ke barat menuju gerbang Jazirah Arab: ke pusat Kota Makkah dan Madinah. Mereka melecut perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Dengan medan transportasi lautan, perjalanan menuju Makkah selain memakan waktu panjang juga kerap dihadang situasi maritim yang tak mengenakkan. Bagi rombongan haji dari Jawa, misalnya, setelah melewati lautan di sepanjang pantai utara, etape selanjutnya menyusuri pesisir Sumatera hingga kota-kota di ujung barat pulau tersebut: seperti Perlak, Pasai, dan Malaka. Perjalanan dari Jawa ke ujung Sumatera, bisa memakan waktu bulanan dan itu belum genap setengah perjalanan dilalui.

Namun ketika perjalanan sudah melewati dua pulau besar, Jawa dan Sumatera, rombongan haji merasa seolah tinggal berhadap-hadapan saja dengan muka laut Samudera Hindia, kemudian sedikit lagi akan mendekati Jazirah Arab bagian selatan (Hadramaut) maupun utara (Jeddah).

Karena itu, saat mencapai Aceh—sebuah kota pelabuhan penting di Sumatera saat itu—setelah mengumpulkan bekal dan mempersiapkan kembali perjalanan laut ke barat, gerbang laut Samudera Hindia di pelepasan pantai Aceh hingga Jazirah Arab, yang tak lagi dihadang pulau-pulau besar, bagi jamaah haji seolah sudah begitu dekat dengan Makkah. Bahkan, seperti telah berada di serambi Haramain.

Padahal, perjalanan dari Aceh ke Makkah masih harus mengarungi samudera luas. Sebelum benar-benar sampai di bibir Jazirah Arab, para kembara haji harus melalui Samudera Hindia, Teluk Benggala, Teluk Persia, Teluk Oman, hingga Laut Merah.

Kita tahu serambi adalah bagian dari rumah. Ruang depan yang mengantarkan para pendatang memasuki aula utama. Kendati bukan bagian pokok, serambi punya fungsi mengantarkan tamu (duyuf) memasuki ruangan utama sebuah rumah. Sekitar abad 18-19, Aceh adalah bandar persinggahan terakhir para calon haji (duyufurrahman) di wilayah Nusantara, sebelum memasuki kawasan laut luas menuju gerbang Jazirah Arab.

Rintangan di Perjalanan

Di zaman itu, perjalanan laut masih dilakukan menggunakan perahu layar, dan bergantung pada musim. Para haji, saat melawat ke Tanah Suci, tidak melakukan perjalanan secara maraton. Mereka sering singgah, bahkan tinggal secukupnya, di etape-etape tertentu di sepanjang perjalanan, seperti di bandar-bandar pelabuhan dan seterusnya.

Para jamaah haji, setidaknya, perlu singgah di beberapa kawasan ini: Jawa-Sumatera-India-Yaman-Jeddah untuk menyiapkan tenaga baru atau memperbarui bekal, menunggu musim berganti, hingga kemungkinan berpindah kapal tumpangan. Menurut catatan Martin van Bruinessen, perjalanan tersebut bisa memakan waktu setengah tahun lamanya bahkan lebih, hanya untuk pemberangkatan sekali jalan.

Di sepanjang perjalanan, para haji juga harus berhadapan dengan berbagai rintangan dan marabahaya. Seperti kapal yang karam dihantam badai, atau andai selamat, terdampar di pantai tak bernama. Sementara marabahaya lain yang mengintai adalah dicegat perompak di sepanjang samudera.

Belum berhenti di situ, jika ternyata rombongan jamaah haji selamat dari semua kemusykilan dan marabahaya di lautan hingga menapak di tanah Arab, mereka masih harus bersiap menghadapi kemungkinan perampokan yang dilakukan oleh gerombolan suku-suku badui liar di sepanjang perjalanan darat. Sebab, bagi orang-orang badui, rombongan haji adalah mangsa empuk. Sementara hambatan lain adalah kemungkinan rombongan haji terkena wabah atau penyakit menular di tengah jalan (Martin van Bruinessen, 2015: hlm 11).

Begitulah beratnya medan perjalanan haji dari Nusantara menuju Jazirah Arab, dilihat dari moda transportasi juga medan perjalanan baharinya. Beratnya medan ini membuat sebagian besar peziarah haji tidak lekas kembali ke kampung halaman setelah musim haji selesai. Mereka lebih memilih tetap di sana untuk belajar di madrasah-madrasah atau zawiyah-zawiyah di tanah Arab.

Jadi, sebutan “Serambi Makkah” memang identik dengan geopolitik lama, berlatar sejarah perjalanan haji melintasi marabahaya dan rintangan berat di samudera. Sebutan Serambi Makkah muncul tidak berhubungan dengan fakta bahwa Aceh pernah menjadi pusat persebaran Islam awal di Nusantara. Bukan pula bertalian dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam pertama di Aceh.

Sebutan Serambi Makkah memang lebih dekat kepada istilah yang merujuk ke ranah “geopolitik maritim” di kawasan Sumatera. Untuk menggambarkan jalinan kisah duka-lara atau bahagia-nestapa perjalanan panjang jamaah haji Indonesia di masa lalu mengarungi samudera luas, demi tujuan mulia: menunaikan rukun Islam kelima. Wallahu ‘alam.

Penyunting: Nadya Gadzali